Kemnaker: Regulasi Diterbitkan untuk Cegah PHK Lebih Luas
Kementerian Ketenagakerjaan menyebut Permenaker 5/2023 diterbitkan guna mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja yang lebih masif di industri padat karya. Kelonggaran diperlukan untuk menjaga kelangsungan usaha.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA
Ilustrasi
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Ketenagakerjaan menilai penerbitan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 diperlukan untuk mencegah pemutusan hubungan kerja atau PHK lebih luas di industri padat karya. Regulasi itu mengakomodasi permohonan fleksibilitas dari sejumlah asosiasi terkait dampak ketidakpastian situasi global.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Indah Anggoro Putri di Jakarta, Jumat (17/3/2023), menyatakan, Kemnaker mengeluarkan regulasi itu dengan sangat hati-hati.
Pihaknya berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait ketika menerima permohonan fleksibilitas jam kerja dari sejumlah asosiasi industri pada Oktober 2022. Asosiasi itu meliputi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Asosiasi Persepatuan Indonesia, dan Asosiasi Produsen Garmen Korea (Korea Garment Mafufacture’s Association/KOGA) di Indonesia.
Menurut dia, tidak ada regulasi ketenagakerjaan apa pun dan di mana pun yang eksplisit menyatakan bisa menihilkan PHK, termasuk Permenaker No 5/2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.
Indonesia, kata dia, tidak mengenal istilah no work, no pay atau tidak ada kerja tidak ada upah. Permenaker No 5/2023 juga bukan mengenai hal itu. Dengan demikian, ketika pekerja menggunakan hak liburnya, pengusaha harus tetap membayarkan upahnya.
Peraturan yang berlaku mulai 8 Maret 2023 itu mengizinkan perusahaan padat karya berorientasi ekspor mengurangi waktu kerja dan membayarkan upah paling sedikit 75 persen. Kelonggaran itu diberikan guna menjaga kelangsungan bekerja dan berusaha seiring penurunan permintaan pasar karena dampak perubahan ekonomi global.
Perusahaan padat karya berorientas ekspor yang dimaksud dalam regulasi itu, antara lain, mesti memenuhi kriteria memiliki pekerja minimal 200 orang dan persentase biaya tenaga kerja minimal 15 persen. Industri itu meliputi industri tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, kulit dan barang kulit, furnitur, serta mainan anak.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, dalam situasi tekanan ekonomi global, kebijakan pemerintah memperbolehkan pengusaha menyesuaikan jam kerja dan upah relatif lazim dilakukan negara lain. Sebab, kebijakan itu bertujuan meminimalkan PHK.
Meski demikian, dalam konteks Indonesia, menurut dia, pemerintah sebaiknya memberlakukan pengurangan biaya energi, listrik, pajak, dan tarif pembelian impor bahan baku material lebih dulu kepada pengusaha. Setelah itu, pemerintah baru mengeluarkan kebijakan yang membolehkan penyesuaian jam kerja dan upah.
Sementara itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M Hadi Subhan, berpendapat, di sejumlah perusahaan padat karya berorientasi ekspor biasanya ada pekerja berstatus perjanjian kerja waktu tertentu dan waktu tidak tertentu. Di tengah ketidakpastian ekonomi, pekerja dari dua kelompok itu seharusnya tetap terlindungi hak-haknya.