Kesadaran untuk melanjutkan kuliah terus meningkat setiap tahunnya. Meski biaya pendidikan tinggi semakin mahal. Demi menguliahkan anak, orang tua akan memperjuangkan segalanya.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA
·5 menit baca
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Para peserta ujian UTBK-SBMPTN 2022 mengikuti ujian di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (17/5/2022). Total ada 16.651 peserta yang akan mengikuti ujian ini.
Suatu hari di tahun 2015, Rosmadiana Sidabutar (50) terpaksa meminjam uang ke tetangganya untuk biaya transportasi anaknya yang akan tes beasiswa Universitas Pelita Harapan. Ros, panggilan akrab Rosmadiana, hanya mempunyai uang Rp 15.000 saat Basten, anak pertamanya, meminta uang Rp 50.000 guna ongkos transportasi selama tes di Karawaci, Tangerang.
Di satu sisi, Ros senang karena akhirnya pintu pendidikan tinggi terbuka bagi anaknya yang kala itu duduk di kelas X. Namun, di sisi lain, dia sedih karena tak bisa memberikan uang senilai permintaan.
Penghasilan Ros dan suaminya, Benget Simanjuntak (54), setiap bulan tak menentu. Suaminya bekerja serabutan, kadang sebagai tukang ojek, pemulung, ataupun buruh bangunan. Adapun Ros, ibu rumah tangga yang kadang berjualan makanan.
Selama ini keluarga tersebut menempati rumah kakaknya di kawasan Rawalumbu, Bekasi. Rumah tersebut satu-satunya yang masih berbentuk bangunan asli perumahan. Kondisi rumahnya pun rusak di beberapa bagian.
Berbekal uang pinjaman tetangga, akhirnya Basten lolos menerima beasiswa dan bisa kuliah di Universitas Pelita Harapan, jurusan Ilmu Keguruan, tanpa biaya. ”Pas sudah diterima beasiswa, rasanya sudah kayak lulus sarjana,” ujar Ros saat ditemui di rumahnya, Senin (11/7/2022).
Berbekal uang pinjaman tetangga, akhirnya Basten lolos menerima beasiswa.
Awalnya Ros pesimistis anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah hingga pendidikan tinggi. ”Tuhan, jangan biarkan dia sampai di situ saja (hingga kelas X saja),” doanya saat itu.
Doanya terkabul. Basten akhirnya bisa menuntaskan kuliah di jurusan Ilmu Keguruan dan kini sudah menjadi guru SMP di Surabaya.
Ros dan Benget berprinsip pendidikan anak itu harus lebih tinggi dari orangtuanya.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Elia Meylani Simanjuntak (kiri) dan ibunya, Rosmadiana Sidabutar (kanan) duduk di ruang depan rumah mereka di Bekasi, Jawa Barat, pada Senin (11/7/2022) siang. Rosmadiana dan suaminya, Benget Simanjuntak meyakini akan mampu membiayai kuliah Meylani yang baru saja diterima di program studi sains data Institut Teknologi Sumatra, meski hanya bekerja serabutan.
Prinsip itulah yang sekarang diterapkan untuk anak ketiganya, Elia Meylani (18), dalam menempuh pendidikan lanjutan. Berbeda dengan Basten, kakaknya, Meylani tidak lolos seleksi beasiswa UPH sehingga tidak bisa mendapat pendidikan tinggi gratis.
Meylani baru saja diterima menjadi mahasiswa di Program Studi Sains Data Institut Teknologi Sumatera (Itera) dengan jalur prestasi. Hal ini berarti Benget dan Ros harus membayar biaya kuliah Rp 2 juta setiap semester, ditambah biaya hidup di Bandar Lampung.
Walakin, pasangan suami istri tersebut optimistis bisa membiayai kuliah Meylani hingga selesai. ”Jangan takut masalah biaya, pasti Tuhan kasih,” ucap Benget terbata-bata.
Jangan takut masalah biaya, pasti Tuhan kasih
Benget mencontohkan, selama ini keempat anaknya selalu mendapat keringanan biaya dari sekolah dengan berbekal surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari kelurahan. ”Saya enggak malu harus mondar mandir dari RT-RW hingga kelurahan untuk mengurus SKTM,” tutur Benget.
Bahkan, menurut dia, demi melengkapi syarat penentuan uang kuliah tunggal Meylani, banyak prosedur yang harus diurus dan disiapkan, mulai dari SKTM, foto rumah dari setiap sudut, hingga surat pernyataan kepemilikan rumah.
Tak hanya keluarga Benget yang berusaha menggapai pendidikan tinggi. Kesadaran untuk melanjutkan kuliah terus meningkat setiap tahunnya. Angka partisipasi kasar (APK) kuliah dari Statistik Pendidikan Tinggi (2016-2020) terus naik setiap tahun. Tahun 2016, APK masih berkisar 31,61 dan tahun 2020 menjadi 36,16.
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Mahasiswa mempelajari penggunaan aplikasi m-banking saat mengurus pengambilan beasiswa Bidikmisi di Bank BTN, Yogyakarta, Selasa (4/2/2020).
Hasil jajak pendapat Kompas, awal Juli lalu, juga menunjukkan, 80 persen responden memilih bersekolah hingga perguruan tinggi. Meski 40 persen di antaranya, menjalaninya dengan bekerja untuk membayar biaya kuliah.
Hal yang sama juga menimpa Theresia Mutiara (22), mahasiswa asal Bantul Yogyakarta. Selama kuliah hampir 4 tahun ini, dia juga mengalami kesulitan membayar biaya kuliah di perguruan tinggi swasta. Penghasilan tunggal keluarganya hanya mengandalkan uang pensiun bapaknya, Rp 3 juta .
Namun keluarganya tetap berupaya supaya Theresia bisanya menyelesaikan kuliah. Bapak dan kakaknya setiap enam bulan sekali mengajukan surat keringanan biaya ke rektorat kampus. “Supaya biaya kuliah bisa dicicil tiap bulan,” sebut dia, karena aturan membayar uang kuliah semesteran hanya diberi waktu seminggu.
Bahkan saat semester 6, karena tidak ada uang untuk membayar uang semesteran, orangtuanya sampai meminjam uang di bank.
Theresia juga berusaha untuk meringankan beban orangtuanya. Caranya dengan mencari beasiswa dan pekerjaan sampingan. Ia berhasil mendapat beasiswa sebanyak dua semester.
Menambah pengetahuan
Dari Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Dwi Susanti (33) membuktikan bagaimana seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Taiwan juga bisa meraih gelar sarjana.
“Kuliah itu impian sejak dulu. Bahkan sebelum ke Taiwan. Tapi ya itu karena enggak ada biaya, saya berangkat ke Taiwan untuk bekerja,” cerita Santi Jumat (8/7/2022) melalui zoom. Santi menyebutkan, sejak sekolah menengah mulai tertarik ilmu manajemen dari hasil membaca koleksi buku di rumah budenya.
Santi tetap menyimpan mimpinya tersebut. Sampai di Taiwan, di tahun kedua dia bekerja menjadi caregiver, dia mendengar informasi mengenai Universitas Terbuka (UT) melalui media sosial Facebook. Kuliah di UT yang bisa dilakukan di Taiwan menjadi harapan baru baginya untuk mewujudkan mimpi.
Namun, baru di tahun keenam dia bekerja, Santi bisa mewujudkan mimpi itu. “Saya harus belajar Bahasa Mandarin dulu supaya bisa berkomunikasi dengan bos dan meminta izin untuk kuliah,” katanya. Dia juga mengumpulkan uang untuk membeli laptop.
Akhirnya, pada 2014, Santi mulai kuliah di jurusan Manajemen UT. Namun, perjuangan meraih mimpi belumlah selesai. Selama empat tahun, Santi harus pintar membagi waktu untuk bekerja menjaga lansia dan belajar.
DOKUMENTASI KBRI SINGAPURA
Para mahasiswa kelompok belajar Singapura usai menerima ijazah sarjana dari Universitas Terbuka, Minggu (13/3/2022). Mereka semua adalah perempuan pekerja migran Indonesia di Singapura.
Setiap harinya, Santi baru bisa belajar dan mengerjakan tugas setelah pukul 21.00. Hal itu berarti waktu tidur malamnya terpotong untuk belajar. Belum lagi jika harus kuliah tatap muka, dia harus kembali meminta izin majikannya untuk tidak menjaga lansia.
Selama di Taiwan selama 13 tahun, Santi tak hanya bekerja menjaga lansia, tapi juga mengembangkan bisnis mode yang diproduksi di Indonesia. “Saya bekerja sama dengan kakak sebagai penjahit dan suami yang mengurusi bahan baku dan proses pengiriman,” tutur dia.
Bagi Santi, kuliah manajemen yang sudah dijalaninya sangat penting untuk mengembangkan bisnis pakaian dan makanan yang sekarang dilakukannya. “Inilah pentingnya kuliah, dari kuliah saya tahu soal branding, marketing, cara menghitung, proses perizinan, sampai milih bahan baku,” sebutnya.
Santi menambahkan, kuliah jangan sekadar mengejar nilai, tapi yang dicari adalah proses berpikirnya. Hal inilah yang dinasihatkan pada anak pertamanya yang tahun ini lulus SMK dan memilih menjadi PMI di Jepang.
Keluarga Benget dan Santi telah menunjukkan pentingnya pendidikan tinggi. Tak sekadar mengejar nilai ataupun meningkatkan penghasilan. Namun juga menambah pengetahuan, pengalaman, relasi.
Pendidikan menjadi bekal utama kehidupan. Seperti kata Rosmadiana, “Pendidikan enggak akan habis, beda dengan uang yang akan selalu habis.”