Presiden: Perppu Cipta Kerja Beri Kepastian Hukum bagi Investor
Presiden menyebutkan Perppu Cipta Kerja diterbitkan karena ekonomi Indonesia pada 2023 bergantung pada investasi dan ekspor. Dengan adanya perppu ini, kata Mahfud MD, inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja gugur.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN, NINA SUSILO, DIAN DEWI PURNAMASARI
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu ini diharapkan memberi kepastian hukum setelah UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Presiden Joko Widodo menegaskan penerbitan perppu untuk memberi kepastian hukum bagi investor.
”Jadi memang kenapa perppu? Kita tahu, kita ini kelihatannya normal, tetapi diintip oleh ancaman-ancaman ketidakpastian global. Saya sudah berkali-kali menyampaikan berapa negara menjadi pasien IMF, (ada) 14 (negara). Yang 28 ngantre di depan pintunya IMF itu juga menjadi pasien,” kata Presiden Jokowi menjawab pertanyaan wartawan seusai menyampaikan keterangan terkait pencabutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Istana Negara, Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Presiden Jokowi menegaskan, dunia sedang tidak baik-baik saja. ”Ancaman-ancaman risiko ketidakpastian yang menyebabkan kita mengeluarkan perppu karena itu untuk memberikan kepastian hukum, kekosongan hukum yang dalam persepsi investor dalam dan luar, itu yang paling penting karena ekonomi kita di 2023 sangat tergantung investasi dan ekspor,” tambah Presiden.
Perppu ditandatangani Presiden Joko Widodo, Jumat (30/12/2022). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, serta Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej mengumumkan perppu itu setelah bertemu Presiden pukul 10.15 sampai 10.45 di Istana Merdeka, Jakarta.
Kepada wartawan, Airlangga menyampaikan, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik kemungkinan resesi global, peningkatan inflasi, maupun ancaman stagflasi. Munculnya negara-negara berkembang yang sudah mulai meminta tambahan bantuan kepada IMF pun disebut sebagai alasan.
Demikian pula kondisi geopolitik akibat perang Ukraina-Rusia yang mengakibatkan krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan disebut sebagai kondisi yang mendorong terbitnya perppu ini.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 91/PUU-XVIII/2020, UU Cipta Kerja dinyatakan cacat formil dan inkonstitusional bersyarat jika dalam waktu dua tahun (sejak 25 November 2021) tidak diperbaiki. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan proses pembentukan undang-undang tersebut tidak sesuai aturan pembentukan perundang-undangan.
Karena itu, segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas harus ditangguhkan. Pemerintah juga tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan dengan UU Cipta Kerja (Kompas.id, 25/11/2021).
Airlangga menyebut putusan MK ini sangat memengaruhi perilaku dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Semua menunggu kelanjutan kepastian hukum. ”Indonesia tahun depan, karena kita sudah mengatur budget defisit kurang dari 3 persen dan kita akan mengandalkan investasi (untuk menjaga pertumbuhan ekonomi). Untuk memberi kepastian hukum kepada dunia usaha, perppu terkait cipta kerja dinilai penting,” ujarnya.
Perppu ini sekaligus menggugurkan inkonstitusional bersyarat yang disematkan MK pada UU Cipta Kerja. (Mahfud MD)
Dinilai mendesak
Mahfud menilai, perppu ini sekaligus menggugurkan inkonstitusional bersyarat yang disematkan MK pada UU Cipta Kerja. ”Inkonstitusional bersyarat artinya sesuatu dinyatakan inkonstitusional sampai dipenuhinya syarat-syarat tertentu. Dipenuhinya syarat-syarat tertentu itu, kan, di undang-undang. Karena ada kebutuhan mendesak, kita tidak menunggu undang-undang baru, tetapi membuat perppu karena perppu setara dengan undang-undang,” tuturnya.
Namun, perppu biasa diterbitkan ketika ada kondisi mendesak dan ada kekosongan hukum. Mahfud menyebut berbagai kondisi ekonomi yang dipaparkan Airlangga sebagai kondisi mendesak. Selain itu, dia menambahkan, kondisi mendesak adalah hak subyektif presiden. Presiden memiliki hak subyektif untuk menentukan keadaan genting dan memaksa itu yang akan dijelaskan pada proses legislasi di masa sidang DPR berikutnya.
”Menurut ilmu hukum di mana pun, hampir seluruh ahli hukum sepakat bahwa keadaan mendesak itu adalah hak subyektif presiden. Itu kunci utama dikeluarkannya perppu,” tambahnya.
Presiden Joko Widodo, menurut Airlangga, juga telah berbicara dengan Ketua DPR Puan Maharani terkait penerbitan perppu ini.
Secara terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Fery Amsari menilai penerbitan perppu adalah langkah inkonstitusional yang ditempuh Presiden Jokowi. Sebab, MK memberikan waktu dua tahun untuk perbaikan UU Cipta Kerja.
”Artinya, tidak ada kegentingan memaksa yang menjadikan Presiden harus menerbitkan perppu. Presiden harus cermat dan taat pada konstitusi, bukan mengakalinya dengan berbagai cara untuk pembenaran langkah-langkah politisnya. Jika Presiden tidak memahami ketatanegaraan, mestinya seluruh lingkaran sekeliling Presiden yang tidak paham itu diberhentikan saja,” tutur Fery.
Kegentingan memaksa sebagai alasan penerbitan perppu memiliki tiga syarat, yakni ada kondisi mendesak, ada aturan hukum atau tidak ada aturan hukum yang bisa menyelesaikan masalah, dan diperlukan secepatnya. Namun, lanjut Fery, hal ini tidak dimaknai secara salah. Sebab, MK memberi waktu dua tahun untuk perbaikan UU Cipta Kerja dan ini, menurut Fery, secara konstitusional tidak mendesak.
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menambahkan, terbitnya perppu ini menggambarkan pola pikir pemerintah yang pro-pengusaha yang dilakukan dengan menabrak hal-hal prinsipil. Dari segi hukum, setidaknya ada dua kesalahan yang dibuat pemerintah.
Pertama, Putusan MK No 91/2020 memutus bahwa UU Cipta Kerja itu inkonstitusional bersyarat untuk dua tahun. Artinya, bahkan UU itu tidak bisa dilaksanakan dan tidak punya daya ikat. ”Jadi, buat apa keluarkan perppu untuk revisi sebagian ini? Ini menguatkan amatan kami di lapangan bahwa pemerintah memang mengabaikan putusan MK itu dan melaksanakan terus UU Cipta Kerja itu,” ujarnya.
Kesalahan kedua adalah terkait ”hal ihwal kegentingan memaksa” seperti yang ditentukan dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Putusan MK No 139/2009. ”Jelas-jelas saat ini hanya sedang liburan akhir tahun dan masa reses DPR, tidak ada kegentingan memaksa yang membuat Presiden berhak mengeluarkan perppu,” tambahnya.
Menurut Bivitri, hal ini sama saja Presiden ingin mengambil jalan pintas saja supaya keputusan politik pro-pengusaha ini cepat keluar, menghindari pembahasan politik dan kegaduhan publik. ”Ini langkah culas dalam demokrasi. Pemerintah benar-benar membajak demokrasi,” ujar Bivitri.
Berdasarkan UUD dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DPR harus membahasnya pada masa sidang pertama dan bisa menolak. Bivitri menegaskan, DPR tidak harus menerima. ”DPR kalau masih mau dibilang paham demokrasi dan negara hukum harusnya tidak menyetujui perppu ini nanti ketika dibahas. Alasannya dua hal di atas. Itu sangat prinsipil,” kata Bivitri.
Beberapa pengaturan dalam perppu ini, menurut Airlangga, terkait dengan ketenagakerjaan, yakni upah minimum dan tenaga alih daya. Tenaga alih daya dalam Perppu No 2/2022 tidak diberlakukan untuk semua sektor, tetapi hanya untuk sektor tertentu. Namun, sektor-sektor apa saja yang bisa menggunakan tenaga alih daya masih akan diatur dalam peraturan pemerintah. Adapun peraturan pemerintah ini, kata Airlangga, akan diterbitkan segera.
Terkait upah, lanjutnya, pengaturannya mengikuti apa yang diminta serikat buruh. Unsur inflasi dan unsur pertumbuhan ekonomi serta daya beli masyarakat di suatu kota/kabupaten akan menjadi kriteria dalam penentuan upah minimum. Namun, indeks dan parameter penentuan upah minimum kembali ditetapkan dalam peraturan pemerintah dan peraturan menteri tenaga kerja.
Mahfud menanggapi pihak-pihak yang tidak setuju dengan langkah pemerintah diminta untuk melakukan langkah hukum secara konstitusional.
Selain itu, perppu juga mengatur sinkronisasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, penyempurnaan sumber daya air untuk kepentingan umum, serta perbaikan typo atau rujukan pasal dan legal drafting yang nonsubstansial.
Sementara itu, Koordinator Tim Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 Victor Santoso Tandiasa mengatakan, penerbitan perppu adalah bentuk jalan pintas yang ditempuh pemerintah. Selain jalan pintas, tindakan itu juga bentuk perbuatan melanggar hukum pemerintah atas putusan MK.
Sebab, amanat putusan MK yang tertuang dalam pertimbangan hukumnya salah satunya adalah memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dan memaksimalkan partisipasi publik secara bermakna. Namun, pemerintah justru mengeluarkan perppu yang tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna. Dia khawatir, DPR juga akan menyetujui perppu itu menjadi UU sehingga amanat putusan MK tidak terlaksana.
”Tindakan ini adalah bentuk perbuatan melanggar hukum atas putusan MK, bahkan dapat dikatakan sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi,” katanya.
Terkait dengan pendapat itu, Mahfud menanggapi pihak-pihak yang tidak setuju dengan langkah pemerintah diminta untuk melakukan langkah hukum secara konstitusional. ”Silakan ambil langkah hukum. Pemerintah selalu siap bekerja sesuai dengan hukum. Tidak perlu menunggu semua orang sepakat, yang penting substansi dan prosedurnya sudah diupayakan maksimal,” ujarnya.