Peningkatan gaji orang Indonesia tidak mampu mengimbangi biaya pendidikan tinggi untuk anaknya di masa depan. Kenaikan biaya rata-rata perguruan tinggi lebih tinggi dari kenaikan gaji.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, ALBERTUS KRISNA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·6 menit baca
KOMPAS/SUCIPTO
Wisudawan bertepuk tangan pada Upacara Wisuda Sarjana Reguler dan Sarjana Kelas Internasional Universitas Indonesia, Jumat (31/8/2018), di Depok.
JAKARTA, KOMPAS — Orangtua Indonesia di masa depan makin sulit membiayai kuliah anaknya. Kenaikan biaya pendidikan perguruan tinggi tidak mampu diimbangi oleh peningkatan gaji masyarakat. Tidak semua keluarga dapat menuntaskan kuliah anaknya hingga lulus meski sudah menyiapkan dana pendidikan sejak dini.
Kompas menganalisis dan mengombinasikan data upah lulusan SMA dan universitas dari BPS selama 1995 hingga 2022 serta data biaya studi dari 30 perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) dengan data paling jauh dari sepuluh tahun yang lalu (2013-2022).
Data upah lulusan SMA digunakan sebagai representasi kemampuan rumah tangga yang ingin anaknya memiliki peluang kesejahteraan lebih baik ketimbang orangtuanya. Sementara data biaya pendidikan dikoleksi dengan mengambil sampel rata-rata dari program studi (prodi) dengan biaya tertinggi dan terendah.
Misal, untuk Universitas Pelita Harapan, sampel prodi yang diambil adalah Pendidikan Kedokteran sebagai yang tertinggi dan Sistem Informasi sebagai yang terendah. Dengan data historis biaya pendidikan tinggi selama 10 tahun terakhir, biaya studi di masa depan diperkirakan akan naik 6,03 persen per tahun. Pertumbuhan ini adalah rata-rata biaya dari PTN dan PTS. Untuk PTN, pertumbuhannya sekitar 1,3 persen per tahun dan untuk PTS mencapai 6,96 persen.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Ruang pendaftaran bagi mahasiswa baru yang diterima di Universitas Budi Luhur, Jakarta Selatan, Selasa (22/6/2021).
Kondisi ini tidak mampu diimbangi kenaikan upah orangtua lulusan SMA ataupun universitas yang masing-masing hanya 3,8 persen dan 2,7 persen per tahun. Artinya, ada pelandaian peningkatan penghasilan dibandingkan dengan pertumbuhan biaya studi perguruan tinggi.
Dampaknya, apabila orangtua lulusan SMA tersebut menyisihkan 20 persen penghasilannya sejak anaknya lahir hingga tamat SMA atau dengan kata lain menabung selama 18 tahun, hasil tabungannya tidak akan mampu menuntaskan kuliah anak.
Ambil contoh, biaya kuliah mahasiswa angkatan 2022 secara rata-rata sebesar Rp 149.863.850 hingga lulus selama 8 semester. Namun, akumulasi tabungan yang dikumpulkan orangtuanya selama 18 tahun sejak 2004 hingga 2021 baru menghasilkan Rp 72.534.314. Ini artinya, dana tersebut hanya bisa menutupi 48,4 persen total biaya kuliah atau setara dengan membayar 4 semester saja.
Orangtua Indonesia di masa depan makin sulit membiayai kuliah anaknya. Kenaikan biaya pendidikan perguruan tinggi tidak mampu diimbangi oleh peningkatan gaji masyarakat. Tidak semua keluarga dapat menuntaskan kuliah anaknya hingga lulus.
Di sisi lain, rumah tangga dengan satu sumber penghasilan lulusan universitas di periode sama bisa menabung Rp 156.553.949 atau 104,5 persen dari biaya kuliah anaknya.
Sementara pada tahun 2040 atau ketika bayi yang lahir tahun 2022 mulai mencari universitas, tabungan yang telah dikumpulkan orangtua lulusan SMA selama 18 tahun sebesar Rp 177,2 juta. Dana ini hanya akan mampu membayar 3 dari 8 semester atau hanya 41,2 persen dari biaya kuliah anaknya.
Bagi orangtua lulusan universitas, tabungan yang terkumpul lebih besar, Rp 299,2 juta. Namun, itu hanya menutup biaya pendidikan tinggi anaknya selama 6 semester atau 69,6 persen biaya kuliah.
Kondisi ini membuat 20 persen masyarakat Indonesia yang paling miskin, terendah partisipasinya di pendidikan tinggi. Hanya 12,42 persen dari mereka yang mengenyam pendidikan tinggi selama lima tahun terakhir (2017-2021). Ini jauh tertinggal dibandingkan dengan kelompok menengah masyarakat Indonesia yang angka partisipasinya hampir dua kali lipat lebih tinggi (21,7 persen).
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Ribuan mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Malang mendengarkan sambutan Rektor Fauzan pada kuliah umum di Dome UMM, Malang, Jawa Timur, Senin (2/9/2019).
Theresia Mutiara (22), mahasiswa PTS asal Bantul, menjadi salah satu contoh yang mengalami kesulitan membayar biaya kuliah. Pemasukan tunggal dari ayahnya yang pensiunan PNS sebesar Rp 3 juta, setengahnya untuk biaya kuliah Theresia. Sisanya untuk kebutuhan sehari-hari.
”Pernah suatu ketika tidak bisa bayar UKT, duitnya benar-benar enggak ada. Akhirnya bapak ibu pinjam uang di bank,” katanya.
Menanggapi temuan ini, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Prof Nizam mengklaim bahwa biaya pendidikan tinggi, khususnya PTN, justru akan makin terjangkau ke depannya. ”Kalaupun ada kenaikan masih di bawah inflasi. Bahkan, dalam tiga tahun ini tidak ada kenaikan UKT di PTN,” katanya melalui keterangan tertulis, Senin (25/7/2022).
Tren baik dekade terakhir
Meski demikian, analisis Kompas juga menunjukkan, selama 10 tahun terakhir, aksesibilitas terhadap perguruan tinggi makin meluas sebagai dampak tren biaya kuliah yang makin terjangkau. Hal ini terlihat pada mahasiswa angkatan 2013, di mana hasil tabungan orangtuanya yang lulusan SMA selama 18 tahun hanya bisa mencakup 42,6 persen biaya kuliah. Pada angkatan 2022, angkanya menjadi 48,4 persen atau naik 5,8 persen.
Pernah suatu ketika tidak bisa bayar UKT, duitnya benar-benar enggak ada. Akhirnya bapak ibu pinjam uang di bank.
Di segmen orangtua lulusan universitas, untuk anaknya yang kuliah tahun 2013, hasil tabungannya bisa menutupi 91,9 persen biaya. Kini, untuk orangtua mahasiswa angkatan 2022, tabungannya mencapai 104,5 persen dari biaya kuliah.
Selama periode 2016-2021, Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat pertumbuhan partisipasi pendidikan tinggi pada masyarakat ekonomi terendah. Pada 2016, hanya 6,82 persen dari kelompok masyarakat termiskin yang mengenyam pendidikan tinggi. Kini, pada 2021, jumlahnya sudah meningkat menjadi 15,96 persen atau meningkat hampir 1,5 kali lebih banyak.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pengunjung memadati halaman Plaza Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, saat berlangsung World Indonesia Scholarship Forum, Sabtu (11/8/2018). Acara ini diikuti oleh 73 lembaga pemberi beasiswa dan diisi 21 workshop beasiswa, 21 tokoh mentoring beasiswa, dan 3 sesi forum beasiswa.
Adanya skema bantuan finansial, termasuk beasiswa bagi masyarakat miskin, membuka jalan untuk bisa kuliah. Rachel Hosanna (28), lulusan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menjadi salah satu yang terbantu. Ia masuk kuliah tahun 2011 dengan beasiswa Bidikmisi. Tanpa bantuan ini, penghasilan tunggal ayahnya sebagai pengojek tidak akan mampu membayar biaya kuliahnya. Terlebih lagi, Rachel masih punya tiga adik yang harus dibiayai sekolahnya.
”Saya optimistis golongan menengah ke bawah bisa melanjutkan kuliah. Tapi, butuh ditopang bantuan finansial dan nonfinansial untuk bersaing dengan anak-anak dari lapisan ekonomi menengah ke atas,” katanya.
Nizam mengatakan, akses perguruan tinggi yang universal bisa dicapai melalui skema pinjaman mahasiswa. Saat ini pemerintah sedang mengkaji skema student loan, salah satunya merujuk yang diterapkan Australia, yakni deferred payment atau membayar di belakang.
”Dengan skema ini biaya pendidikan mahasiswa dibayarkan setelah lulus dan memiliki penghasilan yang cukup melalui sistem perpajakan. Bila diterapkan, akses ke perguruan tinggi akan universal bagi semua anggota masyarakat,” katanya.
Peningkatan gaji orang Indonesia tidak mampu mengimbangi biaya pendidikan tinggi untuk anaknya di masa depan. Kenaikan biaya rata-rata perguruan tinggi lebih tinggi daripada kenaikan gaji. Meski demikian, orangtua akan memperjuangkan segalanya demi kuliah anak. Kuliah sambil bekerja juga menjadi alternatif untuk menggapai pendidikan tinggi.
Pengamat pendidikan Jimmy Philip Paat setuju bahwa skema bantuan finansial, seperti beasiswa atas dasar prestasi akademik ataupun nonakademik, dapat membantu siswa dari keluarga miskin dapat melanjutkan ke bangku kuliah.
Namun, artinya, warga miskin yang cenderung memiliki pencapaian rata-rata tidak akan mampu mendapatkan kesempatan untuk berkuliah. Padahal, menurut dia, pendidikan tinggi akan dapat meningkatkan peluang mendapatkan kesejahteraan secara jangka panjang.
Ia memahami, kini bisa jadi upah awal lulusan universitas baru tidak beda jauh dengan pendapatan lulusan SMA. Namun, secara jangka panjang, pendidikan tinggi dapat memberikan kesempatan pertumbuhan karier dan berbagai peluang lainnya.
”Secara fakta dan teoretis, yang sarjana secara garis besar akan lebih baik daripada yang tidak. Namun, kembali ke kasus individu, apakah ia memiliki keterampilan berdaya saing,” kata Jimmy.