Aturan Penyesuaian Upah dan Waktu Kerja Menuai Pro-Kontra
Pemerintah membolehkan perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor menyesuaikan jam kerja dan upah. Keputusan itu dinilai membutuhkan pengawasan yang ketat dari pemerintah agar tidak terjadi penyalahgunaan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA
Ilustrasi
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengizinkan perusahaan padat karya berorientasi ekspor untuk mengurangi waktu kerja dan membayarkan upah paling sedikit 75 persen dari upah yang biasa diterima pekerja. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. Namun, regulasi ini menuai pro dan kontra.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 ditandatangani oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah tanggal 7 Maret 2023 dan langsung berlaku sejak diundangkan pada 8 Maret 2023. Pada Pasal 4 Permenaker No 5/2023 disebutkan, perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor terdampak perubahan ekonomi global sehingga penyesuaian waktu kerja dilakukan untuk mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK).
Terkait waktu kerja, Pasal 5 Permenaker No 5/2023 menyebutkan, perusahaan dapat menyesuaikan waktu kerja kurang dari tujuh jam per hari dan 40 jam per minggu untuk enam hari kerja dalam sepekan. Selain itu, ada opsi lain, yakni delapan jam per hari dan 40 jam per minggu untuk lima hari kerja dalam sepekan.
Sementara itu, Pasal 8 Permenaker 5/2023 menyatakan, pemerintah membolehkan penyesuaian besaran upah pekerja/buruh perusahaan padat karya berorientasi ekspor dengan membayarkan paling sedikit 75 persen dari upah yang biasa diterima pekerja/buruh. Pada Pasal 12 dijelaskan, besaran upah yang dimaksud dalam Pasal 8 itu tidak berlaku sebagai dasar perhitungan iuran dan pembayaran manfaat jaminan sosial, kompensasi PHK, dan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baik soal penyesuaian waktu kerja maupun penyesuaian besaran upah, regulasi itu mengatur bahwa kedua hal itu harus berdasarkan kesepakatan antara serikat pekerja/buruh dan pengusaha.
Ketua Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit, Kamis (16/3/2023), di Jakarta, mengatakan, mulai pertengahan tahun 2022, permintaan ekspor khusus barang produksi industri padat karya menurun drastis. Pada mulanya, kondisi itu diserukan oleh industri tekstil dan produk tekstil, lalu garmen, alas kaki, dan belakangan menyusul sektor lain, misalnya furnitur.
Ketimbang melakukan PHK, pengusaha padat karya di sektor-sektor itu mengusulkan kepada pemerintah agar dibuatkan ketentuan fleksibilitas jam kerja sejak tahun lalu. ”Hanya komoditas tertentu. Negara tujuan ekspornya pun tertentu (tidak semuanya). Hal ini juga sebenarnya sudah tertuang di Permenaker Nomor 5/2023 sehingga seharusnya tidak ada salah tafsir,” ujarnya.
Sesuai Pasal 3 Permenaker No 5/2022, sasaran Permenaker No 5/2023 adalah sektor industri tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, kulit dan barang kulit, furnitur, serta mainan anak. Perusahaan di sektor itu harus memiliki minimal 200 pekerja, persentase biaya tenaga kerja minimal 15 persen, serta melayani permintaan produksi yang bergantung dari Amerika Serikat dan Eropa.
”Kalau toh perusahaan memperkerjakan penuh waktu atau ada lembur, upah tetap dibayarkan penuh. Permenaker Nomor 5/2023 juga bersifat temporer,” katanya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar berpendapat, Permenaker No 5/2023 bisa menyebabkan upah pekerja di sektor padat karya industri berorientasi ekspor akan dibayar di bawah ketentuan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Jumlah jam kerja boleh berkurang, tetapi pembayaran upah jangan di bawah UMK berlaku. Sebab, Pasal 88E Ayat (2) UU Cipta Kerja melarang pengusaha membayar upah lebih rendah daripada upah minimum.
Kontainer yang memuat tekstil produksi dari PT Sri Rejeki Insan Tbk atau Sritex dilepas untuk diekspor ke pasar internasional oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (15/9/2022). Terdapat 50 kontainer yang dilepas untuk diekspor ke sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Brasil, Polandia, Uni Emirat Arab, dan Jepang. Nilainya sebesar 3,7 juta dollar AS.
Pengawasan
Kesepakatan penyesuaian waktu kerja atau pemberian upah dapat dilakukan antara pengusaha dan serikat pekerja/buruh dinilai tidak tepat. Sebab, tidak semua perusahaan memiliki serikat pekerja/buruh.
”Isi permenaker itu sangat rawan dimanfaatkan oleh perusahaan lain yang tidak sesuai ketentuan. Apalagi, berdasarkan pengamatan kami, peran dan tugas pengawas ketenagakerjaan sangat lemah selama ini. Kami yakin pengawas ketenagakerjaan tidak akan mampu mengidentifikasi perusahaan yang terdampak perubahan ekonomi global atau tidak,” imbuh Timboel.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal berpendapat, pemberian upah di bawah upah minimum melanggar ketentuan perundang-undangan. Dia khawatir, ketika pemerintah membolehkan perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor mengurangi jam kerja, hal ini berpotensi disalahgunakan pengusaha untuk tidak membayar upah.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memandang, Permenaker No 5/2023 butuh beberapa penjelasan lebih detail. Misalnya, penurunan permintaan ekspor yang seharusnya pemerintah sudah punya patokan porsi penurunan. ”Dalam bisnis, biasanya terdapat siklus penurunan. Jadi, pemerintah jangan asal pukul rata, yang penting turun,” katanyaa.
Penyesuaian waktu kerja memang diperbolehkan berdasarkan kesepakatan serikat pekerja/buruh dan perusahaan. Namun, menurut dia, pemerintah seharusnya jadi wasit yang mengawasi secara adil.
Mengenai penyesuaian upah, Tauhid kurang sepakat. Menurut dia, di tengah kondisi sulit, pemerintah seharusnya tidak membolehkan penyesuaian upah pokok, tetapi insentif kepada pekerjalah yang dikurangi. Sebab, bagaimanapun, di tengah kondisi sulit, pengeluaran pekerja relatif tetap.
Membantu perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor seharusnya bukan hanya dengan pendekatan kebijakan.
Pemerintah juga seharusnya melampirkan data perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor mana saja yang sudah terdampak oleh ketidakpastian ekonomi global beserta porsi penurunan permintaan produk ekspor. Tujuannya adalah mengantisipasi adanya perusahaan yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
”Membantu perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor seharusnya bukan hanya dengan pendekatan kebijakan ketenagakerjaan (seperti Permenaker No 5/2023). Masih banyak cara bisa dilakukan oleh pemerintah, seperti pengurangan pungutan pajak ke perusahaan,” imbuh Tauhid.