Mendadak ”Super Omnibus Law”
Berbeda dengan “omnibus law” UU Cipta Kerja, Perppu Nomor 2/2022 ini menjangkau lebih banyak sektor. Kemunculan dan relevansi kegentingan sang “super omnibus law” ini dipertanyakan di tengah perbaikan UU Cipta Kerja.
Tahun baru, regulasi baru. Selamat datang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Selamat datang sang "super omnibus law" yang digadang-gadang pemerintah mampu menjadi salah satu solusi mengantisipasi imbas “awan gelap” ekonomi global. Namun, sejumlah kalangan mempertanyakan relevansi kegentingan regulasi itu.
Dua hari sebelum pergantian tahun, pemerintah menerbitkan regulasi setara undang-undang (UU) tersebut. Cipta regulasi itu berlatar dari sejumlah kekhawatiran terhadap "awan gelap" kondisi geopolitik dan ekonomi global pada 2023. Situasi itu antara lain mencakup masih berlanjutnya perang Rusia-Ukraina, inflasi dan stagflasi, resesi, perubahan iklim, dan gangguan rantai pasok dunia.
Kondisi tersebut disebut pemerintah sebagai situasi mendesak atau genting. Hal itu tertera baik dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 2/2022 maupun yang disampaikan langsung Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
"Perppu diterbitkan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kondisi global, baik terkait ekonomi maupun geopolitik. Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global tersebut," kata Airlangga melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Perppu diterbitkan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kondisi global, baik terkait ekonomi maupun geopolitik. Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global tersebut.
Baca juga: Presiden: Perppu Cipta Kerja Beri Kepastian Hukum bagi Investor
Tak seperti omnibus law UU Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, cakupan Perppu 2/2022 ini lebih luas, ibarat "super omnibus law". Perppu itu merombak perizinan dan tata kelola usaha banyak UU di berbagai sektor. Sektor-sektor tersebut antara lain perizinan usaha, investasi, tata ruang, ketenagakerjaan, perdagangan, pangan (pertanian dan perkebunan), pertambangan, kehutanan, energi (listrik dan panas bumi), kelautan dan perikanan, pengelolaan lingkungan dan limbah, transportasi, koperasi dan UMKM, kesehatan, serta pengadaan tanah.
Di sektor investasi, misalnya, pemerintah mempermudah perizinan usaha dan membuka peluang kemitraan dengan pelaku UMKM atau produsen pangan di hulu. Perppu itu juga mengatur penguasaan industri strategis oleh pemerintah dan keterlibatan swasta dalam pengelolaannya. Industri strategis itu terkait dengan hajat hidup orang banyak, menghasilkan nilai tambah, serta berkaitan dengan kepentingan pertahanan dan keamanan.
Di sektor ketenagakerjaan, pemerintah melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum dan formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Dalam keadaan tertentu, pemerintah juga dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan yang telah ditentukan sebelumnya.
Baca juga: Formula Baru Upah Minimum Menuai Polemik
Di sektor pangan, pemerintah membuka impor benih unggul yang dilakukan oleh instansi pemerintah dan mewajibkan pemerintah daerah meningkatkan produksi pertanian melalui strategi perlindungan petani. Selain itu, pemerintah menegaskan sumber penyediaan pangan diprioritaskan dari produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor. Penyediaan pangan itu harus memerhatikan kepentingan petani, nelayan, pembudidaya ikan, serta pelaku usaha pangan mikro dan kecil melalui kebijakan tarif dan nontarif.
Dalam regulasi itu juga disebutkan, berbagai penyesuaian berbagai aspek pengaturan itu diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja. Berbagai aspek itu antara lain mencakup kemudahan usaha, perlindungan, pemberdayaan koperasi dan UMKM, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, serta peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja.
Relevansi kegentingan
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Minggu (1/1/2023), mempertanyakan relevansi dan kegentingan Perppu 2/2022. Dampak ketidakpastian geopolitik dan ekonomi global terhadap Indonesia pada tahun ini diperkirakan tidak akan membuat Indonesia dalam siatuasi gawat.
Sejumlah lembaga internasional memperkirakan ekonomi RI pada 2023 masih tumbuh di kisaran 4,7-5,1 persen. Pemerintah juga menargetkan ekonomi RI bisa tumbuh 5,3 persen pada 2023, sedangkan Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhannya di kisaran 4,5-5,3 persen.
Inflasi Indonesia pada tahun ini yang diperkirakan oleh sejumlah lembaga internasional dan domestik berada di kisaran 5-6 persen. Adapun pemerintah dan BI optimistis dapat menekan laju inflasi tahun ini akan berada di kisaran 3-4 persen.
“Melihat proyeksi itu, daya tahan Indonesia sebenarnya cukup kuat. Perekonomian nasional tidak akan berada dalam situasi darurat, tetapi hanya akan melambat akibat dampak resesi global. Oleh karena itu, pemerintah sebenarnya tidak perlu mengeluarkan Perppu 2/2022,” ujar Tauhid.
Baca juga: Demam Dunia dan Gerah Indonesia
Menurut Tauhid, kondisi pada tahun ini berbeda dengan keadaan saat pandemi Covid-19. Waktu itu, pergerakan ekonomi di Indonesia dan berbagai negara benar-benar dibatasi untuk menekan penularan Covid-19.
Hal itu membuat Indonesia berada dalam kondisi genting. Wajar jika pemerintah mengeluarkan Perppu 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
“Dalam situasi saat ini, pemerintah lebih baik memetakan dan mengantisipasi sektor-sektor yang rawan terdampak resesi atau stagflasi global. Penanganan konkret per sektor tersebut lebih konkret ketimbang harus mendadak mengeluarkan Perppu 2/2022,” katanya.
Dalam situasi saat ini, pemerintah lebih baik memetakan dan mengantisipasi sektor-sektor yang rawan terdampak resesi atau stagflasi global. Penanganan konkret per sektor tersebut lebih konkret ketimbang harus mendadak mengeluarkan Perppu 2/2022.
Tauhid mencontohkan, sektor industri berbasis ekspor dan padat karya, seperti tekstil dan produk tekstil, alas kaki, karet, dan furnitur, perlu mendapat perlakuan dan insentif khusus. Sembari itu, pemerintah perlu mencarikan alternatif pasar ekspor atau memperkuat lobi perdagangan, mengendalikan inflasi, serta menjaga likuiditas cadangan devisa.
Ekonomi domestik juga bakal menjadi motor penggerak pelaku usaha dan industri. Hal itu terjadi lantaran pemerintah telah mencabut kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Untuk menjaga daya beli, pemerintah dapat menggulirkan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) 2023 untuk bantuan sosial, insentif usaha, serta pengendalian inflasi pangan dan energi.
Adapun terkait investasi, Tauhid menilai, investasi juga tetap tumbuh meskipun UU Cipta Kerja dinyakatan inkonstitusional bersyarat. Hanya saja, perlu ada pengawasan arah investasi yang jelas yang mengarah pada padat kerja, bukan melulu padat modal.
Baca juga: Investasi Belum Maksimal Ciptakan Lapangan Kerja
Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, penerbitan Perppu 2/2022 merupakan penyelewengan terhadap konstitusi karena diterbitkan di tengah proses perbaikan UU Cipta Kerja. Dalam keputusan Mahkamah Konsitutsi pada 25 November 2021, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki paling lama dua tahun sejak putusan.
Jika dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional permanen. Selain itu, MK juga memerintahkan pemerintah menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak diperbolehkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan UU itu.
Dengan diterbitkan Perppu itu, pemerintah terkesan tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna.
Ketua Umum YLBHI Muhamad Isnur mengatakan, penerbitan regulasi itu merupakan penyelewengan konstitusi dan menunjukkan otoritarianisme pemerintah. Dengan diterbitkan Perppu itu, pemerintah terkesan tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan Mahkamah Konstitusi.
“Padahal dalam pembuatan regulasi penting tersebut, pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi sangat diperlukan. Pemerintah tidak melakukan langkah-langkah itu malah justru melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis,” kata Isnur melalui siaran pers di Jakarta.
Baca juga: Revisi UU Cipta Kerja Ditargetkan Rampung Tahun Ini
Ia juga menyatakan dampak perang Ukraina-Rusia, serta ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal dalam penerbitan perppu. Alasan kekosongan hukum juga merupakan alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi pemerintah yang selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional bersyarat.
Oleh karena itu, YLBHI menuntut presiden menarik kembali Perppu 2/2022 dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Selain itu, pemerintah juga perlu mengembalikan semua pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip konstitusi, negara hukum yang demokratis, dan hak asasi manusia.
Baca juga: Perppu Cipta Kerja Dikhawatirkan Timbulkan Persoalan Hukum Baru