Ekonomi China dan Ancaman Resesi AS Tekan Animo di Pasar Saham
Aktivitas ritel dan pabrik di China turun tajam pada bulan April. Pada saat yang sama data produksi pabrik di New York dilaporkan merosot pada Mei ini. Ini adalah kali ketiga penurunan terjadi sejak awal tahun.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
NEW YORK, SENIN — Terganggunya rantai pasok akibat penguncian wilayah di China dan ancaman resesi atas ekonomi Amerika Serikat menghantui animo beli para pelaku pasar saham global. Imbal hasil surat utang Amerika Serikat dengan tenor 10 tahun yang tetap di bawah 3 persen pada Senin (16/5/2022) berpeluang mendorong The Federal Reserve (The Fed) kembali menaikkan suku bunga secara hati-hati.
Aktivitas ritel dan pabrik di China turun tajam pada April. Penguncian wilayah-wilayah sebagai turunan dari kebijakan nol kasus Covid-19 oleh otoritas China sangat mengganggu rantai pasokan global. Sebab, China merupakan perekonomian kedua terbesar di dunia sehingga banyak berjejaring dengan pelbagai negara dalam volume yang besar.
Pada saat yang sama data produksi pabrik di New York, Amerika Serikat (AS), dilaporkan merosot pada Mei. Ini adalah kali ketiga penurunan terjadi sejak awal 2022, di tengah anjloknya pesanan dan pengiriman baru. Penurunan tajam pada manufaktur di New York itu bisa menjadi sinyal awal dari dampak rencana The Fed untuk memperketat kebijakan moneter dalam mengatasi inflasi yang meningkat pesat.
Kedua situasi tersebut menekan pasar saham. Indeks saham MSCI di seluruh dunia ditutup turun 0,21 persen pada akhir perdagangan awal pekan ini. Imbal hasil surat utang negara AS turun. Surat utang bertenor 10 tahun sebagai acuan turun 4,7 basis poin menjadi 2,886 persen setelah mencapai level 3,2 persen seminggu yang lalu.
Beberapa analis melihat penurunan yang terjadi itu sebagai tanda pasar telah memperhitungkan semua atau sebagian besar rencana kenaikan suku bunga The Fed. ”Hal terpenting yang terjadi di pasar saat ini adalah fakta bahwa imbal hasil surat utang negara AS 10 tahun telah bertahan di bawah 3 persen,” kata Tom Hayes, ketua dan anggota pengelola aset di Great Hill Capital LLC.
Hayes menilai, lima pejabat The Fed yang dijadwalkan berbicara pada Selasa (17/5/2022) merupakan kunci dalam mempertimbangkan kejatuhan pasar beberapa waktu terakhir ini. Dengan pertumbuhan pendapatan yang berubah positif dan rasio harga terhadap pendapatan yang lebih masuk akal, saham dinilainya menjadi lebih menarik.
”Biasanya ketika Anda mendekati titik terendah di pasar dan Anda mendapatkan lima pembicara Fed, mereka umumnya ada di sana tidak untuk membicarakan penurunan pasar,” kata Hayes.
Indeks STOXX 600 Eropa berakhir datar dengan kenaikan tipis 0,04 persen mengawali pekan ini. Indeks saham utama Jerman dan Perancis ditutup lebih rendah. Sementara indeks saham FTSE 100 Inggris naik.
Indeks saham pasar-pasar berkembang naik 0,30 persen. Di AS sendiri, pasar sahamnya bergerak variatif di Wall Street. Indeks Dow Jones Industrial Average naik 0,08 persen, tetapi Indeks S&P 500 kehilangan 0,39 persen. Indeks Nasdaq Composite turun 1,2 persen.
Tim Ghriskey, ahli strategi portofolio senior di Ingalls & Snyder, menilai, langkah China dalam mengendalikan pandemi Covid-19 tetap menjadi beban bagi perekonomian. Perang Rusia-Ukraina juga patut menjadi perhatian pelaku pasar. Ancaman Putin terhadap rencana Finlandia dan Swedia bergabung dengan NATO tidak bisa dipandang sebelah mata.
”Ketika Anda melihat hari-hari seperti itu, saya tidak terkejut melihat beberapa aksi ambil untung pada hari berikutnya. Kami hanya melihat reaksi terhadap kekuatan baru-baru ini. Ada pelbagai faktor yang mendorong pasar, tetapi secara umum, tidak ada yang sangat positif,” kata Ghriskey, mengacu pada reli di Wall Street pada Jumat (13/5/2022).
Goldman Sachs menaikkan perkiraan pertumbuhan laba per saham 2022 menjadi 8 persen dari lebih dari 5 persen. Namun, lembaga itu memangkas target posisi indeks pada akhir tahun untuk Indeks S&P 500 menjadi 4.300 dari 4.700 karena suku bunga dan kekhawatiran atas pertumbuhan ekonomi global, terutama AS. Mantan Kepala Eksekutif Goldman Sachs, Lloyd Blankfein, Minggu, mengatakan, dia yakin ekonomi AS berisiko mengalami resesi karena The Fed terus menaikkan suku bunga untuk mengatasi kenaikan inflasi.
Di pasar keuangan, nilai tukar dollar AS turun sedikit setelah mencapai puncaknya dalam 20 tahun pada pekan lalu. Indeks dollar AS turun 0,316 persen, dengan posisi nilai tukar euro naik 0,18 persen ke level 1,0431 dollar AS dan yen Jepang 0,09 persen lebih kuat pada 129,07 per dollar AS.
Bipan Rai, Kepala Strategi FX Amerika Utara, di CIBC Capital Markets memproyeksikan nilai tukar dollar AS akan menguat karena prospek fundamental ekonomi makro yang tidak terlihat bagus. Adapun posisi nilai tukar euro mendekati level terendahnya sejak 2017. Pembuat kebijakan Bank Sentral Eropa, Francois Villeroy de Galhau, mengatakan, pelemahan euro dapat mengancam upaya bank sentral untuk mengarahkan inflasi menuju targetnya. (AFP/REUTERS/BEN)