Pelaku industri tekstil dan produk tekstil atau TPT saat ini menghadapi tekanan, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Beragam upaya dan inovasi pun dilakukan untuk dapat bertahan.
Oleh
MEDIANA, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Pemilik dan Direktur PT Bentara Sinarprima, Kwee Liang Cing, mengecek kain yang diproduksi mesin tekstilnya di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/3/2023). Pabrik yang berdiri sejak tahun 1996 ini memproduksi kain untuk mode dan kain seprai untuk memenuhi pasar domestik.
Pelaku industri tekstil dan produk tekstil mesti memutar otak untuk bertahan. Mereka berhadapan dengan menurunnya permintaan pasar dalam negeri akibat banjir barang impor. Di sisi lain, permintaan ekspor melemah akibat perlambatan ekonomi global. Agar dapat bertahan, para pelaku industri ini, antara lain, mengembangkan produk untuk menjangkau pasar baru serta mengefisienkan produksi.
Kwee Liang Cing, pemilik dan direktur PT Bentara Sinarprima, perusahaan tekstil yang memproduksi kain untuk seprai dan mode, mengatakan, saat ini pasar dalam negeri tengah tertekan oleh banjirnya produk impor. Tak cuma jumlahnya yang membanjiri pasar, harga seprai dan kain untuk mode produk impor juga bisa lebih murah hingga Rp 2.000 per meter dibandingkan produk dalam negeri.
Ia menjelaskan, produk dalam negeri sulit bersaing dari aspek harga karena dibebani berbagai ongkos dan minimnya perlindungan pasar dalam negeri. Pelaku industri harus menghadapi kenaikan berbagai biaya, mulai dari upah hingga ongkos operasional. Di sisi lain, importasi tekstil lebih mudah dan murah sehingga harganya lebih kompetitif.
Lilik, begitu ia biasa dipanggil, menambahkan, banjirnya barang impor dengan jumlah yang masif dan harga lebih murah inilah yang paling meresahkannya. ”Banjirnya barang impor ini sudah sangat meresahkan. Kami kesulitan menjual produk kami,” ujarnya saat ditemui di pabriknya di Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Rabu (29/3/2023).
Pelaku industri harus menghadapi kenaikan berbagai biaya, mulai dari upah hingga ongkos operasional. Di sisi lain, importasi tekstil lebih mudah dan murah sehingga harganya lebih kompetitif.
Dampaknya, sejak 2022 hingga saat ini produksi pabriknya terus menurun secara bertahap. Kapasitas produksi perusahaan Lilik sejatinya 2 juta- 2,5 juta meter per bulan. Namun, kini kapasitas hanya terpakai 30-35 persen, yakni sebesar 700.000- 800.000 meter per bulan. Akibatnya, jumlah pekerja yang sebelumnya 500 orang berkurang hanya tinggal 260 orang. Para pekerja itu pun hanya masuk kerja satu-dua hari tiap pekan karena minimnya permintaan.
Untuk menyiasati tekanan situasi itu, Lilik menjelaskan, ia mencoba memproduksi bahan kain batik untuk pasar dalam negeri. Menurut dia, pasar pakaian batik sangat besar, mulai dari anak sekolah, pegawai kantoran, hingga pegawai instansi pemerintah.
Aktivitas produksi garmen PT Pan Brothers Tbk di Kota Tangerang, Banten, Senin (27/3/2023). Dengan jumlah pekerja 30.000 orang, Pan Brothers mempunyai kapasitas produksi mencapai 117 juta potong garmen setara kaus polo per tahun. Dari jumlah tersebut, 97 persen di antaranya untuk memenuhi pangsa ekspor.
Dalam wawancara virtual, Rabu (15/3/2023), di Jakarta, Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Tbk Anne Patricia Sutanto menyampaikan cerita senada. Sebagai efek inflasi dunia yang tinggi, permintaan pakaian turun signifikan. Sejumlah pelaku industri yang berorientasi ekspor terimbas.
”Tekstil dan produk tekstil dari Indonesia sekarang menjadi penyuplai dunia di urutan ke-21. Ini kami berbicara pangsa pasar. Urutan teratas sekarang diisi oleh China, Bangladesh, Vietnam, Pakistan, dan India,” kata Anne.
Business Development dan Investor Relationship General Manager PT Pan Brothers Tbk Boedi Satrio menyebutkan, beberapa hal diyakini bisa membuat perusahaan bertahan. Salah satunya, mengutamakan berkecimpung pada segmen spesifik. Selama ini, PT Pan Brothers Tbk pun berupaya konsisten memproduksi seasonal outerwear(pakaian luar untuk musim tertentu).
”Di Indonesia bisa dikatakan cuma kami yang ‘bermain’ di segmen itu. Pakaian luar, seperti jaket, mempunyai kompleksitas pembuatan level menengah dan tinggi,” ujarnya saat dijumpai di pabrik PT Pan Brothers Tbk di Kota Tangerang, Banten, Senin (27/3/2023). Kepada pemegang merek global, perusahaan pun menawarkan kemampuan pembuatan seperti itu.
Ada beberapa faktor yang diyakini mampu membuat perusahaan bisa bertahan. Salah satunya adalah perusahaan bisa mengutamakan berkecimpung pada segmen spesifik
Selain itu, lanjut Boedi, perusahaan juga berkomitmen memenuhi prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan yang baik sehingga meningkatkan nilai tambah. Contohnya, dilakukan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya atap di pabrik Pan Brothers di Boyolali, Jawa Tengah.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Pekerja Pabrik Tekstil PT Bentara Sinarprima di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sedang memonitor proses produksi kain, Rabu (29/3/2023). Pabrik yang berdiri sejak tahun 1996 ini memproduksi kain untuk mode dan kain seprai untuk memenuhi pasar domestik.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nurdin Setiawan membenarkan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional memang mengalami tekanan dari banyak sisi.
Setelah terhantam oleh pandemi Covid-19, pelaku industri TPT sebenarnya berharap agar sektor industri TPT bisa pulih pada 2022. Akan tetapi, pemulihannya ternyata hanya tumbuh pada awal tahun 2022. Perang Rusia-Ukraina yang berlanjut hingga kini turut menyebabkan ketidakpastian ekonomi global dan mengganggu permintaan ekspor TPT.
Menurutnya, sebesar 30 persen pasar TPT Indonesia berorientasi ekspor dan 70 persen memasok pasar domestik. Ketika permintaan ekspor TPT melambat ataupun mengalami penurunan seperti sekarang, pelaku industri TPT sebenarnya berharap kepada pasar domestik. Namun, harapan itu ternyata tidak sepenuhnya bisa terpenuhi.
”Situasi serbuan produk impor, terutama ilegal, bukan hanya mengganggu pelaku industri berskala besar, tetapi juga sampai ke rantai pasok yang dijalankan oleh skala kecil menengah (IKM) yang bergerak di TPT,” ujar Nurdin.
Tantangan lain yang dihadapi pelaku industri dan diyakini berpengaruh pada kinerja industri padat karya adalah kebijakan upah minimum. Nurdin menjelaskan, penghitungan upah minimum mulanya berdasar pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Lalu, pemerintah mengeluarkan formula berbeda yang terangkum dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.
Tantangan lain yang dihadapi pelaku industri dan diyakini berpengaruh pada kinerja industri padat karya adalah kebijakan upah minimum.
Mengatasi tantangan multi-aspek yang dihadapi pelaku industri TPT tersebut, Nurdin menyampaikan, asosiasi berharap agar pemerintah membuat kebijakan yang berpihak. ”Terutama menyangkut impor. Pemerintah seharusnya bisa menindak atau mengatur tegas produk-produk impor. Terlebih menyangkut produk impor barang bekas,” imbuhnya.
Berdasarkan data API, pada 2020-2021 jumlah perusahaan TPT skala menengah besar tercatat 5.863 perusahaan dengan utilitas sekitar 65,9 persen. Sementara jumlah IKM di sektor TPT mencapai 900.000 perusahaan. Adapun jumlah tenaga kerja TPT pada industri berskala sedang ke besar saja mencapai 3 juta orang.