Gelombang PHK di Sektor Padat Karya Diperkirakan Berlanjut
Gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK, terutama dari industri manufaktur padat karya orientasi ekspor, diperkirakan tetap terjadi tahun 2023.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Dari kanan, Ketua Bidang Perdagangan Apindo Benny Sutrisno, Ketua Apindo Anton Supit, Wakil Ketua Umum Apindo Suryadi Sasmita dan Shinta Kamdani, Ketua Pengupahan Apindo Aloysius Budi, dan Ketua Komite Regulasi Apindo Myra Hanartani saat mengikuti diskusi di Kantor Redaksi Kompas, Jakarta, Selasa (13/12/2022). Diskusi ini membahas berbagai aspek pengupahan dan ketenagakerjaan di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK pada industri manufaktur padat karya berorientasi ekspor diperkirakan akan terjadi pada 2023. Kalangan usaha berpandangan, hal ini dikarenakan ketidakpastian ekonomi yang melemahkan permintaan pasar ekspor.
Berdasarkan data yang diolah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dari laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), pembayaran manfaat program Jaminan Hari Tua (JHT) Januari-Oktober 2022 mencapai Rp 36,52 triliun dengan total kasus 2,8 juta kasus. Dari 2,8 juta kasus ini, jumlah kasus pembayaran manfaat JHT dari kriteria PHK mencapai 834.037 kasus dengan nilai JHT dibayarkan sebesar Rp 8,57 triliun.
Sejumlah pengusaha pengurus Apindo berkunjung ke Redaksi Harian Kompas, di Jakarta, Selasa (13/12/2022), untuk mendiskusikan hal itu. Di antaranya, turut hadir dua wakil ketua umum Apindo, yakni Suryadi Sasmita dan Shinta W Kamdani.
Ketua Bidang Perdagangan Apindo Benny Soetrisno menyebutkan, permintaan ekspor sedang mengalami penurunan. Situasi ini terutama dialami pengusaha di industri manufaktur padat. Selain tekstil dan alas kaki, kelesuan permintaan ekspor juga dialami pelaku industri mebel dan pengolahan karet.
Selain tekstil dan alas kaki, kelesuan permintaan ekspor juga dialami pelaku industri mebel dan pengolahan karet.
Permintaan ekspor mebel yang biasanya tinggi menjelang akhir tahun kini menurun. Kata Benny, sudah ada pengusaha yang mengeluhkan pembatalan pesanan dari klien di luar negeri. Stok barang yang dipunyai klien relatif masih banyak.
Sejumlah 163 perusahaan anggota Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Asosiasi Pengusaha Garmen Korea (KOGA), dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) melapor telah melakukan PHK sampai 21 November 2022. Total karyawan yang terdampak kebijakan PHK dari perusahaan-perusahaan itu mencapai 87.236 orang.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA
Aktivitas produksi divisi garmen PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (13/2/2019).
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nurdin Setiawan mengatakan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional bergantung 70 persen pada pasar dalam negeri dan 30 persen pasar ekspor.
Dari sisi permintaan pasar luar negeri, ekspor melemah dengan proyeksi pembatalan order diperkirakan sebanyak 30 persen. Hal ini juga dialami negara eksportir TPT lainnya, seperti Bangladesh, India, dan China. ”PHK di industri TPT seperti fenomena gunung es. Data pekerja terdampak hanya mewakili data parsial kondisi asli di lapangan,” ujarnya.
Di sisi lain, pelaku usaha terkendala untuk menggarap pasar domestik. Menurut Nurdin, pasar dalam negeri telah diserbu oleh barang impor yang menggerus utilitas sampai hanya berjalan 40 persen. Selain itu, bahan baku dan barang jadi TPT asal impor yang diperjualbelikan tanpa pajak pertambahan nilai juga beredar masif. Ada juga serbuan baju bekas yang masuk dengan volume besar.
Ketua bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Apindo Anton J Supit memperkirakan, gelombang PHK akan tetap terjadi pada 2023.
Dari sisi permintaan pasar luar negeri, ekspor melemah dengan proyeksi pembatalan order diperkirakan sebanyak 30 persen.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
(Dari kanan) Ketua Bidang Perdagangan Apindo Benny Sutrisno, Ketua Apindo Anton Supit beserta pengurus Apindo lainnya saat mengikuti diskusi di Kantor Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Selasa (13/12/2022). Diskusi ini membicarakan tentang berbagai aspek ketenagakerjaan di Indonesia.
Problem regulasi
Kelompok pengusaha, termasuk Apindo dan API, berharap pemerintah segera merespons situasi tersebut, di antaranya dengan tidak memperparah ketidakpastian usaha.
Terkait hal itu, kemunculan Peraturan Menaker (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 dinilai tidak tepat. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional, pemerintah mestinya tidak mengeluarkan peraturan baru dalam waktu dua tahun.
Sesuai Permenaker No 18/2022, persentase kenaikan upah minimum diperbolehkan naik paling tinggi 10 persen. Anton mengatakan, sejumlah asosiasi pengusaha menganggap kenaikan sebesar itu bisa menambah beban operasional yang dialami pengusaha, terutama padat karya dan berorientasi ekspor.
”Jika industri tidak mampu bayar upah, (hal itu) malah berpotensi membuat pekerja ter-PHK dan rentan masuk ke sektor informal,” kata Anton. Kelompok usaha mengharapkan, Permenaker No 18/2022 dicabut dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan kembali berlaku.
Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo yang juga duduk di Dewan Pengupahan Nasional, Aloysius Budi Santoso, mengatakan, pemerintah sempat memberi sinyal akan mengeluarkan diskresi kebijakan upah minimum 2023. Namun, Permenaker No 18/2022 keluar tanpa melalui pembahasan di Dewan Pengupahan Nasional.
”PP No 36/2021 sudah baik karena formula upah minimum menggunakan faktor inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Ini juga berusaha menyelesaikan kesenjangan upah antardaerah yang terjadi sepanjang implementasi PP No 78/2015 tentang Pengupahan,” kata Budi.
Para buruh sedang melakukan aksi unjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta, Jumat (2/11/2022). Aksi itu digelar oleh gabungan organisasi buruh dan serikat pekerja yang menolak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar 5,6 persen. Mereka menuntut agar UMP dinaikkan 10,55 persen.