Aturan Baru Pengupahan, Maksimal Kenaikan 10 Persen
Meski dianggap sebagai terobosan positif, kebijakan upah minimum yang tertuang dalam Permenaker No 18/2022 dinilai belum membantu daya beli pekerja secara signifikan di tengah potensi pelambatan ekonomi pada 2023.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah resmi mengubah formula penghitungan upah minimum tahun 2023 melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Besaran kenaikan upah minimum yang dihasilkan dari penghitungan dengan formula sesuai peraturan itu maksimal 10 persen.
Meski dinilai lebih baik ketimbang tetap mempertahankan formula penghitungan di Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, diskresi kebijakan itu tetap memiliki sejumlah kekurangan. Salah satunya adalah besaran kenaikan upah minimum tahun 2023 dianggap belum mampu membantu daya beli pekerja secara signifikan.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah tertanggal 16 November 2022. Regulasi ini kemudian diundangkan pada 17 November 2022. Namun, Permenaker No 18/2022 baru menyebar luas sejak Jumat (18/11/2022) malam.
Sesuai permenaker ini, upah minimum provinsi tahun 2023 harus ditetapkan dan diumumkan oleh gubernur paling lambat 28 November 2022. Adapun upah minimum kabupaten/kota tahun 2023 diumumkan paling lambat 7 Desember 2022.
Sesuai Pasal 6 Permenaker No 18/2022, formula penghitungan kenaikan upah minimum tahun 2023 menjadi UM(t+1) = UM(t) + (Penyesuaian Nilai UM x UM(t)). UM(t+1) adalah upah minimum yang akan ditetapkan. UM(t) merupakan keterangan untuk upah minimum tahun berjalan. Adapun maksud dari penyesuaian nilai upah minimum adalah penjumlahan antara inflasi dan perkalian pertumbuhan ekonomi dengan α (alfa).
Inflasi provinsi dihitung dari periode September tahun sebelumnya sampai dengan periode September tahun berjalan (dalam persen). Untuk angka pertumbuhan ekonomi provinsi dan kabupaten/kota yang mesti dimasukkan dalam rumus, permenaker itu mensyaratkan perubahan pertumbuhan ekonomi provinsi triwulan I, II, III tahun berjalan, dan triwulan IV pada tahun sebelumnya terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan I-IV dua tahun sebelumnya.
Sementara nilai α merupakan wujud indeks tertentu yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam Permenaker No 18/2022, nilai α berada dalam rentang 0,1-0,3.
Selanjutnya, setelah diperoleh hasil penghitungan mengikuti Pasal 6, Pasal 7 Permenaker No 18/2022 menegaskan bahwa besaran kenaikan upah minimum tahun 2023 harus maksimal 10 persen. Apabila hasil penghitungan ternyata kenaikan upah minimum mencapai di atas 10 persen, gubernur wajib menetapkan paling tinggi 10 persen.
Berdasarkan Pasal 7 Ayat (3) peraturan itu, jika angka pertumbuhan ekonomi yang dipakai di formula itu negatif, variabel inflasi pun digunakan.
Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional dari unsur serikat pekerja/serikat buruh, Surnadi, Sabtu (19/11), di Jakarta, mengatakan, efek dari diskresi kebijakan itu adalah pekerja/buruh akan senang. Meski demikian, dia khawatir tetap terbuka peluang muncul gugatan, baik dari sisi pengusaha maupun buruh. Apalagi, substansi Pasal 7 Permenaker No 18/2022 adalah besaran kenaikan upah minumum tahun 2023 paling tinggi 10 persen.
”Apalagi, serikat pekerja/buruh pernah meminta kenaikan upah minimum tahun 2023 mencapai 13 persen. Kenaikan ini diyakini mampu menyokong daya beli dari adanya kenaikan harga bahan bakar minyak dan pangan,” ujarnya.
Daya beli
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar berpendapat, formula penghitungan di Pasal 6 Permenaker No 18/2022 lebih baik dibandingkan dengan Pasal 26 PP No 36/2021. Setidaknya, dengan rumus baru ini, kenaikan upah minimum tahun 2023 bisa di atas inflasi yang terjadi pada 2022.
Akan tetapi, upah minimum tahun 2023 akan diperhadapkan dengan inflasi 2023 sehingga Permenaker No 18/2022 belum otomatis memastikan daya beli buruh tidak turun pada 2023. Dia menduga hal itu bisa terjadi karena adanya faktor alfa yang dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi.
”Rentang nilai alfa adalah 0,1 sampai 0,3. Tidak ada kejelasan tentang nilai alfa ini dan pembatasan nilai alfa ini. Mengapa harus ada nilai alfa dan apa dasarnya? Mengapa tidak ditentukan nilai alfa antara 0,5 hingga 1 sehingga mendekati formula PP No 78/2015 tentang Pengupahan,” kata Timboel.
Dari sisi yuridis, Timboel menyebut ada sejumlah catatan. Pertama, Permenaker No 18/2022 hanya mengatur upah minimum tahun 2023. Tahun berikutnya diperkirakan akan kembali ke PP No 36/2021. Kemudian, masih ada putusan Mahkamah Konstitusi No 91/2020 yang menyatakan pemerintah tidak boleh membuat keputusan atau regulasi turunan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja karena masih dalam status inkonstitusional bersyarat. Terakhir, ada rumor penyusunan permenaker itu tidak didiskusikan di Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, jika tetap menggunakan formula perhitungan di PP No 36/2021, kenaikan upah minimum tahun 2023 akan berkisar 2 persen. Jadi, kehadiran Permenaker No 18/2022 lebih baik.
Akan tetapi, dia menyoroti soal rentang angka alfa yang tercantum dalam Permenaker No 18/2022. Sebab, rentang angka alfa itu berpengaruh signifikan terhadap perolehan besaran kenaikan upah minimum. Ditambah lagi, pemerintah ”mengunci” kenaikan maksimal hanya 10 persen.
”Sebagai ilustrasi, kenaikan upah minimum tahun 2023 di satu provinsi 6,5 persen dan inflasi telah mencapai 5 persen. Dengan demikian, disposable income pekerja hanya 1,5 persen. Jadi, ini belum signifkan membantu daya beli pekerja di tengah potensi pelambatan ekonomi tahun depan,” ujarnya.
Ada beberapa sektor industri yang rentan terdampak potensi resesi, terutama sektor yang berorientasi ekspor, seperti tekstil, elektronik, sepatu, dan otomotif.
Tauhid menambahkan, terdapat beberapa sektor industri yang rentan terdampak potensi resesi, terutama sektor yang berorientasi ekspor. Misalnya, tekstil, elektronik, sepatu, dan otomotif.
Sebelumnya, Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani melalui keterangan tertulis mengatakan, UU No 11/2020 dan semua aturan turunannya harus tetap diberlakukan dengan disertai pengawasan yang intensif oleh pemerintah. Menurut dia, kebijakan yang tidak konsisten dapat menimbulkan ketidakpercayaan investor terhadap iklim usaha di Indonesia. Selain itu, menjadi preseden yang tidak baik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
”Kami perlu mengingatkan agar pemerintah dapat mengantisipasi apabila pada akhirnya keputusan ini berakibat terhadap menurunnya investasi, meningkatnya angka pengangguran, dan pada akhirnya meningkatkan angka kemiskinan,” tutur Hariyadi (Kompas, 19/11/2022).