Kondisi daya saing industri TPT dan alas kaki di Indonesia dipengaruhi oleh kompetitor di pasar domestik maupun di pasar luar negeri. Industri padat karya berorientasi ekspor juga sangat tergantung pada pemilik merek.
Oleh
MEDIANA, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Foto udara pabrik sepatu PT Dean Shoes Karawang, Jawa Barat, Selasa (28/3/2023). PT Dean Shoes di Kabupaten Karawang menutup pabrik dan menghentikan operasinya pada 14 April 2023. Sebanyak 3.329 orang pekerja mengalami PHK. Penutupan pabrik PT Dean Shoes itu dikarenakan permintaan pasar ekspor sedang turun.
JAKARTA, KOMPAS - Fenomena pemutusan hubungan kerja masih menghantui sektor padat karya berorientasi ekspor, khususnya industri sepatu serta tekstil dan produk tekstil. Situasi ini butuh solusi segera. Langkah strategis juga perlu diambil secara konsisten dalam jangka panjang untuk memperkuat pertumbuhan sektor yang diandalkan untuk menyerap tenaga kerja ini.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri berpendapat, solusi jangka pendek untuk mengatasi krisis ketenagakerjaan di industri alas kaki adalah dengan memberlakukan fleksibilitas jam kerja. Hal itu diyakini dapat mengurangi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pendapat senada disampaikan Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nurdin Setiawan, awal pekan ini. Asosiasi pelaku usaha di sektor padat karya, termasuk API, meminta pemerintah melegalkan fleksibilitas jam kerja bagi industri padat karya yang berorientasi ekspor sejak akhir tahun lalu. Ketika itu, gelombang PHK sudah terjadi.
Pada 8 Maret 2023, pemerintah mulai memberlakukan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.
Penyesuaian waktu kerja dan besaran upah itu harus disepakati pengusaha dan serikat pekerja
Pelaku industri padat karya yang dimaksud dalam regulasi itu disyaratkan memenuhi kriteria memiliki pekerja minimal 200 orang, persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi minimal 15 persen, serta bergantung pada pesanan dari Amerika Serikat dan Eropa. Industri padat karya berorientasi ekspor ini meliputi industri tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, kulit dan barang kulit, furnitur, serta mainan anak.
Perusahaan dapat menyesuaikan jumlah jam kerja dan besaran upah pekerja/buruh hingga paling sedikit 75 persen dari upah yang biasa diterima pekerja/buruh. Besaran upah itu tidak berlaku sebagai dasar perhitungan iuran dan pembayaran manfaat jaminan sosial, kompensasi PHK, serta hak-hak lain sesuai ketentuan perundang-undangan. Penyesuaian waktu kerja dan besaran upah itu harus disepakati pengusaha dan serikat pekerja (Kompas, 17/3/2023).
Officer of The Asia Floor Wage Alliance (AFWA) Rizki Estrada berpendapat, sebelum pandemi Covid-19 dan stagflasi menghantui perekonomian global pun, pekerja di sektor alas kaki, kulit, serta tekstil dan produk tekstil (TPT) sudah berada di simpang jalan.
Tren upah nominal pekerja meningkat, baik di Indonesia maupun di sebagian besar negara lain. Namun, kondisi umum pekerja tetap rentan karena sifat hubungan kerja yang cenderung sementara.
Industri hilir tekstil dan alas kaki yang berorientasi ekspor amat bergantung pada pemegang merek (brand). Kapasitas produksi, desain, alat, hingga material ditentukan pemegang merek. AFWA pun mendorong manajemen pabrik lebih terbuka kepada serikat pekerja/buruh mengenai realitas yang terjadi.
Di tengah fenomena PHK di sektor padat karya, saat ini masih ada pertumbuhan investasi
Meningkatkan kapasitas
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito mengatakan, di tengah fenomena PHK di sektor padat karya, saat ini masih ada pertumbuhan investasi di Jawa Barat, seperti di Majalengka, Cirebon, dan Tasikmalaya. Begitu juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Warsito mengakui, perlambatan ekonomi global memang menurunkan permintaan ekspor Indonesia. Untuk meningkatkan kapasitas industri dalam negeri, tahun ini Kemenperin melaksanakan kembali program restrukturisasi mesin/peralatan untuk industri penyempurnaan dan percetakan kain mulai 24 Maret 2023. Pihaknya juga mendorong peningkatan sumber daya manusia dengan penguatan pendidikan vokasi.
Selain peningkatan kapasitas, akses pasar juga harus diperluas. Untuk meningkatkan ekspor, pemerintah saat ini berupaya mempercepat perjanjian kerja sama perdagangan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Terkait pengelolaan pasar domestik, Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan menjelaskan, pemerintah akan menerapkan perlindungan pasar dalam negeri dan mendorong penggunaan produksi dalam negeri melalui optimalisasi belanja pemerintah pusat dan daerah.
Salah satu strategi untuk melindungi pasar dalam negeri adalah dengan memanfaatkan instrumen trade remedies, khususnya tindakan pengamanan perdagangan yang prosedur dan implementasinya relatif cepat serta dinilai efektif melindungi industri padat karya dalam negeri yang dirugikan atas lonjakan impor.
Sebagai bagian dari strategi jangka panjang, Kasan menambahkan, Kemendag menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2022 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Mengacu aturan ini, terdapat daftar produk yang diatur atau dibatasi impornya dengan mewajibkan persyaratan perizinan impor tertentu, di antaranya wajib importir terdaftar, importir produsen, persetujuan impor, dan laporan surveior.
Kondisi daya saing industri TPT dan alas kaki di Indonesia dipengaruhi oleh siapa kompetitor yang bermain di pasar domestik dan pasar luar negeri.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, berpendapat kondisi daya saing industri TPT dan alas kaki di Indonesia dipengaruhi oleh siapa kompetitor yang bermain di pasar domestik dan pasar luar negeri. ”Mereka juga harus berhadapan dengan produsen TPT dan alas kaki dari negara lain yang mungkin punya cara produksi lebih efisien dan canggih,” ujarnya.
Di pasar dalam negeri, pelaku industri TPT dan alas kaki juga harus bersaing dengan produk impor. ”Serbuan impor juga berpengaruh signifikan. Kami mengamati, pemerintah membuat biaya impor mahal untuk pelaku (industri) di hulu, sedangkan di hilir dibuat biaya impor yang murah,” ujarnya.
Ahmad berharap pemerintah segera mengambil kebijakan industrial yang berdampak signifikan. Misalnya, pemerintah mulai menghitung biaya produksi yang dikeluarkan oleh perusahaan padat karya di dalam negeri dan perusahaan sejenis di negara lain, lalu dirumuskan insentif fiskal dan nonfiskal. Insentif ini perlu menyasar aspek energi, peralatan/teknologi, hingga ketenagakerjaan.