Probabilitas ekonomi AS mengalami resesi terbuka lebar sejalan dengan kekhawatiran akan lonjakan inflasi yang terjadi di sepanjang tahun. Terdapat sejumlah risiko yang harus diwaspadai pemerintah terkait ancaman ini.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
AP/RICHARD DREW
Ilustrasi. Layar di Pasar Bursa New York menunjukkan tingkat bunga yang diputuskan The Federal Reserve.
BADUNG, KOMPAS — Amerika Serikat saat ini tengah berkutat dengan persoalan peningkatan inflasi, normalisasi kebijakan suku bunga, serta perlambatan pertumbuhan ekonomi. Indikasi-indikasi ini membuat laju ekonomi AS dikhawatirkan terperosok ke jurang resesi. Probabilitas resesi AS bisa memengaruhi perekonomian nasional mengingat negara ini adalah mitra dagang utama Indonesia.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual melihat probabilitas ekonomi AS mengalami resesi terbuka lebar sejalan dengan kekhawatiran akan lonjakan inflasi yang terjadi di sepanjang tahun. Kondisi inflasi tinggi diiringi dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi sehingga resesi ekonomi AS bisa terjadi pada tahun 2023.
”Potensi resesi AS bisa terlihat dari inversi imbal hasil obligasi AS atau US Treasury. Inversi imbal hasil ini terjadi ketika imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor singkat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan imbal hasil obligasi bertenor panjang,” kata David saat dihubungi dari Badung, Bali, Jumat (24/6/2022).
Potensi resesi AS bisa terlihat dari inversi imbal hasil obligasi AS atau US Treasury. Inversi imbal hasil ini terjadi ketika imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor singkat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan imbal hasil obligasi bertenor panjang.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut, terdapat beberapa risiko yang harus diwaspadai pemerintah terkait ancaman resesi AS, salah satunya terkait keluarnya modal asing di pasar surat utang domestik. Ini karena akan ada penyesuaian tingkat imbal hasil US Treasury dengan kenaikan suku bunga The Fed.
”Penyesuaian akan membuat selisih antara yield US Treasury dan yield Surat Berharga Negara di tenor yang sama semakin menyempit. Investor asing cenderung mengalihkan dana ke aset yang aman, memicu keluarnya aliran modal dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Pelemahan nilai tukar rupiah hanya salah satu dampak turunan dari sinyal resesi AS,” kata Bhima.
Keluarnya aliran modal dari pasar keuangan Indonesia juga memicu likuiditas di pasar akan menyempit akibat terjadi perebutan dana antara pemerintah dan perbankan. Padahal, di sisi lain, perbankan membutuhkan likuiditas untuk mengejar pertumbuhan kredit yang sempat melandai di tengah pandemi Covid-19.
Bhima menilai kenaikan suku bunga The Fed berpotensi diikuti kenaikan tingkat suku bunga di negara berkembang. Sementara itu, tidak semua konsumen dan pelaku usaha siap menghadapi kenaikan suku bunga pinjaman. Kenaikan ini juga dikhawatirkan menyebabkan membengkaknya biaya impor bahan baku dan barang konsumsi.
”Imbasnya, proyeksi permintaan konsumen rumah tangga bisa kembali menurun dan pelaku usaha akan terganggu rencana ekspansinya. Kondisi ini dipicu pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS,” ujarnya.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, Amerika Serikat merupakan negara dengan perekonomian terbesar dunia. Jika AS menghadapi resesi, hal itu akan berpengaruh ke semua negara dunia, termasuk Indonesia.
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
Tekanan inflasi tinggi di Amerika Serikat mendorong kenaikan suku bunga acuan lebih tinggi.
Kementerian Keuangan akan terus memantau perkembangan risiko resesi tersebut secara mendetail. Asesmen saat ini, ia optimistis pertumbuhan ekonomi tahun ini masih belum berubah dari asumsi dasar RAPBN 2022 dengan pertumbuhan 5,2 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, ancaman resesi AS semakin nyata, tecermin dari kebijakan yang ditempuh dalam merespons inflasi yang melonjak tajam. Hingga Mei 2022, inflasi AS tercatat menembus 8,6 persen atau jadi yang tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Lonjakan inflasi menyebabkan bank sentral AS, The Federal Reserve atau The Fed, melakukan pengetatan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada Juni 2022. Dengan adanya kenaikan ini, suku bunga kebijakan The Fed untuk saat ini berada di kisaran 1,5 persen hingga 1,75 persen.
Lonjakan inflasi menyebabkan bank sentral AS, The Federal Reserve atau The Fed, melakukan pengetatan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada Juni 2022.
”Pilihan kebijakan AS dalam merespons inflasi yang tinggi dengan kenaikan suku bunga sangat memberikan kemungkinan terjadinya resesi di AS pada tahun ini dan kemungkinan berlanjut hingga ke tahun depan,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA yang berlangsung Kamis (23/6/2022).
Kondisi di AS kemungkinan akan disusul oleh lebih banyak negara, terutama yang saat ini tengah mengalami krisis keuangan. Sri Mulyani menyebutkan, semua permasalahan ini terjadi karena hantaman yang datang bertubi-tubi. Covid-19 yang belum selesai lalu ditambah dengan ketegangan politik antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan krisis energi dan pangan.
Selanjutnya, dampak akan berlanjut ke sektor rill, khususnya ekspor. AS adalah mitra dagang utama Indonesia sehingga ketika ekonominya melambat, permintaan dari negeri Paman Sam tersebut akan berkurang. ”Ekspor yang selama ini mencapai surplus juga tidak boleh dianggap terus-menerus terjadi,” kata Sri Mulyani.
Guna menghindari dampak resesi AS ke dalam negeri, pemerintah terus berupaya menguatkan kondisi pertumbuhan ekonomi domestik, salah satunya dengan menjaga pasokan pangan untuk menekan tingkat inflasi. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dimanfaatkan untuk menjaga daya beli masyarakat dengan tetap memberikan subsidi atau bantalan sosial lainnya.
Sejak awal Januari hingga Mei 2022 pemerintah telah menyalurkan subsidi untuk masyarakat sebesar Rp 75,3 triliun, meningkat dari penyaluran subsidi sepanjang Januari-Mei 2021 yang sebesar Rp 56,5 triliun.
Nilai tersebut digunakan untuk menyubsidi penggunaan bahan bakar minyak berupa solar dan minyak tanah hingga 5,6 juta kiloliter atau meningkat dari jumlah sebelumnya yang mencapai 5 juta kiloliter. Sementara elpiji 3 kilogram yang disubsidi hingga 31 Mei 2022 mencapai 2,5 juta metrik ton atau naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 2,4 juta metrik ton.
”Ini angka yang sangat besar untuk kompensasi barang-barang yang di luar negeri mengalami kenaikan, tetapi di dalam negeri jadi tidak mengalami kenaikan,” kata Sri Mulyani.