Sepuluh Kelompok Pekerja Tolak Permenaker No 5/2023
Permenaker No 5/2023 masih menuai pro-kontra. Kali ini kelompok serikat pekerja/buruh menyuarakan penolakannya. Pemerintah diharapkan punya solusi lain mengatasi ketidakpastian ekonomi global yang fokus ke industri.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 10 serikat pekerja/buruh di sektor tekstil, garmen, sepatu, dan kulit menolak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. Tanpa peraturan ini, mereka menyebut praktik pemotongan upah sudah terjadi, bahkan sebelum dan selama pandemi Covid-19.
Sepuluh serikat pekerja/buruh tersebut adalah Serikat Pekerja Nasional; Federasi Serikat Buruh Garmen, Kerajinan Tekstil, Kulit, dan Sentra Industri-Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (Garteks-KSBSI); Gabungan Serikat Buruh Indonesia; Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit- Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK-SPSI); Federasi Serikat Buruh Militan (FSebumi); dan Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (KSPN).
Selain itu, ada Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), FSP TSK-Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia; Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia-Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (FSBPI-KPBI); serta Rokok, Tembakau, Makanan, Minuman-Garteks Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi).
Kesepuluh serikat tersebut mewakili satu juta pekerja di sektor tekstil, garmen, sepatu, dan kulit.
Sekretaris Jenderal Gabungan Serikat Buruh Indonesia Emelia Yanti Siahaan di Jakarta, Senin (20/3/2023), mengklaim, sebagian dari pekerja di lima sektor industri padat karya berorientasi ekspor yang disebut oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 5/2023 telah menerima upah di bawah upah minimum kabupaten/kota. Kondisi itu telah terjadi bahkan sebelum Permenaker No 5/2023 terbit.
”Pada saat pandemi Covid-19, pemerintah juga sudah menerbitkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Covid-19. Kepmenaker ini memperbolehkan pembayaran upah di bawah upah minimum yang berlaku atas alasan kesepakatan dengan pekerja,” kata Emelia.
Menurut dia, permintaan ekspor memang turun, terutama dari Eropa. Namun, sepanjang pengamatannya, ada beberapa industri yang akhirnya mengalihkan ke pasar lain. Kalaupun terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) saat ini, hal itu karena lebih banyak dilakukan oleh perusahaan yang tutup dan mengalihkan ke daerah lain yang upahnya lebih murah. Di sana, perekrutan naik dua kali lipat.
Pengurus bidang advokasi FSBPI-KPBI, Ita Purnamasari, menyampaikan, sebagian besar pekerja di sektor industri garmen merupakan perempuan. Mereka umumnya memiliki posisi tawar lebih rendah. Sebelum Permenaker No 5/2023 terbit pada 8 Maret 2023, dia menyebut sudah ada praktik libur tidak dibayar meski status pekerjanya adalah pekerja tetap dan biasanya digugat menggunakan ketentuan perselisihan hubungan kerja.
”Ketika lahir Permenaker No 5/2023, kami sukar menarik kasus seperti itu menggunakan aspek hukum perselisihan hubungan kerja. Kami mengakui, di tengah ketidakpastian ekonomi, pemangkasan pekerja di sektor padat karya kerap terjadi, terutama berbentuk pensiun dini. Lalu, pekerja terdampak direkrut lagi, tetapi statusnya pekerja kontrak,” kata Ita.
Sekretaris KSPN Lilis Mahmudah menyampaikan, dua tahun terakhir terjadi pandemi Covid-19 dan kenaikan upah tidak lebih dari 2 persen. Sementara kenaikan harga barang pokok terjadi. Pemerintah tampaknya tidak ada upaya yang signifikan untuk menahan laju kenaikan harga barang pokok.
Cegah PHK
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Ketenagakerjaan Chairul Fadhly Harahap, saat dikonfirmasi, mengatakan, setiap masyarakat berhak mengeluarkan pendapatnya, termasuk serikat pekerja/buruh. Hal ini dilindungi oleh undang-undang.
”Ruang menyalurkan aspirasi juga sudah diatur oleh undang-undang. Kami hanya mengimbau agar masyarakat memahami isi Permenaker No 5/2023, yaitu mencegah agar PHK tidak meluas. Kami juga tidak tiba-tiba mengeluarkan permenaker ini karena semuanya berbasis data,” ujarnya.
Dia juga menekankan, baik penyesuaian upah maupun jam kerja harus berdasarkan kesepakatan serikat pekerja/buruh dengan pengusaha. Artinya, peran serikat pekerja/buruh sangat penting untuk tercapai tidaknya kesepakatan.
Mengenai Kepmenaker No 104/2021, Chairul menjelaskan bahwa kepmenaker itu berlaku selama masa pandemi Covid-19, terutama bagi pengusaha dan pekerja yang di daerahnya berlaku kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat/kegiatan usaha. Dengan kata lain, ketika pembatasan berakhir, kepmenaker itu tidak berlaku lagi.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Adi Mahfudz, saat dikonfirmasi, menjelaskan, Permenaker No 5/2023 adalah salah satu cara menekan PHK di lima sektor padat karya berorientasi ekspor. Selain itu, permenaker ini juga bertujuan melindungi pekerja sendiri dan kelangsungan dunia usaha.
”Kami telah mewanti-wanti agar pengusaha mengedepankan komunikasi yang cukup sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dengan pekerja. Kenyataannya, pascapandemi Covid-19 berlanjut krisis ekonomi global dan perang Rusia-Ukraina belum reda. Mampu atau tidak, pengusaha harus mengomunikasikan,” katanya. Menurut dia, Permenaker No 5/2023 sudah disosialisasikan di Lembaga Kerja Sama Tripartit nasional.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, berpendapat, dari kacamata hukum ketenagakerjaan, pemerintah sebenarnya bisa mencari opsi kebijakan lain yang fokusnya kepada pengusaha, misalnya insentif pajak dan pengurangan bea masuk bahan baku impor. Tujuannya mengurangi beban ongkos pengusaha.
”Kebijakan pemotongan upah disproportionately unfair kepada golongan pekerja, yang notabene adalah pihak terlemah dalam hubungan kerja. Dengan demikian, dari kacamata hukum ketenagakerjaan, saya tetap berpendapat kebijakan Permenaker No 5/2023 tidak pas,” katanya.