THR dan Jaminan Sosial Tetap Harus Dibayarkan kepada Pekerja
Pemerintah menekankan agar perusahaan padat karya berorientasi ekspor yang akan menggunakan Permenaker No 5/2023 untuk tetap membayar tunjangan hari raya, jaminan sosial, dan kompensasi hak pekerja lainnya.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Pekerja pabrik tekstil dan produk tekstil mengisi waktu istirahat dengan berbelanja di warung dan pedagang sekitar pabrik di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Senin (11/2/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Tunjangan hari raya dan jaminan sosial tetap diberikan kendati sudah keluar kebijakan penyesuaian jam kerja dan upah bagi industri padat karya berorientasi ekspor. Pemerintah menekankan agar ketentuan hukum itu dipatuhi oleh perusahaan.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri menyampaikan, dalam Pasal 12 Ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global sudah dijelaskan secara detail.
Besaran upah hasil kesepakatan penyesuaian tidak berlaku sebagai dasar perhitungan iuran dan pembayaran manfaat jaminan sosial; kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK), dan hak-hak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
”Tunjangan hari raya (THR), sebentar lagi hari raya Idul Fitri, harus tetap dibayarkan kepada pekerja di perusahaan padat karya berorientasi ekspor,” ujarnya saat konferensi pers penjelasan Permenaker No 5/2023 di Jakarta, Jumat (17/3/2023).
Dia juga menekankan, tidak ada regulasi ketenagakerjaan apa pun dan di mana pun yang secara eksplisit menyatakan bisa menihilkan PHK, termasuk Permenaker No 5/2023. Permenaker ini bertujuan mencegah gelombang PHK di sektor industri padat karya yang lebih luas. Kalaupun ada pekerja di industri itu mengalami PHK setelah Permenaker No 5/2023 keluar, mereka tetap dapat kompensasi yang dihitung sebelum ada kesepakatan penyesuaian upah.
Menurut Indah, Indonesia tidak mengenal istilahno work, no pay. Permenaker No 5/2023 juga bukan mengenai hal itu. Dengan demikian, ketika pekerja menggunakan hak liburnya, pengusaha harus tetap membayarkan upahnya.
Lebih jauh, dia menceritakan, baru-baru ini, dia bertemu dengan Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dari hasil pertemuan itu, kedua dinas melaporkan bahwa tahun lalu, jumlah pekerja di sektor industri padat karya yang terkena PHK di wilayahnya mencapai lebih dari 7.000 orang. Pada tahun 2023, Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Barat telah menyebut masih ada potensi PHK sekitar 2.000 orang.
Keberadaan Permenaker No 5/2023 diharapkan bisa mencegah PHK lebih masif. Kementerian Ketenagakerjaan bersama jajaran dinas ketenagakerjaan di daerah tetap berupaya melakukan pendampingan bagi perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor yang telah berkeluh kesah ingin melakukan PHK. Pemerintah sebisa mungkin mengimbau agar hal itu tidak terjadi. Pemerintah juga menawarkan dukungan sampai terjadi dialog bipartit.
Keberadaan Permenaker No 5/2023 diharapkan bisa mencegah PHK lebih masif.
Indah menambahkan, Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan Permenaker No 5/2023 dengan sangat hati-hati. Pihaknya berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait ketika menerima permohonan fleksibilitas jam kerja dari sejumlah asosiasi industri pada Oktober 2022. Asosiasi yang dia maksud meliputi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Asosiasi Persepatuan Indonesia, dan Korea Garment Mafufacture’s Association in Indonesia. Tujuan koordinasi adalah mengecek kebenaran laporan.
”Kalau jumlah pabrik (dari laporan para asosiasi tersebut) mungkin lebih dari 100,” ujar Indah ketika ditanya berapa banyak jumlah perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor yang berpotensi menggunakan Permenaker No 5/2023.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Pekerja industri garmen di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pulang setelah bekerja di pabrik, Kamis (23/4/2020) sore.
Permenaker No 5/2023 mengatur, perusahaan dapat menyesuaikan waktu kerja kurang dari 7 jam per hari dan 40 jam per minggu untuk enam hari kerja per pekan. Selain itu, ada opsi lain, yakni 8 jam per hari dan 40 jam per minggu untuk lima hari kerja per pekan.
Selain itu, Permenaker No 5/2023 juga memperbolehkan penyesuaian besaran upah pekerja/buruh dengan membayarkan paling sedikit 75 persen dari upah yang biasa diterima pekerja/buruh. Besaran upah itu tidak berlaku sebagai dasar perhitungan iuran dan pembayaran manfaat jaminan sosial, kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK), serta hak-hak lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Kriteria perusahaan sasaran Permenaker No 5/2023 adalah memiliki pekerja minimal 200 orang, persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi minimal 15 persen, serta bergantung pada pesanan dari Amerika Serikat dan negara di Eropa. Industri padat karya berorientasi ekspor itu meliputi industri tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, kulit dan barang kulit, furnitur, serta mainan anak.
Pekerja tidak tetap
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M Hadi Subhan, berpendapat, di sejumlah perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor biasanya terdapat pekerja yang berstatus perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Di tengah situasi perubahan kondisi makroekonomi, pekerja dari dua kelompok tersebut seharusnya tetap terlindungi hak-haknya.
”Permenaker No 5/2023 sinkron jika status pekerja adalah PKWT, pekerja harian atau paruh waktu, yang upahnya dihitung berdasarkan harian. Syarat PKWT pekerja harian jika dalam satu bulan bekerjanya kurang dari 21 hari,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, saat dihubungi terpisah, berpendapat, dalam situasi tekanan perubahan ekonomi global, kebijakan pemerintah yang memperbolehkan pengusaha menyesuaikan jam kerja dan upah relatif lazim dilakukan negara lain. Sebab, kebijakan itu bertujuan meminimalkan PHK.
Meski demikian, dalam konteks Indonesia, dia memandang, pemerintah sebaiknya memberlakukan pengurangan biaya energi, listrik, pajak, dan tarif pembelian impor bahan baku material terlebih dulu kepada pengusaha. Setelah itu, pemerintah baru mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan penyesuaian jam kerja dan upah.