Mahalnya Biaya Kuliah di AS, Penghapusan Utang Kuliah Pun Tak Cukup
Presiden AS Joe Biden mengumumkan penghapusan utang biaya kuliah bagi sebagian warga. Meski disambut gembira oleh sebagian kalangan, kebijakan itu belum menyelesaikan akar masalah, yakni tingginya biaya kuliah di AS.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden mewujudkan salah satu janji kampanyenya, yakni penghapusan utang biaya pendidikan. Keputusan itu diumumkan pada Rabu (24/8/2022). Penghapusan utang ini berlaku bagi para pengutang biaya pendidikan dengan utang pokok 10.000 dollar AS atau sekitar Rp 147,9 juta jika penghasilan mereka kurang dari 125.000 dollar AS (Rp 1,8 miliar) per tahun.
Penghapusan utang 10.000 dollar AS itu juga berlaku bagi pengutang pasangan menikah dengan penghasilan kurang dari 250.000 dollar AS (Rp 3,6 miliar) per tahun. Bagi penerima pinjaman Pell Grant, utang pemerintah federal berbunga rendah untuk para mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah, utang mereka yang dihapus bertambah menjadi 20.000 dollar AS (Rp 295,9 juta).
Keputusan tersebut bersejarah. Di AS, penghapusan utang untuk biaya pendidikan seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Biden menyebutnya sebagai ”pengubah permainan (game changer)”. Kyra Taylor, pengacara pada lembaga Pusat Undang-Undang Konsumen Nasional (National Consumer Law Center) yang fokus menangani pinjaman pelajar, menilai keputusan Biden sebagai ”pengubah kehidupan jutaan warga AS”.
Baca Juga: Agar Si Miskin Tetap Bisa Kuliah
Namun, pro-kontra mengiringi keputusan itu. Bukan saja ada aroma politis terkait pertarungan pada pemilu sela, 8 November mendatang, saat Partai Demokrat—partai pengusung Biden—bakal menghadapi persaingan sengit lawannya, Partai Republik, melainkan juga ada isu keadilan, seperti disuarakan kubu Republik, dan masalah ancaman inflasi yang diperingatkan oleh sejumlah ekonom. Selain itu, langkah tersebut juga dikritik belum menyelesaikan akar persoalan yang ada.
”Saya tahu, tidak semua orang senang dengan pengumuman ini. Sebagian menilainya (penghapusan utang pendidikan) terlalu banyak, saya penasaran beberapa rekan Republikan yang setuju pemotongan pajak malah tidak setuju membantu mereka (para debitor utang pendidikan). Sebagian menganggap (penghapusan utang ini) terlalu sedikit,” kata Biden saat mengumumkan keputusan tersebut di Gedung Putih.
”Rencana ini fokus pada kelas menengah dan kelas pekerja. Program ini akan membantu peminjam sekarang dan di masa depan serta memperbaiki sistem yang rusak,” ujar Biden.
Alasan dan dasar pemikiran Biden dapat dimengerti. Pendidikan, kata presiden berusia 79 tahun itu, adalah tiket menuju kehidupan lebih baik. ”Sayangnya, seiring berjalannya waktu, tiket itu terlalu mahal untuk banyak orang Amerika. Semua ini berarti seluruh generasi terbelit utang yang tidak berkelanjutan demi mendapatkan gelar sarjana,” ujar Biden.
”Beban mereka sangat berat sehingga sudah lulus dan dapat gelar pun akan sulit mendapatkan standar hidup kelas menengah,” lanjut Biden. ”Ini berarti warga pada akhirnya bisa mulai lepas dari beban gunung utang. Saat semua ini terjadi, ekonomi keseluruhan akan lebih baik.”
Baca Juga: AS Mulai Berlakukan Kebijakan Tolak Mahasiswa Asing Terkait Kuliah Daring
Vincent Joseph, lulus sarjana tahun 2019 dan saat ini bekerja di perusahaan lobi di Washington, senang mendengar keputusan tersebut. Ia masih punya utang 6.500 dollar AS untuk membiayai kuliah, yang akan dihapus. ”Bisa-bisa seluruh generasi berikutnya tak perlu bekerja paruh waktu atau mencari pekerjaan tambahan untuk membayar utang kuliah mereka,” katanya.
Biaya sangat tinggi
Biaya pendidikan tinggi atau kuliah di AS sangat tinggi, bahkan bagi standar hidup warga AS sendiri. Tahun lalu, rata-rata biaya kuliah di perguruan tinggi negeri mencapai 10.000 dollar AS (Rp 147,9 juta) per tahun. Untuk biaya kuliah di perguruan tinggi swasta bisa hampir empat kali lipat, yakni rata-rata 37.000 dollar AS (Rp 547,6 juta) per tahun. Bahkan, ada yang biaya kuliahnya mencapai 70.000 dollar AS atau lebih dari Rp 1 miliar per tahun.
Berutang menjadi satu-satunya jalan bagi banyak warga AS agar bisa mencicipi kuliah. Lulus kuliah dan mengantongi ijazah perguruan tinggi menjadi salah satu langkah untuk mendapatkan pekerjaan memadai dan masuk di kelompok kelas menengah. Syukur-syukur, plus peruntungan, bisa menembus kelas atas.
Namun, dengan biaya kuliah 10.000 hingga 70.000 dollar AS per tahun, banyak lulusan perguruan tinggi di AS dibelit utang yang mencekik saat mereka memasuki dunia kerja. Menurut estimasi Pemerintah AS, utang mahasiswa AS saat mereka lulus rata-rata sebesar 25.000 dollar AS atau sekitar Rp 370 juta.
Butuh waktu bertahun-tahun, bahkan bisa puluhan tahun, untuk melunasi utang tersebut. Banyak mahasiswa harus bekerja paruh waktu untuk mencicil utang mereka. Banyak warga lainnya, setelah lulus dan bekerja, harus mencari pekerjaan tambahan agar bisa melunasi utang tersebut.
Baca Juga: Gaji Lulusan Universitas Makin Kecil
Gedung Putih menyebutkan, jika dijumlah total, utang pendidikan dari sekitar 45 juta pengutang mencapai 1,6 triliun dollar AS (Rp 23,6 kuadriliun).
Simak penuturan sejumlah warga AS soal belitan utang pendidikan yang harus mereka bayar selepas lulus kuliah. Christian Smith (32) akan punya utang lebih dari 60.000 dollar AS (Rp 887,8 juta) saat lulus dan diwisuda sarjana S-1 di Universitas Colorado, Denver, tahun depan. Utang sebesar itu bisa sama besarnya dengan pendapatan rumah tangga selama setahun. ”Utang ini membebani,” ujar Smith.
Adwoa Asante, pengacara di Dallas, menuturkan bahwa dirinya berutang 147.000 dollar AS (Rp 2,1 miliar) melalui utang pemerintah federal untuk membiayai kuliahnya di Emory University School of Law. Ia lulus tahun 2015 dan telah membayar utangnya sekitar 15.000 dollar AS (Rp 221,8 juta). Sudah termasuk bunganya, perempuan pengacara itu masih memiliki utang 162.000 dollar AS (Rp 2,3 miliar)!
Asante, warga berkulit hitam di AS, mengakui, dengan belitan utang sebesar itu, pilihan kariernya terbatas. Ia harus menyisihkan pendapatannya untuk mencicil utang. Menurut dia, penghapusan utang 10.000 dollar AS ”lebih baik daripada tidak ada sama sekali”. Namun, jika ada penghapusan utang keseluruhan, hal itu akan membantu penanganan kesenjangan penghasilan antara warga kulit hitam dan kulit putih di AS.
”Jika pemerintahan Biden atau pemerintahan mana pun memberi perhatian tentang kesetaraan, tidaklah masuk akal meminta warga yang tidak mampu membayar utang agar mereka berutang untuk membiayai sekolah,” tutur Asante.
Bagi Catari Giglio, warga imigran asal Italia yang pindah ke Boston, membiayai kuliah dan masuk kelompok menengah kini menjadi lebih sulit bagi kebanyakan warga AS. Kedua orangtua Giglio berasal dari Chile. Keluarga mereka pindah dari Italia ke Boston saat Giglio berusia 13 tahun.
Giglio (20) tidak lolos saat ingin mendapatkan utang pemerintah federal karena ia tidak punya nomor Jaminan Keamanan Sosial. Ia tidak akan memetik manfaat dari kebijakan Biden menghapus utang pendidikan. Ia memperkirakan butuh utang dari lembaga swasta sebesar 150.000 dollar AS (Rp 2,2 miliar) untuk menyelesaikan empat tahun kuliahnya di Jurusan Desain Grafis Suffolk University.
Baca Juga: Orangtua Indonesia Makin Sulit Biayai Kuliah Anak
Saat ini, Giglio membayar cicilan bunga 12 persen utangnya hampir 400 dollar AS (Rp 5,9 juta) per bulan dari utang untuk membiayai kuliah dua tahun yang sudah dijalaninya. ”Ini bikin frustrasi. Sulitnya 10 kali lipat bagi saya untuk menyelesaikan kuliah sambil bekerja. Tak ada bantuan bagi kami,” ujarnya.
Segunung utang
Giglio mempertanyakan sistem pendidikan di AS yang membuat dirinya terbelit segunung utang. ”Membebani tanggung jawab keuangan sebesar ini pada remaja seusia 18 tahun yang baru lulus SMA adalah hal yang tidak bertanggung jawab,” kata perempuan itu. ”Masyarakat dan sekolah tidak mempersiapkan kami untuk menghadapi jenis-jenis keputusan keuangan seperti ini.”
Kantor Penanggung Jawab Pemerintah (Government Accountability Office) pernah merilis hasil penelitian sebelum pandemi Covid-19. Menurut penelitian tersebut, para milenial, mereka yang lahir antara tahun 1982 dan 2000, ”secara signifikan lebih banyak menjadi siswa yang berutang, memiliki tingkat kepemilikan rumah yang lebih rendah, dan mempunyai kekayaan yang lebih sedikit dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya”.
Biaya kuliah di perguruan tinggi di AS secara umum lebih tinggi daripada perguruan tinggi di negara-negara maju lainnya. Warga AS memikul utang 1,75 triliun dollar AS dari utang pinjaman pelajar atau mahasiswa. Sebagian besar utang itu berasal dari pemerintahan federal. Jika tidak ditangani serius, termasuk antara lain dengan penghapusan utang pendidikan, demikian argumentasi Biden, negara-negara lain bakal melewati ekonomi AS.
Baca Juga: Pandemi, Perguruan Tinggi Eropa Tetap Gencar Gaet Mahasiswa Indonesia
Gedung Putih memperkirakan, rencana penghapusan utang ini akan bisa dinikmati sekitar 20 juta pengutang. Menurut Educationdata.org, sekitar 43 juta warga AS memiliki utang pendidikan untuk mahasiswa atau pelajar dari pemerintah federal. Sekitar 60 persen pengutang adalah para penerima Pell Grant dari pemerintah federal. Artinya, lebih dari separuh pengutang yang akan menikmati fasilitas ini bisa dihapus utang mereka masing-masing 20.000 dollar AS.
Analisis Penn Wharton Budget Model, lembaga di University of Pennsylvania, menyebutkan, penghapusan utang ini diperkirakan akan menyedot anggaran pemerintah lebih dari 300 miliar dollar AS. New York Fed mengalkulasi, anggaran Pemerintah AS yang dibutuhkan untuk kebijakan tersebut sebesar 321 miliar dollar AS. Namun, dengan adanya pembatasan soal penghasilan tahunan sebagai syarat penghapusan utang, jumlah bisa lebih rendah daripada angka itu.
Departemen Pendidikan AS menaksir, hampir 90 persen calon penerima penghapusan utang itu berpenghasilan di bawah 75.000 dollar AS per tahun. Departemen Pendidikan AS dan berbagai pihak di negara itu sejak lama menyoroti mahalnya biaya pendidikan di AS. Dulu, Pell Grant bisa menanggung hingga 80 persen biaya pendidikan. Kini, Pell Grant hanya bisa menanggung 30 persen dari rata-rata biaya kuliah. Akibatnya, warga berpenghasilan rendah terpaksa berutang kalau ingin kuliah.
Kajian Departemen Pendidikan AS menemukan hampir 30 persen debitor menanggung utang dan gagal lulus. Sebab, mereka tidak kuat menanggung biaya hidup dan transportasi untuk sekolah.
Baca Juga: Joe Biden Sesumbar Jadi Jalan Terang Amerika
Bahkan, 16 persen debitor gagal bayar. Di antara mereka termasuk orang yang sudah berusia di atas 60 tahun. Sebagian debitor kulit hitam malah masih menanggung 95 persen utang hingga 27 tahun sejak mendapat utang. Sebab, penghasilan mereka tidak cukup untuk segera melunasi utang. Padahal, selain utang biaya pendidikan, mereka masih punya utang lain. Akibatnya, mereka kesulitan mengumpulkan aset dan dana pensiun.
Kritik dan ancaman inflasi
Simulasi Penn Wharton Budget Model menemukan, hingga 30 persen pengampunan itu akan diterima pasangan dengan penghasilan kurang dari 50.795 dollar AS per tahun. Sementara lebih dari separuh pengampunan justru akan diterima pasangan dengan penghasilan antara 50.795 dollar AS hingga 141.096 dollar AS per tahun. Dengan kata lain, tidak banyak masyarakat berpenghasilan sangat rendah menerima pengampunan.
Direktur lembaga itu, Kent Smetters, menyebut bahwa pengampunan itu memang berpeluang memicu inflasi. Sebab, pengampunan membuat cicilan berkurang sehingga debitor berpeluang punya lebih banyak dana untuk dibelanjakan atau ditabung.
Baca Juga: Waspadai Lonjakan Inflasi AS
Namun, Wakil Presiden Committee for a Responsible Federal Budget (CRFB) Marc Goldwein mengatakan, ada 1,6 triliun dollar AS utang pendidikan jatuh tempo. Pembatalan yang diumumkan Biden akan menambah inflasi yang sudah tinggi di AS. Perekonomian AS bisa menanggung biaya hingga 300 miliar dollar AS akibat pengampunan utang itu.
Mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers juga mencemaskan potensi inflasi dari pengampunan utang tersebut. ”Pengampunan utang pendidikan adalah (potensi) belanja yang bisa meningkatkan permintaan dan inflasi. Kebijakan menghabiskan sumber daya yang seharusnya dipakai membantu orang, apa pun alasannya, sama sekali tidak bisa kuliah,” katanya.
Sementara Jason Furman, mantan Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden AS Barack Obama, menekankan bahwa pengampunan itu tidak menyelesaikan akar masalah. Sudah sangat jelas bahwa akarnya adalah biaya pendidikan tinggi di AS. Kebijakan Biden malah hanya akan menambah risiko inflasi.
Tak atasi akar masalah
Kebijakan Biden untuk menghapus utang pendidikan itu dinilai sebagai upaya menangani terus meroketnya utang pendidikan di kalangan warganya. Namun, bagi pengkritik, kebijakan tersebut belum menyentuh akar masalah sebenarnya, yakni tingginya biaya kuliah. Artinya, generasi warga AS berikutnya masih akan terus dihantui masalah mahalnya kuliah di negara mereka.
Bagi para lulusan SMU tahun ini dan setelahnya, bayang-bayang utang segunung untuk membiayai kuliah masih menggantung di kepala mereka. Kebijakan penghapusan utang pendidikan ini berlaku bagi warga yang mengambil utang mahasiswa dari pemerintah federal sebelum 1 Juli 2022.
Senator Demokrat, Catherine Cortez Masto, menyebut kebijakan penghapusan utang ini ”tidak mengatasi akar masalah yang menyebabkan biaya kuliah tidak terjangkau warga”. Ia mengusulkan perluasan fasilitas utang melalui Pell Grant bagi para mahasiswa dari keluarga berpendapatan rendah dan menarget kebijakan penghapusan utang ini bagi para pengutang yang membutuhkan.
”Kita tidak bisa terus-terusan menempatkan generasi warga AS berikutnya terperangkap dalam siklus (masalah tingginya biaya kuliah) yang kejam ini,” ujar Senator Michael Bennet.
Baca Juga: Mimpi Besar Melanjutkan Kuliah
Bayang-bayang perangkap tingginya utang kuliah yang kelak dihadapi itu dirasakan Natalie Ren (17), siswi SMU di Olathe, Kansas. Ia dan rekan-rekan seangkatannya akan masuk bangku kuliah setahun lagi. Artinya, mereka tidak menikmati fasilitas kebijakan Biden dan kemungkinan harus berutang untuk membiayai kuliah.
”Menurut saya, ini seperti... mengapa mereka mendapat penghapusan utang mahasiswa 10.000 dollar AS? Sementara kami harus memikul tanggung jawab penuh (membayar utang kuliah) kelak,” ujarnya.
Komite Berwenang untuk Anggaran Federal, lembaga nirlaba yang mendukung upaya menurunkan defisit utang pendidikan, menyebut bahwa, tanpa langkah lebih luas, utang pinjaman mahasiswa dari pemerintah federal secara nasional akan kembali pada level hari ini, yaitu 1,6 triliun dollar AS. ”Kebijakan ini tidak secara mendasar mengatasi masalah utang mahasiswa,” kata Marc Goldwein, direktur senior kebijakan lembaga itu.
”Kebijakan ini hanya upaya satu kali gerak pembersihan yang menghapus beban warga dalam kelompok itu. Posisi mereka (sebagai pengutang) akan digantikan oleh para pengutang baru,” ujar Goldwein menambahkan.
Banyak cara bisa dilakukan. Dewan Pendidikan Amerika, yang beranggotakan para tokoh dan pemimpin perguruan tinggi dan universitas di AS, misalnya, mendesak Kongres agar menyederhanakan opsi pelunasan utang mahasiswa dan membatasi bunga utangnya. Dalam proposalnya ke Kongres, pemerintahan Biden akan mengusulkan pengurangan bunga utang dari 10 persen saat ini menjadi 5 persen dengan cicilan per bulan.
Baca Juga: Semakin Awal Mempersiapkan Biaya Kuliah, Semakin Ringan Bebannya
Ketua Komite Pendidikan dan Tenaga Kerja DPR AS Bobby Scott mendesak Kongres untuk mengambil langkah-langkah berikutnya. Perlu langkah-langkah yang tegas dan jelas agar setiap pelajar memperoleh pendidikan yang menjadi bekal mereka mendapat karier yang baik.
Tanpa investasi tinggi di bidang pendidikan dan peningkatan sistem pinjaman federal, kata Scott, ”Para pelajar akan terus memikul lebih banyak utang, sementara para pengutang akan menghadapi masalah terus meningkatnya level utang.”
Jackson Hoppe (19), mahasiswa George Washington University, menyebut, utang biaya kuliah telah menjadi beban tambahan bagi warga AS sehingga banyak dari mereka memilih tidak kuliah. ”Jangan ambil utang yang tidak bisa Anda bayar dan jangan minta orang lain membayarkan utang Anda,” ujarnya.
Wah, dengan biaya kuliah yang sangat tinggi seperti sekarang, jika tidak berutang, bagaimana warga bisa kuliah? (AFP/AP/REUTERS)