Hegemoni AS yang Terkikis di Asia Pasifik
Amerika Serikat harus mengakui puncak hegemoni mereka di kawasan Asia Pasifik telah usai. Kepentingan dan kebutuhan ekonomi negara di kawasan lebih berpengaruh ketimbang kebutuhan militer, seperti pada era Perang Dingin.
Pada pekan kedua Februari 2022, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken terbang ke beberapa negara di kawasan Pasifik. Kedatangannya untuk menegaskan komitmen AS pada negara-negara di kawasan, sekaligus mematahkan upaya hegemoni China.
Perjalanan Blinken ke Fiji dan beberapa negara di Kepulauan Pasifik dilakukan untuk merespons pertemuan China dan Rusia yang mendeklarasikan kemitraan strategis tanpa batas sebelum Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 dibuka. Tak hanya itu, kunjungan Blinken ke Pasifik terkait rencana China untuk meningkatkan keberadaan landas pacu di salah satu pulau terpencilnya, tak jauh dari Hawaii. Bila hal ini terealisasi, China akan menjejakkan kaki jauh dari wilayah teritorialnya, memasuki kawasan yang selama ini berada dalam pengaruh AS semata.
Hanya berselang satu bulan setelah kunjungan Blinken, AS dan sekutunya di Pasifik seperti Australia dan Selandia Baru dikejutkan dengan kepastian adanya kerja sama militer Pemerintah Kepulauan Solomon dengan China. Draf perjanjian itu menyebutkan adanya lampu hijau untuk pengerahan pasukan keamanan dan Angkatan Laut China, termasuk kapal perang ”Negeri Tirai Bambu” itu, ke wilayah Solomon.
Kala itu Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare mengatakan, draf rancangan kerja sama siap ditandatangani. Dia membantah ada tekanan dari pihak luar kepada Pemerintah Kepulauan Solomon untuk bekerja sama dengan Beijing.
”Perjanjian keamanan ini dibuat atas permintaan Pemerintah Kepulauan Solomon. Kami tidak mendapat tekanan sama sekali dari negara mitra,” katanya.
Kembali
Pernyataan Sogavare soal kesiapan untuk menandatangani kerja sama dengan Beijing menampar muka Gedung Putih. Sebagai negara yang selama ini dinilai memiliki pengaruh kuat atas negara-negara di Kepulauan Pasifik, keputusan Sogavare bekerja sama dengan China dalam bidang militer dinilai akan mengganggu dan merusak pengaruh AS, serta mengganggu sekutu-sekutu dekatnya seperti Australia dan Selandia Baru.
Setelah beberapa saat menjabat, Presiden AS Joe Biden menyatakan mengambil langkah berbeda dengan pendahulunya, Donald Trump. Seperti halnya mantan Presiden Barack Obama, Biden lebih menyukai tumbuh kembangnya multilateralisme dan aliansi. Untuk itulah, dia menyerukan ”Amerika telah kembali” dalam pidatonya di Gedung Putih pada 4 Februari 2021, beberapa pekan setelah dilantik.
Biden menyatakan, AS muncul kembali dan lebih siap untuk menyatukan dunia, bersama-sama membela demokrasi. Bersama sekutu-sekutunya seperti Kanada, Inggris, Perancis, NATO, Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan Australia, AS bertekad untuk menjalin kerja sama lebih erat, membangun kembali aliansi yang telah berhenti berkembang selama masa Trump.
Baca juga : Menyelamatkan Tata Dunia Pascaera AS
Selama Trump berkuasa, taipan pemilik bisnis real estat ini tercatat mengikis 75 tahun kepemimpinan AS di panggung global. Dengan slogan yang memenangkan hati pemilih AS, yaitu America First, dia membuat Negeri Paman Sam ini keluar dari berbagai forum multilateral, mengkritik mitra aliansinya, dan meremehkan institusi ekonomi internasonal (Kompas.id, 28 Juni 2020).
Ketika Obama berkuasa, Australia menyambut kedatangan AS ke Asia Pasifik dan menyebutnya sebagai poros atau penyeimbang kembali Asia. Namun, saat Trump berkuasa dan menarik diri dari berbagai kerja sama multilateral, tindakan ini dibaca sebagai sinyal bahwa Washington tidak lagi mampu dan mau membuat komitmen yang kredibel untuk Asia Pasifik.
Penurunan hegemoni
Francis Fukuyama, ilmuwan politik Amerika Serikat, dalam kolomnya di The Economist (November 2020), memandang, saat ini hegemoni AS di dunia merosot tajam. Puncak hegemoni AS di seluruh dunia telah lewat dan hanya berlangsung lebih kurang selama dua dekade, yaitu era 1990-an hingga krisis keuangan tahun 2007-2009. ”Amerika Serikat pada waktu itu sangat dominan, tidak hanya dalam kekuatan, tetapi juga militer, ekonomi, hingga budaya,” katanya.
Robert Kagan, peneliti senior pada lembaga penelitian Brookings Institution, dikutip dari laman Foreign Policy, menyatakan, AS yang memiliki kekuatan militer, ekonomi, dan budaya pasca-Perang Dingin memberikan pengaruh kuat pada negara-negara lain dengan kehadirannya di satu kawasan atau wilayah tertentu. Sederhananya, menurut Kagan, cara kerja AS untuk memengaruhi mirip dengan cara benda yang lebih besar di ruang angkasa memengaruhi perilaku benda yang lebih kecil melalui tarikan gravitasinya.
Baca juga : Takhta Hegemoni Setelah Pandemi
Ilmuwan hubungan internasional John Ikenberry sejak dua dekade lalu mengingatkan tentang kemungkinan penurunan hegemoni AS ini bila ”faktor-faktor” yang mendukung hegemoni itu tidak dijaga.
Perkembangan kawasan Asia Pasifik, mulai dari Asia Timur hingga Asia Tenggara, tidak terlepas dari hubungan timbal balik AS dan mitra strategisnya di Asia. AS menjadi payung dan menjaga kawasan yang bertransformasi menjadi sebuah kawasan yang menarik untuk dijelajahi, setelah berjibaku dengan perang, pergolakan politik, demokratisasi, hingga krisis ekonomi. Tatanan Asia Pasifik saat ini tidak terlepas dari hubungan timbal balik, yang disebut Ikenberry sebagai hub-and-spoke, dan menimbulkan sistem interdependensi politik serta ekonomi yang kompleks.
Negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang secara ekonomi kuat seperti Korea Selatan, Jepang, Singapura, Hong Kong, dan Australia mendapat perlindungan serta akses ke pasar AS yang besar. Timbal baliknya, AS mendapatkan mitra strategis dan jangkar di garis depan dan pengaruh di kawasan.
Pada saat yang sama, China berkembang menjadi negara dengan perekonomian kuat serta kekuatan militer yang bisa disejajarkan dengan negara-negara maju. Menurut Zuo Xingyin, peneliti pada Akademi Nasional Strategi dan Pembangunan Universitas Renmin, China, persaingan di sisi militer antara AS dan China di kawasan tidak semata-mata kuantitas dalam peralatan tempur, tetapi kualitas peralatan, konsep tempur hingga strategi nasionalnya.
”Belum pernah ada negara yang dapat menimbulkan tantangan besar dalam kekuatan militer dan teknologi,” kata Zuo, dikutip dari laman media China, Global Times.
Secara ekonomi, banyak negara di kawasan Asia Pasifik memiliki hubungan timbal balik dengan China. Jepang dan Korea Selatan, misalnya, memiliki kebergantungan terhadap pasar China yang besar.
Baca juga : Indo-Pasifik Menanti Wujud Janji AS
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian lembaga Rand Corporation yang dibiayai Angkatan Udara AS. Dalam laporan penelitian yang bertajuk ”Respons Regional atas Persaingan AS-China di Indo-Pasifik” disebutkan, indikator ekonomi yang digunakan, mulai dari ketergantungan perekonomian hingga ancaman ekonomi yang ditimbulkan, menunjukkan betapa besar pengaruh China terhadap negara-negara utama di kawasan ini. Sebanyak tujuh dari sembilan negara utama di kawasan memiliki ketergantungan ekonomi yang tinggi pada China. Ini berujung pada tingginya persepsi ancaman terhadap ekonomi mereka jika melakukan pergeseran (keberpihakan) terhadap AS.
Tim peneliti menyebut, China dapat memanfaatkan pengaruh ekonominya untuk berbagai tujuan, termasuk melemahkan pengaruh militer AS. Negara-negara di kawasan, menurut tim peneliti, sebenarnya memiliki lebih banyak kepentingan bersama dengan AS.
Akan tetapi, dalam pandangan negara-negara tersebut, Beijing memiliki lebih banyak alat yang bisa digunakan untuk menekan mereka, baik itu berupa insentif (ekonomi) maupun koersif (ekonomi dan militer).
Baca juga : Sepi Insentif, KTT ASEAN-AS Tertunda
Nanto Sriyanto, peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional, menuturkan, cara pandang dan pendekatan AS terhadap kawasan yang semata dari kacamata persaingan militer membuat banyak negara memilih pendekatan ekonomi yang ditawarkan China. Hal ini terbukti dengan beberapa kali pertemuan tingkat tinggi, khususnya di Asia Tenggara, di mana AS tidak pernah memberikan insentif ekonomi yang menarik dan memadai bagi kawasan. Di tengah situasi pandemi yang merontokkan ekonomi kawasan dan dunia, menurut dia, insentif ekonomi lebih menarik dibandingkan dengan cara pandang yang hanya mengutamakan pendekatan militeristik.
Pandemi Covid-19 mempercepat erosi hegemoni AS di kawasan ini. Meski China adalah negara tempat virus SARS-CoV-2 pertama kali ditemukan, mereka menggambarkan diri sebagai penyedia barang darurat dan pasokan medis ke banyak negara di kawasan dan bahkan ke Eropa hingga Afrika. Meskipun AS masih menikmati supremasi militer, menurut Alexander Cooley dan Daniel Hexon, seperti dikutip laman Foreign Affairs, dimensi dominasi AS itu sangat tidak cocok untuk menghadapi krisis global ini dan efek riaknya.
”Washington harus mengakui bahwa dunia tidak lagi menyerupai periode anomali historis tahun 1990-an dan dekade pertama abad ini. Momen unipolar telah berlalu, dan itu tidak akan kembali,” tulis Cooley dan Hexon.
Dalam pandangan keduanya, AS tidak memiliki kemauan dan sumber daya untuk mendukung persaingan dengan China. Menurut keduanya, bila ingin tetap menjadi hegemon, AS harus meningkatkan daya tarik, salah satunya dengan mengatur dan membenahi masalah internalnya lebih dulu.