Buruh mendesak pemerintah membatalkan regulasi yang mengatur pemotongan upah. Pemerintah berdalih aturan itu dibuat sebagai bentuk antisipasi agar perusahaan tidak melakukan PHK secara sepihak.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serikat pekerja menolak kebijakan pemotongan upah buruh yang tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. Pemerintah beralasan, aturan tersebut merupakan bentuk antisipasi dampak ekonomi.
Ratusan pekerja yang tergabung dalam sedikitnya 13 serikat buruh sektor tekstil, garmen, sepatu, dan kulit berunjuk rasa di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) di Jakarta, Selasa (23/5/2023). Sejak pukul 11.30, para pekerja sudah memadati area luar kantor Kemenaker.
Sekretaris Jenderal Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Emelia Yanti Siahaan mengatakan, unjuk rasa ini bertujuan untuk mendesak Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah agar mencabut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 5/2023. Aturan tersebut mengizinkan pengusaha memotong upah buruh sampai 25 persen sehingga menghilangkan hak-hak yang harus diterima pekerja.
”Praktik pemotongan gaji dengan alasan krisis ekonomi sebelumnya dinyatakan ilegal. Sementara Permenaker No 5/2023 malah melegalkan hal itu,” ujar Emelia.
Pasal 8 dalam aturan itu menyebutkan, perusahaan industri padat karya yang terdampak perubahan ekonomi global dapat melakukan penyesuaian besaran upah pekerja, dengan ketentuan upah yang dibayarkan paling sedikit 75 persen dari upah yang biasa diterima. Adapun sektor padat karya yang dimaksud adalah industri tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, kulit dan barang kulit, furnitur, serta mainan anak.
Upah normal saja sebenarnya masih rendah. Bulan depan malah lebih rendah lagi. Sementara itu, biaya kontrakan, makan, dan lainnya masih tetap.
Dalam memotong upah diperlukan kesepakatan antara pengusaha dan buruh (tidak sebagai serikat). Menurut Emelia, buruh secara individu tidak akan mampu menghadapi pengusaha dan cenderung memilih patuh.
Buruh dari salah satu industri tekstil di Jakarta Utara, Titin NS, mengungkapkan, perusahaan tempatnya bekerja akan memotong upah sebesar 25 persen mulai Juni mendatang. Hal ini diakibatkan penurunan jumlah pesanan yang diterima perusahaan.
Upah sebesar Rp 4,7 juta per bulan yang seharusnya ia terima akan turun menjadi Rp 3,52 juta. Artinya, jumlah uang yang dibawa pulang bakal berada di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta yang sekitar Rp 4,9 juta per bulan.
Dengan nilai upah tersebut, Titin dan pekerja lainnya mendapatkan tambahan libur selama tujuh hari dalam sebulan. Hari libur yang tidak dikehendakinya ini yang membuat para buruh turun penghasilannya.
”Upah normal saja (belum dipotong) sebenarnya masih rendah. Bulan depan malah lebih rendah lagi. Sementara itu, biaya kontrakan, makan, dan lainnya masih tetap,” katanya.
Titin dan pekerja lainnya juga pernah meminta perusahaan untuk menunjukkan data bahwa terjadi penurunan pesanan yang menjadi alasan perusahaan memotong upah. Namun, perusahaan tidak pernah menunjukkan data tersebut.
Sementara itu, menurut Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor, pihaknya telah menjelaskan secara rinci Permenaker No 5/2023 kepada serikat buruh. Aturan itu dibuat sebagai bentuk antisipasi agar perusahaan tidak memutus hubungan kerja secara sepihak.
”Industri padat karya itu bergantung pada ekspor, khususnya ke Amerika Serikat dan Eropa. Merespons kondisi ekonomi di dua kawasan tersebut, dibuatlah Permenaker No 5/2023,” tuturnya.
Secara normatif, kebijakan itu juga bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya. Di antaranya Undang-undang (UU) Cipta Kerja terkait upah minimum dan Peraturan Pemerintah (PP) No 36/2021 tentang Pengupahan.
Afriansyah menambahkan, perusahaan yang memotong upah harus mendapatkan restu pekerja. Perusahaan juga perlu menunjukkan bahwa terjadi penurunan omzet dan permintaan. Kemenaker akan memverifikasi data tersebut.
Permenaker No 5/2023 diundangkan pada 8 Maret 2023 dan berlaku selama enam bulan, yakni hingga 8 September 2023. Aturan itu, lanjut Afriansyah, dapat kembali berlaku apabila krisis ekonomi masih menimpa AS dan Eropa.
Menurut dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, Kemenaker sebaiknya meninjau ulang rasio dan implikasi Permenaker No 5/2023. Kebijakan ketenagakerjaan seharusnya menjadi perisai bagi para pekerja di tengah kondisi ekonomi yang sulit, bukan justru mengambil hak dasar mereka.
Urgensi aturan yang dibangun untuk mencegah PHK, kata Nabiyla, cukup problematik. Sebab, kebijakan tersebut memindahkan beban pengusaha kepada para pekerja.
”Secara normatif, kebijakan itu bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya. Di antaranya Undang-Undang Cipta Kerja terkait upah minimum dan Peraturan Pemerintah (PP) No 36/2021 tentang Pengupahan,” ujarnya.