Akses Militer AS di Filipina Diperluas, Kawasan Utara Indonesia Kian Bergejolak
Filipina memberi akses lebih luas pada militer AS. Menhan AS Lloyd Austin menyebut pemberian akses itu penting untuk meredam destabilisasi kawasan oleh China. Pengamat mengingatkan Indonesia perlu meningkatkan kesiagaan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
MANILA, KAMIS — Amerika Serikat menancapkan kembali kuku kekuatan militernya di Asia Tenggara dan Laut China Selatan. Hal ini setelah Pemerintah Filipina memberikan restu perluasan kehadiran militer AS di empat pangkalan atau kamp militer di negara itu. Perkembangan terbaru ini dinilai bisa membuat kawasan di utara Indonesia semakin bergejolak.
Akses bagi kehadiran militer AS di empat pangkalan di Filipina tersebut akan memberikan peluang mereka berhadapan langsung dengan militer China yang secara aktif hadir di Laut China Selatan dan bahkan terus membayangi Taiwan. Menurut rencana, jumlah lokasi pangkalan untuk militer AS masih akan bertambah.
Pengumuman kesepakatan kehadiran militer AS di Filipina itu disampaikan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dalam konferensi pers bersama Menhan Filipina Carlito Galvez di Manila, Filipina, Kamis (2/2/2023). ”Kami dengan senang hati mengumumkan hari ini bahwa Presiden Marcos (Ferdinand Marcos Jr) telah menyetujui empat lokasi baru dan itu menjadikan jumlah total situs EDCA menjadi sembilan,” kata Austin.
EDCA atau Enhanced Defense Cooperation Agreement 2014, kesepakatan kerja sama pertahanan Filipina dan AS, membuat militer AS memiliki akses ke berbagai pangkalan militer Filipina untuk pelatihan bersama, pra-penempatan peralatan hingga pembangunan fasilitas, seperti landasan pacu, penyimpanan bahan bakar, dan perumahan militer. Meski demikian, kesepakatan itu tidak memberi akses kehadiran secara permanen pada militer AS, melainkan kehadiran pasukan yang dirotasi.
EDCA juga menjadi dasar bagi kerja sama militer kedua negara dalam bidang penanganan bencana. EDCA melengkapi Perjanjian Pertahanan Bersama atau Mutual Defense Treaty tahun 1951 dan Perjanjian Kunjungan Pasukan atau Visiting Forces Agreement tahun 1999.
Traktat tahun 1951 mengikat AS dan Filipina untuk saling membantu ikut mempertahankan dalam konflik-konflik besar. Hal itu, kata Austin, ”berlaku pada serangan-serangan bersenjata pada angkatan bersenjata kami, kapal-kapal atau pesawat kami di mana pun di Laut China Selatan”.
Austin terang-terangan menyatakan kesepakatan kerja sama pertahanan itu adalah upaya kedua negara meredam destabilisasi di perairan sekitar Filipina, termasuk di Laut Filipina Barat, yang dilakukan oleh Pemerintah China.
”Itu hanya bagian dari upaya kami memodernisasi aliansi. Upaya ini sangat penting karena China terus mengajukan klaim tidak sahnya di Laut Filipina Barat,” kata Austin.
Itu hanya bagian dari upaya kami memodernisasi aliansi. Upaya ini sangat penting karena China terus mengajukan klaim tidak sahnya di Laut Filipina Barat.
Laut Filipina Barat menjadi salah satu area yang akan diawasi secara penuh oleh militer kedua negara. Pada akhir Desember 2022, Pemerintah China dilaporkan telah melakukan sejumlah kegiatan di wilayah ini. Media Bloomberg, yang menurunkan laporan pertama soal aktivitas China saat itu di wilayah ini, menyebut Beijing telah melakukan aktivitas pembangunan formasi tanah di bagian utara Kepulauan Spratly yang masih kosong, di atas Eldad Reef (Malvar Reef), Lankiam Cay (Pulau Panata), Whitsun Reef (Juan Felipe Reef), dan Sandy Cay.
Kondisi itu memaksa Departemen Pertahanan Nasional Filipina meningkatkan kehadiran patroli gabungan di sekitar lokasi tersebut (Kompas.id, 23 Desember 2022).
Saat ini, sudah ada lima lokasi yang diidentifikasi untuk lokasi penempatan tentara dan perlengkapan militer AS, yaitu Cebu, Cagayan de Oro, Nueva Ecida, Palawan, dan Pampanga. Saat ini, empat lokasi baru belum diumumkan secara resmi. Media Filipina, The Philippine Star, melaporkan, salah satu lokasi yang akan ditempati oleh tentara AS adalah Mindanao.
Menhan Filipina Galvez, tidak mengeluarkan pernyataan soal ketidakstabilan situasi keamanan di Laut Filipina Barat sebagai salah satu pendorong mereka melakukan kesepakatan baru dengan AS. Galvez lebih menyoroti pada koordinasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat di lokasi tempatan.
”Kami sedang melakukan beberapa inspeksi tentang bagaimana kami akan melakukan sesuatu, terutama di daerah-daerah yang teridentifikasi sangat rentan terhadap perubahan iklim,” kata Galvez, seperti dikutip The Philippine Star.
Kritik China
Pemerintah China mengkritik kesepakatan baru Washington dan Filipina itu. Beijing menilai, akses besar yang dimiliki AS ke sejumlah pangkalan militer Filipina telah merusak stabilitas regional dan meningkatkan ketegangan.
”Ini adalah tindakan yang meningkatkan ketegangan di kawasan dan membahayakan perdamaian dan stabilitas kawasan,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning di Beijing.
Dia mengingatkan agar negara-negara di sekitar kawasan itu untuk meningkatkan kewaspadaannya dan menghindari dirinya dijadikan boneka oleh AS.
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menilai, kesepakatan itu membuat situasi di kawasan menjadi lebih rumit dan semakin tegang. Ia mengkhawatirkan kemungkinan keterlibatan sekutu-sekutu AS yang lebih luas, yang telah bergerak bersama-sama AS untuk membendung kehadiran dan dominasi China di Indo-Pasifik, yaitu Quad dan AUKUS.
Quad beranggotakan AS, India, Jepang, dan Australia. Aliansi itu berupaya membendung dominasi China di wilayah Asia Timur. Sementara AUKUS, yang beranggotakan Inggris, AS dan Australia, utamanya mencoba mengadang dominasi China di Laut China Selatan.
”Yang saya khawatirkan adalah AS akan melibatkan negara-negara anggota AUKUS dan Quad untuk menyusun orkestrasi di Laut China Selatan. Kondisi ini akan membuat ketegangan meningkat dan China akan merasa dirinya semakin terancam,” kata Reza.
Menurut Reza, Indonesia juga akan terpengaruh dengan situasi tersebut. Meski meyakini bahwa situasi ini tidak akan berubah menjadi konflik terbuka, kesiagaan seluruh matra Tentara Nasional Indonesia harus ditingkatkan, khususnya wilayah teritorial Indonesia di dekat wilayah yang disengketakan.
”Komando wilayah gabungan pertahanan (Kogabwilhan) harus bergerak dalam orkestrasi yang sama. Tidak boleh sampai ada isu kekurangan pasokan bahan bakar bagi kapal patroli dan mungkin jet tempur kita. Siaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi,” kata Reza.
Di samping itu, Reza juga mengingatkan soal percepatan penyelesaian perundingan Kode Tata Berperilaku di Laut China Selatan antara ASEAN dan China. Kode tata berperilaku yang disepakati bersama ini diyakini bisa menjaga situasi menjadi lebih kondusif di Laut China Selatan.
”Hendaknya (kesepakatan) ini bisa terwujud dalam penyelenggaraan dua KTT ASEAN tahun ini. Saya berharap kita bisa bekerja keras di KTT untuk menyelesaikan kode perilaku ini,” kata Reza. (AFP/AP/REUTERS)