Tantangan dan Resolusi Satu Abad Industri Tekstil Nusantara
Satu abad industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi pijakan penting bagi pemerintah dan pelaku industri tersebut untuk mengurangi impor bahan baku. Selain itu, peta jalan industri TPT berkelanjutan diperlukan.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA
Aktivitas produksi divisi garmen PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (13/2/2019). Industri tekstil dan produk tekstil masih memiliki peluang luas di pasar dalam negeri maupun ekspor namun menghadapi tantangan efisiensi dan persaingan global.
Tahun ini, usia industri tekstil dan produk tekstil atau TPT di Nusantara genap 100 tahun. Satu abad perjalanan industri tersebut ditandai dengan berbagai tantangan dari dalam dan luar negeri. Kabar baiknya, sepuluh dekade tekstil Nusantara melahirkan sebuah resolusi, yakni membangun kemandirian bahan baku domestik dan peta jalan industri TPT berkelanjutan.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan, ketidakpastian ekonomi global akibat pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina menghambat pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Ekspor tidak bisa berjalan optimal karena sejumlah negara pasar utama mengalami stagflasi.
Pemasaran produk di dalam negeri juga tidak maksimal karena harus bersaing dengan produk-produk tekstil impor dari sejumlah negara. Serbuan produk tekstil impor dari China, Bangladesh, Vietnam, dan India semakin masif.
“Negara-negara tersebut juga menjadi pemasok besar TPT dunia. Di kala negara-negara pasar utama mengalami stagflasi, mereka banyak mengalihkan pemasaran produknya ke Indonesia yang potensi pasarnya besar dan ekonominya masih lebih resilien,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Kamis sore (27/10/2022).
Menurut Jemmy, situasi itu menyebabkan omzet industri TPT turun 30 persen. Selain itu, sebanyak 45.000 pekerja telah dirumahkan pada Januari-September 2022, sedangkan yang masih bekerja dikurangi jam kerjanya.
“Jika ketidakpastian ekonomi global masih berlanjut hingga tahun depan dan TPT impor semakin membanjiri pasar Indonesia, omzet industri bisa turun hingga 40 persen. Jumlah pekerja yang dirumahkan juga berpotensi bertambah,” katanya.
Pada 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produk domestik bruto (PDB) industri TPT Indonesia mencapai Rp 145,8 triliun. Pandemi Covid-19 dan kenaikan harga bahan baku impor menyebabkan PDB industri ini pada 2020 dan 2021 turun masing-masing 8,8 persen dan 4,08 persen secara tahunan menjadi Rp 132,85 triliun dan Rp 127,43 triliun.
Adapun jumlah tenaga kerja industri TPT pada 2019 mencapai 4,5 juta orang. Pada 2021, jumlahnya turun menjadi 3,65 juta orang.
Omzet industri TPT turun 30 persen. Selain itu, sebanyak 45.000 pekerja telah dirumahkan pada Januari-September 2022, sedangkan yang masih bekerja dikurangi jam kerjanya.
Jemmy juga menyatakan, di tengah kondisi itu, industri TPT juga bakal berhadapan dengan era suku bunga tinggi. Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia bakal mendorong kenaikan suku bunga kredit bank. Hal ini justru akan semakin membebani pelaku industri TPT untuk menambah modal guna mempertahankan atau meningkatkan usaha.
API berharap perbankan tidak segera menaikkan suku bunga pinjaman. Di sisi lain, API juga berharap pemerintah memberikan insentif, seperti pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan, bagi pelaku industri TPT.
“Dalam kebijakan sebelumnya, pemerintah menetapkan tarif PPh Badan pada 2020 dan 2021 sebesar 22 persen dan pada 2022 sebesar 20 persen. Namun, dalam kebijakan terbaru yang berlaku per 1 Januari 2022, pemerintah membatalkan penerapan tarif PPh Badan yang sebesar 20 persen dan menetapkan PPh Badan tetap 22 persen,” ujarnya.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Kerajinan dari Limbah - Perajin memanfaatkan limbah dari industri tekstil untuk dibuat menjadi perkakas rumah tangga di Desa Kemiri, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (11/10/2017). Dari limbah tersebut mereka mengolahnya menjadi keranjang, sapu dan tempat sampah.
Ketua Umum Rantai Tekstil Lestari (RTL) Basrie Kamba, Jumat (28/10/2022), mengatakan, membangun industri TPT berkelanjutan dan sirkular untuk mengurangi dampak perubahan iklim juga menjadi tantangan utama. Sejumlah negara maju, terutama di Uni Eropa (UE), bersiap menerapkan standardisasi produk-produk hijau.
Salah satunya adalah penerapan paspor produk digital (digital produck passport/DPP) pada 2030. DPP itu berfungi untuk melacak asal komponen dan bahan baku yang digunakan dalam semua jenis barang konsumsi, termasuk TPT.
“Dengan paspor digital itu, Komisi UE ingin konsumen dapat mengetahui dan memastikan dampak lingkungan dari produk-produk yang mereka beli, termasuk dapat didaur ulang kembali atau tidak,” ujarnya.
Kemandiran bahan baku
Di tengah tekanan global dan domestik itu, industri TPT tetap berupaya tumbuh. API bersama RTL menandai momentum satu abad industri TPT Indonesia dengan resolusi kemandirian bahan baku benang dan industri TPT berkelanjutan.
Menurut Jemmy, potensi bahan baku industri TPT di Indonesia cukup besar, seperti kapuk dan serat kayu yang dapat dikembangkan sebagai benang sintetis. Untuk kapuk, potensinya sebenarnya cukup besar, tetapi tidak ditunjang dengan riset dan pengembangan yang dapat menopang bahan baku industri TPT secara berkelanjutan.
“Oleh karena itu, dalam kemandirian bahan baku API dan RTL berfokus pada pengembangan benang rayon atau serat viskosa,” ujarnya.
Basrie menambahkan, produksi serat global sangat besar, yakni mencapai 109 juta ton pada 2020. Produksi serat sintetis dominan, yakni mencapai 68,2 persen, kemudian disusul oleh serat dari tanaman 32,7 persen, serat selulosa 6,5 persen, dan serat hewani 1,7 persen.
Indonesia saat ini tengah mengembangkan serat selulosa untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri TPT di dalam negeri. Salah satunya adalah serat viskosa yang berasal dari akasia.
“Untuk serat dari kapuk sebenarnya cukup potensial juga untuk dikembangkan di Indonesia. Namun, hal itu perlu ditopang dengan riset dan pengembangan yang berkelanjutan agar mampu mengurangi impor kapas,” kata Basrie.
Indonesia saat ini tengah mengembangkan serat selulosa untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri TPT di dalam negeri. Salah satunya adalah serat viskosa yang berasal dari akasia.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, 2017-2021, ketergantungan impor bahan baku/penolong industri TPT masih besar. Impor tersebut didominasi oleh kain, serat kapas dan serat alam lainnya, dan benang.
Pada 2021, misalnya, dari total nilai impor TPT yang sebesar 5,74 juta dollar AS, nilai impor kain mencapai 3,21 juta dollar AS. Sementara nilai impor serat kapas dan serat alam lain serta benang, masing-masing sebesar 1,12 juta dollar AS dan 952.050 dollar AS.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Pedagang kain kiloan menunggu pembeli di kawasan pasar Cipadu, Kota Tangerang, Banten, Senin (14/10/2019). Industri tekstil dalam negeri tengah lesu. Selain dampak dari perang dagang Amerika Serikat-China, kebocoran impor tekstil dan produk tekstil dinilai menjadi penyebab.
Kepala Badan Kajian Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri berpendapat dengan pengembangan serat viskosa, ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku industri TPT pelan-pelan dapat berkurang. Setidaknya, upaya kemandiran serat viskosa itu dapat menekan impor serat alam.
“Dalam lima tahun terakhir (2017-2021), total impor bahan baku industri TPT turun 2,57 persen. Khusus impor serat kapas dan serat alam kain, tren penurunannya sebesar 9,32 persen,” ujarnya.
Sementara untuk mengantisipasi kebijakan hijau atau nol karbon yang diterapkan oleh negera-negara maju, API dan RTL berkomitmen menciptakan industri TPT berkelanjutan. Salah satunya melalui pengembangan industri mode sirkular dan berkelanjutan.
Basrie menuturkan, RTL akan menjembatani kepentingan negara-negara pengusung kebijakan nol karbon dengan pemerintah dan pelaku industri TPT di Indonesia. Salah satunya terkait dengan kebijakan-kebijakan yang digulirkan atau akan digulirkan.
Hal itu penting agar Indonesia juga dilibatkan oleh negara-negara tersebut dalam penerapan dan penyusunan kebijakan baru untuk mengatasi perubahan iklim. Selain itu, RTL akan mendorong pelaku industri TPT untuk mengembangkan produk-produk berkelanjutan dan bisa didaur ulang.
“Satu abad industri TPT ini seharusnya bisa dijadikan oleh para pemangku kepentingan terkait, terutama pemerintah, untuk membuat peta jalan industri TPT berkelanjutan dan sirkular. Hal itu bisa dimulai dari subsektor mode,” ujarnya.