Industri sepatu serta tekstil dan produk tekstil masih menjadi andalan untuk menyerap tenaga kerja. Akan tetapi, dua tahun terakhir, fenomena pemutusan hubungan kerja terus menghantui kinerja sektor padat karya ini.
Oleh
MEDIANA, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Karyawan pabrik sepatu PT Dean Shoes Karawang, Jawa Barat, saling berpelukan setelah mendapat surat pemutusan hubungan kerja (PHK), Selasa (28/3/2023). PT Dean Shoes menutup pabrik dan menghentikan operasi pada 14 April. Sebanyak 3.329 pekerja mengalami PHK.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pemulihan ekonomi nasional, industri alas kaki serta tekstil dan produk tekstil belum sepenuhnya bangkit dari efek pandemi Covid-19 dan perlambatan ekonomi global. Hal itu, antara lain, tecermin dari masih terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja pada sektor manufaktur padat karya ini.
Permintaan pasar ekspor pada kedua sektor itu melemah akibat tekanan perekonomian global. Kondisi itu dibarengi kesulitan mendongkrak penjualan di pasar dalam negeri karena serbuan barang impor. Akibatnya, penurunan produksi yang berujung pada pengurangan tenaga kerja sulit dihindari.
Salah satu produsen sepatu, PT Dean Shoes di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, misalnya, menghentikan operasi dan menutup pabrik per 14 April 2023. Sebanyak 3.329 pekerjanya mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Fajar Ahmad Faizal, yang saat ditemui menjelang penutupan pabrik masih menangani urusan humas PT Dean Shoes, menjelaskan, ketidakpastian perekonomian global akibat perang Rusia-Ukraina membuat pemegang merek mengurangi pesanan kepada PT Dean Shoes sejak 2022. Mulanya, perusahaan menyiasatinya dengan memberlakukan pengurangan hari kerja menjadi empat hari sepekan.
Salah satu produsen sepatu, PT Dean Shoes di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, misalnya, menghentikan operasi dan menutup pabrik per 14 April 2023. Sebanyak 3.329 pekerjanya mengalami PHK.
”Bersamaan dengan kondisi itu, upah minimum kabupaten naik tinggi. Investor kami mencari lokasi produksi yang lebih murah agar bisa beroperasi lebih berkelanjutan. PHK dilakukan pada 6 April dan 14 April sehingga sebelum Lebaran sudah clear,” ujar Fajar yang juga tak luput mengalami PHK.
PT Dean Shoes selama ini memproduksi sepatu dari merek Nike dan Under Armour untuk kategori kelas menengah. Menjelang penutupan operasi, perusahaan hanya mengerjakan pesanan dari Nike yang masih tersisa. Belum jelas kelanjutan nasib fasilitas PT Dean Shoes.
Fenomena pengurangan tenaga kerja juga mendera industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Kwee Liang Cing, pemilik dan direktur perusahaan tekstil yang memproduksi kain untuk seprai dan mode, PT Bentara Sinarprima, di Kabupaten Bandung, Jabar, mengatakan, pihaknya sudah mengurangi tenaga kerja dari sebelumnya 500 orang menjadi 260 orang. Para pekerja yang sebelumnya masuk 5-6 hari kerja dalam sepekan kini hanya masuk 1-2 hari kerja.
Lilik, begitu ia biasa dipanggil, menuturkan, kapasitas produksi pabriknya terus turun sejak 2022 karena anjloknya permintaan. Kapasitas produksi pabrik yang semula 2 juta-2,5 juta meter per bulan kini hanya terpakai 30-35 persen. Produksi kain tinggal berkisar 700.000-800.000 meter per bulan.
Merosotnya permintaan yang berimbas pada penurunan produksi ini, kata Lilik, disebabkan pasar dalam negeri tertekan oleh produk impor yang membanjir. Harga seprai dan kain untuk mode yang diimpor itu lebih murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
Produk dalam negeri, menurut dia, sulit bersaing karena produsen terbebani kenaikan berbagai biaya, mulai dari upah pekerja hingga ongkos operasional. Di sisi lain, importasi tekstil lebih mudah dan murah. ”Banjirnya barang impor ini sudah sangat meresahkan,” kata Lilik, beberapa waktu lalu.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Karyawan pabrik sepatu PT Dean Shoes di Karawang, Jawa Barat, meninggalkan tempat kerja setelah mendapat surat pemutusan hubungan kerja, Selasa (28/3/2023). PT Dean Shoes menutup pabrik dan menghentikan operasi 14 April 2023. Sebanyak 3.329 pekerja mengalami PHK.
Pemangkasan jumlah pekerja juga terjadi di sentra industri TPT Majalaya, Kabupaten Bandung. Salah satu pengusaha TPT di Majalaya, Aep Hendar Cahyadi, menyebutkan, dua tahun terakhir, jumlah pekerjanya merosot dari 245 orang menjadi 85 orang. Jumlah hari kerja pun dipangkas menjadi empat hari dalam sepekan.
Dedi (bukan nama sebenarnya), yang mengelola pabrik TPT lain di Majalaya, menceritakan hal serupa. Dua tahun lalu, jumlah pekerja di pabriknya sekitar 400 orang, tetapi kini tinggal setengahnya dengan kapasitas produksi 60 persen.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Federasi Serikat Buruh Garmen, Kerajinan, Tekstil, Kulit, dan Sentra Industri Serikat Buruh Seluruh Indonesia (Garteks) Ary Joko, awal pekan, mengatakan, industri padat karya alas kaki dan TPT sempat terpukul oleh pembatasan sosial karena pandemi Covid-19.
Tekanan itu terutama dialami selama April-September 2020. Memasuki tahun 2021, kedua sektor ini sebenarnya mulai menggeliat. Bahkan, sempat terdengar kabar perluasan bisnis.
”Total anggota kami berjumlah 60.000 orang. Sepanjang pandemi 2020-2021, sebanyak 12.300 pekerja anggota kami mengalami PHK. Kami minta keadilan pada saat pandemi, seperti negosiasi upah. Ketika sempat terjadi pemulihan sebentar pada 2021, ada perekrutan kembali pekerja yang sempat ter-PHK,” tutur Ary.
Akan tetapi, belum lagi pulih dari pandemi, perekonomian global kembali memburuk dipicu perang Rusia-Ukraina. Permintaan pasar ekspor pun melemah.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Kondisi salah satu mesin produksi tekstil yang tidak dioperasikan oleh pabrik tekstil di Majalaya, Bandung, Jawa Barat, karena kurangnya orderan yang masuk, Kamis (30/3/2023). Masifnya kain impor yang membanjiri pasar lokal menyebabkan industri tekstil Majalaya kekurangan pesanan dan terpuruk.
Ongkos terus naik
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengatakan, penutupan pabrik seperti terjadi pada PT Dean Shoes tak terhindarkan karena merosotnya permintaan pasar ekspor.
Di sisi lain, pelaku industri berhadapan dengan upah pekerja yang terus naik. Apalagi, upah minimum kota/kabupaten (UMK) Karawang 2023 termasuk yang tertinggi di Indonesia dengan besaran Rp 5,17 juta per bulan, naik 7 persen dibandingkan dengan tahun 2022 yang sebesar Rp 4,79 juta per bulan.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) berpandangan, kebijakan upah minimum saat ini tidak tepat untuk menolong industri padat karya tersebut.
”Formula penghitungan yang diputuskan oleh pemerintah membuat kenaikan upah minimum tidak wajar. Sementara produktivitas tidak turut naik sehingga semakin memengaruhi daya saing industri TPT,” ucap Wakil Ketua API Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nurdin Setiawan.
Pada sektor hulu tekstil yang relatif lebih padat modal, porsi biaya tenaga kerja diperkirakan 10-15 persen. Adapun pada garmen, porsi biaya tenaga kerja sekitar 18 persen. Karena material yang dipakai untuk garmen cenderung lebih banyak berasal dari impor, porsi biaya bahan baku terhadap total biaya produksi bisa berkisar 55-65 persen.
”Ada dampak lain dari selisih upah minimum yang naik, yakni kenaikan iuran jaminan sosial, nilai tunjangan hari raya, dan biaya lembur,” ujar Nurdin.
Ia menambahkan, dengan berbagai tekanan itu, PHK menjadi opsi tidak terelakkan. Sebagai gambaran, pada periode Januari-November 2022, perusahaan-perusahaan anggota API melakukan PHK terhadap hampir 80.000 pekerja.
Sebelumnya, industri TPT pernah dihantam krisis pada 1997-1998 dan 2008-2009, tetapi mampu bertumbuh kembali jadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja. Kali ini pun, ia berpendapat, industri TPT di Indonesia tak akan mengalami senja kala karena produk TPT selalu dibutuhkan.
Namun, API berharap pemerintah memberi dukungan kebijakan bagi pengembangan industri padat kerja ini. Dukungan yang diharapkan itu, antara lain, terkait aturan pengupahan minimum, insentif harga energi, dan ketegasan menangkal impor TPT, terutama yang ilegal.