Sejumlah skema beasiswa membuat mereka yang dari keluarga miskin dapat mewujudkan mimpinya menjadi sarjana demi pekerjaan yang lebih baik.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA
·5 menit baca
DAVE REFFLY UNTUK KOMPAS
Salah satu foto wisuda dari Elsa Khania Rimansyah yang terpasang di ruang tamu rumah orangtuanya, di Ranca Bungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, saat ditemui pada Kamis (9/7/2022). Elsa lulus dengan gelar ilmu administrasi publik dari Universitas Terbuka dengan jalur beasiswa Bidikmisi.
Dari jajaran pigura di ruang tamu, hanya dua foto yang bukan diambil di halaman gedung perwakilan Universitas Terbuka di Bogor, Jawa Barat, saat wisuda Elsa Khania Rimansyah (22) pada Maret 2022 lalu.
Keberhasilan Elsa lulus kuliah memang menjadi kebanggaan keluarga. “Di kampung ini mungkin cuma saya,” kata Elsa saat ditemui di rumahnya di Kampung Wates Kaum, Kecamatan Ranca Bungur, Kabupaten Bogor, Kamis (9/7/2022).
Elsa wisuda dengan gelar sarjana administrasi publik dari Universitas Terbuka. Seluruh biaya operasional pendidikannya ditanggung melalui program Bidikmisi — yang kini telah berubah namanya menjadi Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K).
Biaya masih menjadi salah satu ganjalan utama bagi masyarakat miskin untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Data Badan Pusat Statistik (2021) menunjukkan bahwa hanya 15,06 persen dari total kelompok paling miskin di Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan tinggi. Sementara pada kelompok masyarakat terkaya, yang sedang menempuh pendidikan tinggi mencapai 55,67 persen.
Kendati demikian, selama dua dekade terakhir, angka partisipasi sekolah untuk yang berusia 19-23 di masyarakat miskin meningkat signifikan. Pada 2000, hanya 4 persen. Kini, lebih dari 20 tahun kemudian, angkanya tumbuh empat kali lipat menjadi 16 persen.
DAVE REFFLY UNTUK KOMPAS
Elsa Khania Rimansyah saat ditemui di rumahnya, Ranca Bungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, saat pada Kamis (9/7/2022). Pemasukan rumah tangga orangtua Elsa hanya mengandalkan ibunya yang berjualan pakaian di Pasar Anyar, Bogor.
Ketika lulus dari SMAN 1 Ranca Bungur, Elsa sempat berpikir untuk langsung bekerja selama 1-2 tahun untuk menabung biaya kuliah. Mengandalkan sokongan orang tua bukan jadi pilihan. Ayahnya kuli bangunan serabutan, sedang sang ibu bekerja di lapak pakaian di Pasar Anyar, Bogor.
“Ketika saya dengar ada kabar beasiswa Bidikmisi ke UT, saya jadi berharap sekali bisa dapat,” kata Elsa.
Informasi beasiswa Bidikmisi diterima Elsa dari Stephanie Aprilia (22), kawan sekelasnya sejak sekolah dasar. Fani, panggilan akrab Stephanie, juga dimungkinkan untuk kuliah melalui program Bidikmisi. Ayahnya bekerja sebagai supir truk material bahan bangunan yang paling banyak membawa uang Rp 100.000 setiap hari.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2021 menunjukkan bahwa hanya 15,06 persen dari total kelompok paling miskin di Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan tinggi. Sementara pada kelompok masyarakat terkaya, yang sedang menempuh pendidikan tinggi mencapai 55,67 persen
Keberhasilan Fani pun tidak hanya memotivasi kedua adiknya bahwa kuliah bukan sesuatu yang mustahil, namun juga para tetangganya. Mereka menjadi semangat belajar.
"Tetangga banyak yang bilang, ‘Lihat tuh Fani kuliah enggak bayar’. Saat itu ternyata saya jadi contoh,” kata Fani.
Lebih baik
DAVE REFFLY UNTUK KOMPAS
Elsa Khania Rimansyah (22) dan Stephanie Aprilia (22) saat diwawancari di rumah Elsa pada Kamis (9/7/2022) di Ranca Bungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Mereka berdua bisa berkuliah di Universitas Terbuka karena mendapat beasiswa Bidikmisi.
Kini, Elsa dan Fani masih dalam proses mencari pekerjaan dengan bekal gelar mereka yang masih kinclong.
Elsa baru saja meninggalkan pekerjaannya sebagai guru pendidikan anak usia dini. Fani pun telah mengundurkan diri dari tenaga administrasi sebuah tempat kursus bahasa Inggris sebelum memulai tahun terakhir kuliah.
Keduanya berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sesuai dengan kemampuan mereka sekarang.
“Kami berpikir, penyedia lapangan pekerjaan ini pasti lebih memandang yang bertitel S1 dibandingkan yang SMA. Apalagi kalau lulusan SMA jenis pekerjaannya terbatas. Harapannya, dengan gelar sarjana, bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik,” kata Fani.
Mengapa harus kuliah jika sebetulnya telah memiliki pekerjaan? Elsa dan Fani meyakini bahwa pendidikan tinggi bukan perihal pekerjaan dan gelar saja. Namun, menurut mereka, kuliah adalah peluang untuk terus menumbuhkan diri. “Saya suka belajar. Zaman semakin maju, kalau kami tidak berpengetahuan luas, ya kami tertinggal,” kata Elsa.
DAVE REFFLY UNTUK KOMPAS
Stephanie Aprilia (22) saat ditemui di rumah kawannya, Elsa Khania Rimansyah (22) pada Kamis (9/7/2022). Stephanie, atau Fani, panggilan akrabnya, lulus dari jurusan Ilmu Administrasi Negara, Universitas Terbuka pada Maret 2022 lalu.
Mardiana (48), ibu dari Fani, tidak menyangka anaknya bisa lanjut kuliah setelah lulus SMA. Ia dan suaminya, awalnya merasa sudah cukup senang ketika mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga SMA. Ketika mereka berdua datang menghadiri wisuda Fani, rasa haru dan bangga pun pecah.
“Senang banget saya. Sampai nangis, merinding. Enggak ngebayangin anak bisa sampai lulus kuliah. Kayak ngimpi gitu,” kata Mardiana yang berulang kali mengucapkan kalimat ‘Kayak mimpi.’
Kini, adik tertuanya, baru menyelesaikan tahun pertama di program studi Ilmu Peternakan Universitas Padjadjaran.
Kami berpikir, penyedia lapangan pekerjaan ini pasti lebih memandang yang bertitel S1 dibandingkan yang SMA. Apalagi kalau lulusan SMA jenis pekerjaannya terbatas. Harapannya, dengan gelar sarjana, bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik
Perjuangan keluarga Mardiana belum berakhir. Meski biaya kuliah adik kedua Fani ditanggung KIP-K, namun biaya hidup di Bandung menjadi beban yang besar bagi keluarga itu. Si bungsu yang masih SMA pun terus dimotivasi untuk bisa meraih beasiswa KIP-K juga.
“Ya emang berat, tapi ya dipaksain gitu. Akhirnya ngurangin uang sehari-hari, misalnya cuma jadi setengah gitu,” kata Mardiana.
Berharap
Keberhasilan seperti yang diraih Elsa dan Fani ini kini diharapkan Ni Wayan Ikka (18), pelajar warga Sukawati, Gianyar, Bali yang baru saja diterima di program studi Ilmu Sosiologi Universitas Udayana.
Hasil perjuangan Ikka sejauh ini berbuah manis. Ia lolos seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) dan menurut pengumuman yang diterima sejauh ini, Ikka tidak akan perlu membayar uang kuliah tunggal karena program KIP-K. Namun kelegaan ini belum final. Belum ada pengumuman penetapan KIP-K. “Saya sangat berharap dan bergantung sekali (pada KIP-K),” kata Ikka.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Sektor pariwisata di Bali menyepi akibat dampak pandemi Covid-19. Suasana di sekitar Pantai Kuta, Badung, Bali, Kamis (29/7/2021). Akses ke pantai ditutup terkait pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Pandemi telah melumpuhkan ekonomi Bali. Meski kini mulai tumbuh lagi, banyak yang tidak bisa bangkit lagi, termasuk penghasilan ayah Ikka yang bekerja sebagai buruh bangunan.
“Tidak ada yang menghubungi ayah saya lagi untuk bekerja,” tuturnya.
Menurut Ikka, kuliah bukan hanya peluang untuk memperbaiki kondisi ekonomi, namun lebih dari itu.
“Saya meyakini, kuliah akan menambah relasi, membuka wawasan serta cara berpikir kami. Walaupun saya berasal dari keluarga yang kurang dalam hal finansial, tapi dorongan orang tua sangat memotivasi untuk lanjut kuliah. Kalau gelar saja orang bisa cari,” kata Ikka.
Putus kuliah
Adanya kisah dari Elsa, Fani, dan Ikka bukan berarti tidak ada masalah dalam pembiayaan kuliah di Indonesia untuk pelajar yang datang dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah atau miskin. Tidak semua mahasiswa miskin dapat akses beasiswa.
Assa Diatussoniya Sandi (22), dari Tanjung Enim, Sumatera Selatan, harus putus kuliah ketika baru 1,5 tahun menempuh kuliah prodi Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya akibat kondisi ekonomi keluarga. “Sedih sekali, karena punya cita-cita menjadi jaksa. Tapi terpaksa harus dikubur dalam-dalam. Kadang suka sedih kalau enggak sengaja buka Instagram, isinya tentang teman teman yang sudah mulai praktik simulasi persidangan,” tuturnya.
Untuk hidup mandiri dan tidak kian memberatkan ekonomi keluarga, kini ia bekerja sebagai pegawai salon. Namun semangat mengembangkan dirinya, seperti yang dirasakan Elsa, Stephanie, dan Ikka tak pernah padam.
Hasrat untuk menempuh bangku kuliah juga tak pernah berhenti. “Karena sempat kecewa terpaksa putus kuliah, aku ingin membuktikan ke orangtua walau tanpa bantuan dari mereka, aku bisa kuliah,” tegas Assa.
Perjalanan Assa, Ikka, Elsa, dan Fani masih panjang. Apakah gelar sarjana mampu membuat pasar kerja lebih bakal ramah bagi mereka kelak? Apakah pemerintah telah mempersiapkan pendidikan yang sesuai dengan ekspektasi penuntut ilmu dan juga industri? Jangan sampai beasiswa gratis hanya memberikan harapan palsu akan masa depan yang lebih cerah.