Lonjakan Inflasi AS akan mengerek suku bunga acuan The Fed, Jika sampai akhir tahun kenaikan suku bunga The Fed berlanjut, maka stabilitas pasar keuangan negara berkembang akan terganggu oleh aliran modal keluar.
JAKARTA, KOMPAS — Lonjakan inflasi di Amerika Serikat patut diwaspadai karena menambah ketidakpastian pasar keuangan dan memicu resesi global. Otoritas fiskal dan moneter di dalam negeri diharapkan bisa memitigasi risiko eksternal tersebut agar proses pemulihan ekonomi domestik tetap bisa berjalan.
Badan statistik AS mencatat, inflasi AS pada Juni 2022 sebesar 9,1 persen secara tahunan. Inflasi tahunan tertinggi di AS sejak 1981 ini berpotensi mendorong bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) semakin agresif menaikkan suku bunga acuannya. Sepanjang tahun ini saja, The Fed sudah menaikkan suku bunganya sebanyak 150 basis poin ke level 1,5-1,75 persen.
Dalam jumpa pers menjelang pertemuan inti tingkat menteri keuangan dan gubernur bank sentral (Finance Minister Central Bank Governor/FMCBG) kelompok G20 di Nusa Dua, Bali, Kamis (14/7/2022), Menteri Keuangan AS Janet Yellen menjelaskan inflasi di negaranya dipicu harga komoditas energi yang tinggi.
Ia menjelaskan, setengah dari Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/CPI) di Amerika Serikat berasal dari harga energi yang meningkat. Ini merupakan buah dari ketegangan politik Rusia dengan Ukraina yang memicu kenaikan harga komoditas energi.
Yellen meyakini inflasi saat ini telah mencapai puncaknya. Merespons inflasi di AS yang tinggi, kebijakan utama ekonomi akan difokuskan untuk menurunkan inflasi. Meski demikian, Yellen tetap optimistis terhadap perekonomian AS. Menurut dia, kondisi pasar tenaga kerja AS sangat kuat.
”Kami telah menyaksikan pemulihan bersejarah dalam hal pekerjaan. Kami sekarang telah mendapatkan kembali semua pekerjaan sektor swasta yang hilang,” ujar Yellen.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Yuda Agung menjelaskan, kendati terus menanjak, inflasi masih terkendali. Namun, menurut dia, BI siap untuk menyesuaikan suku bunga acuan jika inflasi inti terus meningkat. Saat ini BI masih mempertahankan tingkat suku bunga acuan sebesar 3,5 persen.
Yuda mengatakan, kebijakan moneter BI tahun ini akan lebih mengedepankan stabilitas (pro stability). Sementara, bauran kebijakan BI lainnya untuk mendorong pemulihan ekonomi (pro growth).
Adapun bauran kebijakan itu terdiri dari pengaturan kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pengembangan pasar uang, dan penciptaan keuangan inklusif & hijau.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menuturkan, kenaikan inflasi di AS akan disusul oleh agresivitas kenaikan suku bunga acuan untuk menjaga peredaran dollar AS menjadi lebih stabil. Jika sampai akhir tahun kenaikan suku bunga The Fed terus berlanjut, stabilitas pasar keuangan negara berkembang akan terganggu oleh aliran modal keluar.
Badan statistik AS mencatat, inflasi pada Juni 2022 mencapai 9,1 persen dibanding tahun sebelumnya. Lonjakan inflasi tertinggi di AS sejak 1981 ini berpotensi kembali meningkatkan suku bunga AS yang tahun ini sudah meningkat 150 basis poin ke level 1,5 persen-1,75 persen.
”Di pasar keuangan, kebijakan itu dapat memicu terjadinya capital outflow yang disebabkan oleh melebarnya kesenjangan antara suku bunga domestik dan suku bunga internasional. Dana dari emerging market akan berpindah ke AS sehingga akan memberikan dampak terhadap pelemahan nilai tukar,” ujarnya saat dihubungi Kamis (14/7/2022).
Yusuf mencontohkan pelemahan nilai tukar rupiah sudah terjadi sejak bulan lalu, imbas dari kenaikan suku bunga The Fed. Pada penutupan perdagangan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia (BI), Kamis, rupiah berada di level Rp 14.999 per dollar AS. Adapun di pasar spot, rupiah ditutup di level Rp 15.020 per dollar AS.
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, lanjutnya, akan disusul oleh kenaikan harga-harga di dalam negeri karena 60 persen bahan baku industri masih mengandalkan impor. Kenaikan harga ini perlahan akan mengerek level inflasi di dalam negeri. Per Juni 2022, inflasi Indonesia sudah 4,35 persen secara tahunan.
”Inflasi dalam negeri yang tinggi membuat peluang BI menaikkan suku bunga acuan lebih cepat makin terbuka. Namun, di sisi lain, kenaikan suku bunga acuan bisa mengganggu proses pemulihan ekonomi yang tengah berlangsung,” kata Yusuf.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengatakan bahwa inflasi Indonesia pada Juni 2022 yang tercatat 4,35 persen masih tergolong moderat ketimbang negara berkembang lain di periode yang sama seperti Thailand (7,66 persen) dan Filipina (6,1 persen).
Meski begitu, pemerintah akan terus memantau dan memitigasi berbagai faktor yang akan berpengaruh pada inflasi nasional, baik yang berasal dari eksternal maupun domestik. Dari sisi eksternal, pemerintah memantau dampak kenaikan suku bunga The Fed terhadap kinerja ekspor-impor. Hingga Mei 2022, neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan kinerja positif dengan mencatatkan surplus 2,9 miliar dollar AS.
”Kondisi saat ini, dari sisi ketahanan eksternal Indonesia juga masih cukup baik. Surplus neraca dagang berlanjut selama 25 bulan beruntun pada Mei 2022 sehingga transaksi berjalan juga masih berkinerja baik,” ujarnya.
Sementara dari sisi internal, untuk menahan laju inflasi, berbagai upaya menjaga stabilisasi harga pangan nasional telah ditempuh oleh pemerintah, di antaranya melalui pemberian insentif selisih harga minyak goreng dan mempertahankan harga jual energi.
”Ini semua diharapkan dapat menjaga kecukupan pasokan, kelancaran distribusi, dan keterjangkauan harga pangan pokok sehingga dapat melindungi daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah,” kata Febrio.