Gaji Lulusan Universitas Makin Kecil
Peningkatan gaji yang kini didapatkan lulusan universitas dibandingkan lulusan SMA tak sebesar 30 tahun lalu. Selisih gaji antara lulusan universitas dengan lulusan SMA semakin mengecil.

Para pencari kerja berburu informasi lowongan pekerjaan dalam bursa kerja di Ratu Plaza, Jakarta Pusat, Selasa (7/12/2021).
JAKARTA, KOMPAS -- Pasar kerja masih ‘ramah’ bagi lulusan perguruan tinggi. Namun, tren selama 30 tahun terakhir menunjukkan adanya kecenderungan makin mengecilnya pertumbuhan upah yang diterima lulusan universitas dibandingkan lulusan sekolah menengah atas.
Melalui analisis yang dilakukan Kompas terhadap data upah berdasarkan tingkat pendidikan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari 1993 hingga 2022 menunjukkan bahwa selisih akumulasi upah yang didapatkan oleh lulusan perguruan tinggi kian lama kian menurun dibandingkan lulusan sekolah menengah atas (SMA).
Akumulasi upah ini adalah penjumlahan upah yang diterima sejak lulus kuliah atau sekolah hingga usia 55 tahun, atau pensiun. Misal, mahasiswa angkatan 1993 akan mendapatkan akumulasi upah hingga usia pensiun sebesar 98 persen lebih besar ketimbang lulusan SMA. Perhitungan Kompas menunjukkan bahwa akumulasi pendapatan lulusan S1 hingga pensiun mencapai Rp 1,57 miliar, sedangkan lulusan SMA mencapai Rp 798 juta.
Sedangkan pada 2022, pendapatan yang didapatkan lulusan universitas hingga pensiun adalah Rp 3,8 miliar. Di sisi lain, akumulasi upah lulusan SMA sebesar Rp 2,4 miliar.

Mahasiswa baru Universitas Padjadjaran menghadiri kuliah umum terkait paham radikalisme di Graha Sanusi Hardjadinata Universitas Padjadjaran, Bandung, Kamis (29/8/2019).
Dengan kata lain, lulusan perguruan tinggi akan mendapat akumulasi upah hanya 55 persen lebih besar ketimbang rekan sepantaran mereka yang lulusan SMA. Angka ini turun 43 persen dibandingkan angkatan 1993.
Upah bulanan
Di sisi lain, dari aspek upah bulanan, pemegang ijazah S1 tahun 2022 tidak memberikan lompatan sebesar pendahulunya 30 tahun yang lalu, atau angkatan 1993. Pada tahun 1993, selisih upah lulusan perguruan tinggi mencapai 157 persen lebih tinggi ketimbang lulusan SMA.
Baca juga: Orangtua Indonesia Makin Sulit Biayai Kuliah Anak
Saat itu, upah bulanan lulusan SMA rata-rata adalah Rp 153.509 per bulan. Lulusan universitas, di sisi lain, mendapatkan upah bulanan sekitar Rp 395.167 per bulan.
Kini, lulusan SMA pada 2022 rata-rata mendapatkan upah sebesar Rp 2,7 juta, sementara Rp 5,2 juta per bulan untuk lulusan universitas. Angka ini menunjukkan, pada 2022, selisih upah lulusan SMA dengan universitas menjadi 88 persen. Artinya ada penurunan hingga hampir 70 persen dibandingkan tahun 1993.

Meski saat ini peningkatan upah lulusan universitas dibandingkan SMA masih relatif tinggi, namun data tadi menunjukkan ada tren penurunan selisih upah selama tiga dekade terakhir.
Jika diproyeksikan hingga 25 tahun ke depan atau pada 2047, upah lulusan universitas hanya lebih besar 50 persen dari SMA. Jika lulusan SMA mendapat rata-rata upah Rp 6,3 juta, lulusan universitas akan mendapat Rp 9,5 juta.

Para pencari kerja mengantre ke tempat pameran bursa kerja atau Job Fair di CSB Mall, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (27/7/2022). Kegiatan dalam rangka Hari Jadi Kota Cirebon ke-653 tahun itu menyediakan sekitar 1.300 lowongan pekerjaan dari sektor perhotelan, perbankan, hingga perindustrian.
Hal ini menunjukkan bahwa penilaian pasar kerja terhadap pekerja berpendidikan tinggi makin lama tidak akan jauh berbeda dengan lulusan SMA. Meski demikian, selisih gaji pegawai lulusan SMA dengan universitas di Indonesia cenderung lebih tinggi ketimbang sejumlah negara maju.
Menilik data Biro Statistik Ketenagakerjaan Amerika Serikat (Bureau of Labor Statistics) pada 2020, lulusan pendidikan tinggi secara rata-rata mendapatkan upah 67 persen lebih tinggi ketimbang yang berijazah SMA. Menurut Eurostat, perbedaan upah rata-rata antara yang berpendidikan tinggi dibanding SMA di Uni Eropa adalah sekitar 42 persen.
Jika diproyeksikan hingga 25 tahun ke depan atau pada 2047, upah lulusan universitas hanya lebih besar 50 persen dari SMA. Jika lulusan SMA mendapat rata-rata upah Rp 6,3 juta, lulusan universitas akan mendapat Rp 9,5 juta
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Prof Nizam menilai bahwa dapat dimaklumi perbedaan upah pertama antara lulusan perguruan tinggi dan lulusan SMA tidak banyak berbeda. Sebab, ia mengklaim, di negara maju, perbedaan upah lulusan setara SMA dan universitas hanya berbeda 15-20 persen.
Kendati demikian, menurut Nizam, pendidikan tinggi akan mampu menawarkan kenaikan pendapatan dan karir yang jauh lebih cepat dibanding yang tidak berpendidikan tinggi.
“Sehingga nilai tambah pendidikan tinggi masih lebih besar dibanding yang tidak berpendidikan tinggi,” kata dia.
Baca juga: Buka-Bukaan Slip Gaji Lulusan SMA vs S1
Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Gumilang Aryo Sahadewo memahami banyak masyarakat yang mengharapkan perguruan tinggi dapat memberikan mobilitas sosial vertikal. Menurutnya perguruan tinggi memang memiliki peranan yang besar dalam hal ini.
Namun, terkait makin berkurangnya selisih gaji lulusan SMA dengan universitas beberapa tahun terakhir, Gumilang berpendapat hal ini disebabkan kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia yang akhir-akhir ini lebih ramah terhadap lulusan sekolah menengah, khususnya bidang vokasi. Ini karena proses skill-matching dengan industri yang lebih baik. Hal ini yang membuat adanya peningkatan upah bagi lulusan tingkat pendidikan ini.
Kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia yang akhir-akhir ini lebih ramah terhadap lulusan sekolah menengah, khususnya bidang vokasi. Ini karena proses skill-matching dengan industri yang lebih baik
Oleh sebab itu, menurutnya, penting bagi perguruan tinggi untuk bisa menyalurkan lulusan S1-nya ke pasar tenaga kerja. Ini didapatkan dengan memberikan lulusan perguruan tinggi skil spesifik yang dicari pasar tenaga kerja.
“Upaya skills-matching yang dilakukan di sekolah menengah ini yang mungkin membuat adanya peningkatan upah di lulusan tingkat itu. Jadi harus ditemukan cara agar lulusan S1 bisa dipakai oleh labour market itu sendiri,” kata Gumilang.

Salah satu siswa yang sedang belajar praktek tentang permesinan di SMK Negeri Jawa Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (9/3/2022).
Di pasar kerja, lulusan SMA dan perguruan tinggi bekerja di lapangan kerja yang berbeda. Lulusan SMA banyak terserap di semua sektor produksi (primer, sekunder, tersier). Adapun lulusan perguruan tinggi lebih banyak bekerja di sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (penyedia jasa).
Data BPS tahun 2022 menunjukkan, mayoritas (25,4 persen) lulusan SMA berprofesi menjadi pedagang. Selanjutnya, sekitar 18 persen tertampung di sektor industri. dan 12,61 persen di pertanian. Lulusan SMA yang bekerja di sektor pertanian tersebut, mayoritas (28,5 persen) ada di kawasan pedesaan.
Data BPS tahun 2022 menunjukkan mayoritas (33,7 persen) lulusan universitas tertampung di sektor jasa pendidikan. Urutan kedua, 13,6 persen bekerja di administrasi pemerintahan seperti menjadi aparatur sipil negara (ASN). Kemudian 13,4 persen bekerja di sektor perdagangan.
Kondisi sekarang tidak jauh berbeda dengan tahun 2005. Lulusan SMA juga banyak terserap di semua sektor produksi. Terbanyak 28,7 persen lulusan SMA bekerja di perdagangan, 18,7 persen di industri, dan 17,4 persen di pertanian.

Karyawan Indomaret menyerahkan pesanan konsumen di Jalan Asyafiiyah, Cipayung, Jakarta Timur, Jumat (21/5/2021).
Pada tahun 2005, hampir 60 persen lulusan perguruan tinggi tercatat bekerja di jasa kemasyarakatan. Adapun di urutan kedua bekerja sebagai pedagang (13,7 persen).
Menurut jajak pendapat Kompas, pilihan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi juga didasarkan atas keinginan untuk mendapatkan peluang pekerjaan dan upah yang secara signifikan lebih besar ketimbang hanya lulusan SMA (39,5 persen).
Meski 'batu loncatan’ yang ditawarkan bangku kuliah dibandingkan SMA tidak setinggi di masa lalu, Theresia Mutiara (22), mahasiswa asal Bantul, Yogyakarta, masih sangat mengharapkan ijazah S1 akan memberikan kesejahteraan yang lebih ketimbang kedua kakaknya yang hanya lulus SMA.
"Secara ekonomi, semoga dapat mendapat menutup “lubang-lubang" yang masih ada. Dapat pekerjaan yang tetap. Ingin finansial independen. Tidak ngerepoti lagi,” kata Theresia.

Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Merdeka Belajar 21 : Dana Abadi Perguruan Tinggi di Jakarta, Senin (27/6/2022). Dana abadi PT dengan dana pokok senilai Rp 7 triliun dimanfaatkan untuk mendukung PT di Indonesia mengembangkan dana abadi pendidikan di kampus masing-masing.
Apa yang diharapkan Theresia benar. Catatan BPS 2022 menyebutkan, lulusan universitas mayoritas bekerja menjadi tenaga profesional dan manajerial (50.4 persen) yang berpeluang mendapat penghasilan tinggi. Ada juga 22,1 persen yang bekerja sebagai tata usaha dan 11,6 persen menjadi sales.
Adapun lulusan SMA lebih banyak (35,4 persen) bekerja sebagai tenaga produksi ataupun pekerja kasar. Sementara ada juga 25,6 persen yang masuk dalam bidang marketing. Hanya sekitar 6 persen yang bisa bekerja menjadi tenaga profesional dan menduduki posisi manajerial.
Oriza Helena Simanjuntak (22), warga Bekasi, Jawa Barat, menjadi salah satu contoh lulusan SMA yang memilih untuk langsung bekerja, tidak melanjutkan ke bangku kuliah. Ia menyaksikan sendiri beberapa kawannya yang tetap mencari pekerjaan seadanya meski telah mengantongi ijazah S1.
Oriza kini meyakini bahwa ia tetap akan bisa sukses meski tidak berkuliah. “Kalau yang saya lihat, kadang kuliah itu sekadar dapat gelar saja, lalu juga enggak dapat kerja. Terus, kuliah sekarang pun dapat pekerjaannya juga enggak sesuai,” kata Oriza, yang bekerja di pabrik sablon garmen.