Penindakan Tegas Kunci Berantas Penangkapan Ikan Ilegal di Natuna
Kesepakatan batas zona ekonomi eksklusif Indonesia dan Vietnam memberi kepastian hukum untuk menindak pelaku penangkapan ikan ilegal di Laut Natuna Utara. Dibutuhkan penindakan tegas untuk memberantas praktik tersebut.
Oleh
PANDU WIYOGA
·2 menit baca
BATAM, KOMPAS — Setelah berunding selama 12 tahun, Indonesia akhirnya menyepakati batas zona ekonomi eksklusif dengan Vietnam. Namun, kesepakatan itu dinilai belum cukup untuk menghentikan penangkapan ikan secara ilegal di Laut Natuna Utara.
Selain batas perairan yang jelas, komitmen untuk melakukan penindakan secara tegas juga diperlukan agar penangkapan ikan ilegal bisa diberantas.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Jumat (23/12/2022), mengatakan, nelayan tradisional sangat menderita akibat maraknya penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated/IUU fishing) di Laut Natuna Utara (LNU). Penggunaan pukat harimau oleh kapal ikan asing merusak ekosistem laut di sana.
”(IUU fishing) masih terus terjadi sampai sekarang. Dua minggu yang lalu salah satu nelayan melapor masih melihat kapal pukat berbendera Vietnam mengeruk ikan di LNU,” kata Hendri saat dihubungi dari Batam.
Peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Imam Prakoso, menuturkan, setiap hari terpantau sekitar 300 kapal ikan Vietnam beroperasi di perairan yang menjadi sengketa. Mayoritas kapal itu menggunakan alat tangkap pair trawl atau pukat harimau.
Temuan IOJI juga menunjukkan sejumlah kapal ikan Vietnam beroperasi hingga ke perairan non-sengketa. Bahkan, kapal ikan Vietnam pernah terpantau beroperasi di perairan yang berjarak hanya 42 mil laut atau sekitar 77,8 kilometer dari garis pantai pulau teluar di Kabupaten Natuna, yakni Pulau Laut.
Sepanjang tahun 2022, IOJI menemukan setidaknya ada 438 kapal ikan Vietnam yang diduga kuat melakukan IUU fishing di perairan non-sengketa. Pelanggaran paling tinggi terjadi pada Mei dengan 67 kapal ikan Vietnam.
Selain itu, analisis IOJI juga menunjukkan lebih kurang 10 kapal pengawas perikanan Vietnam (Vietnam Fisheries Resource Surveillance/VFRS) terdeteksi melakukan patroli di perairan sengketa. Kapal patroli VFRS diketahui mampu berada di laut selama satu hingga dua bulan tanpa perlu kembali ke pangkalan.
Menanggapi temuan IOJI mengenai maraknya IUU fishing oleh kapal berbendera Vietnam, Hendri mengatakan, hal itu selaras dengan pengalaman nelayan di lapangan. Menurut dia, maraknya IUU fishing itu juga tidak lepas akibat lemahnya patroli aparat Indonesia di LNU.
”Nelayan sangat berharap para aparat di laut dapat menggelar patroli secara rutin. Selain batas (perairan) yang jelas, penindakan yang tegas juga dibutuhkan untuk menghentikan IUU fishing,” ujar Hendri.
Sepanjang tahun 2022, IOJI menemukan setidaknya ada 438 kapal ikan Vietnam yang diduga kuat melakukan IUU fishing di perairan non-sengketa.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim menilai, rampungnya perundingan batas zona ekonomi eksklusif Indonesia dan Vietnam memberikan kepastian hukum kepada pemerintah untuk melakukan penegakkan hukum di LNU. Dengan begitu, pemerintah diharapkan dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada nelayan saat melaut di LNU.