Demam Dunia dan Gerah Indonesia
WTO melaporkan barometer perdagangan global kembali turun di bawah tren normal. Pelemahan perdagangan global itu mulai dirasakan pelaku usaha nasional. Permintaan turun dan pengurangan pekerja mulai bergulir.

Aktivitas di Pelabuhan Peti Kemas Soekarno-Hatta, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (31/5/2022).
Perdagangan dunia tengah demam. Batuk-batuk. Penularannya ke mana-mana. Meski masih cukup berdaya tahan, Indonesia mulai gerah. Indonesia tak hanya terjangkit kenaikan harga sejumlah komoditas dan biaya transportasi, tetapi juga pengurangan pekerja. Berbagai vitamin dan obat pereda pun disajikan.
Sakit perdagangan dunia tak kunjung reda. Pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina masih menjadi penyebabnya. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melaporkan, per September 2022, indeks atau barometer perdagangan barang dunia berada di level 96,2.
Angka itu berada di bawah tren normal atau ambang batas 100. Barometer itu menunjukkan perdagangan tumbuh lebih lambat pada bulan-bulan terakhir tahun ini. Hal itu sejalan dengan perkiraan WTO bahwa perdagangan global pada 2022 bakal tumbuh 3,5 persen dan 1 persen pada 2023.
Rendahnya barometer perdagangan barang itu dipengaruhi oleh rendahnya subindeks permintaan ekspor yang berada di angka 91,7 dan perdagangan bahan mentah 77,6. Hal itu juga tecermin dalam subindeks angkutan udara 93,3 dan pengapalan kontainer 99,3.

Barometer atau Indeks Perdagangan Global September 2022
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) bahkan menyebutkan, gangguan pengiriman barang masih terjadi karena penguncian sementara (lockdown) dan perang. Selain itu, meskipun tarif angkutan kontainer telah turun sejak pertengahan 2022, tarif itu masih di atas level pra-Covid-19.
Dalam laporannya, ”Review of Maritim Transport 2022: Navigating Stormy Waters”, UNCTAD menyimulasikan, kenaikan harga komoditas biji-bijian dan tarif pengiriman curah kering dapat menyebabkan kenaikan harga pangan di tingkat konsumen sebesar 1,27 persen di negara-negara berpenghasilan menengah. Di negara-negara berpenghasilan rendah dan tinggi, kenaikannya masing-masing mencapai 1,06 persen dan 0,8 persen.
UNCTAD juga memperkirakan perdagangan maritim global akan tumbuh lambat menjadi 1,4 persen pada 2022. Hal itu akan dibarengi dengan kenaikan inflasi dan biaya hidup yang akan menggerus pendapatan konsumen pada akhir 2022 dan 2023.
Sementara dalam periode 2023-2027, perdagangan maritim diproyeksikan tumbuh 2,1 persen per tahun. Pertumbuhan itu lebih lambat dari rata-rata pertumbuhan selama tiga dekade terakhir yang sebesar 3,3 persen.
Kenaikan harga komoditas biji-bijian dan tarif pengiriman curah kering dapat menyebabkan kenaikan harga pangan di tingkat konsumen sebesar 1,27 persen di negara-negara berpenghasilan menengah.
Baca juga : ”Hunger Games” dan Bola Krisis Pangan

Kenaikan harga komoditas biji-bijian dan tarif angkutan curah kering menyebabkan kenaikan harga pangan di tingkat konsumen sebesar 1,27 persen di negara-negara berpenghasilan menengah.
”Demam” perdagangan dunia itu sudah menular ke Indonesia. Harga komoditas yang diimpor Indonesia, seperti kedelai, gandum, dan pupuk, melonjak tinggi. Kedelai dan tepung gandum atau terigu, misalnya. Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022 hingga 29 November 2022, harga kedelai impor naik 12,03 persen dan tepung terigu 21,3 persen.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, harga kedelai impor pada 24 Februari 2022 sebesar Rp 13,300 per kg dan per 29 November 2022 naik menjadi Rp 14.900 per kg. Dalam periode yang sama, harga tepung terigu naik dari Rp 10.800 per kg menjadi Rp 13.100 per kg.
Tak hanya itu, pelemahan permintaan dari sejumlah pasar utama ekspor Indonesia, seperti Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa, membuat eksportir dan pelaku industri nasional ketar-ketir. Bayangan resesi dunia menjadi salah satu pertimbangan pelaku industri berbasis ekspor dan padat karya memutus hubungan kerja dengan pekerja.
Baca juga: Perlambatan Ekonomi Sejumlah Negara Mulai Pengaruhi Kinerja Ekspor RI
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat, per pertengahan November 2022, sebanyak 79.316 pekerja di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Di Jawa Barat, sebanyak 111 perusahaan telah mengurangi pekerja dan 16 perusahaan menutup usahanya. Sementara di sektor alas kaki, 37 pabrik sepatu dengan total pekerja sebanyak 337.192 orang, telah mem-PHK 25.700 pekerja.
PHK tersebut dilatari oleh penurunan permintaan. Industri TPT telah mengalami penurunan permintaan untuk akhir 2022 hingga triwulan I-2023 sebesar 30-50 persen. Begitu juga dengan industri alas kaki, permintaan telah turun 45 persen dan produksi November-Desember 2022 juga berkurang 51 persen.
Baca juga: Industri Pertekstilan di Ambang Keterpurukan

Aktivitas produksi divisi garmen PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (13/2/2019). Industri tekstil dan produk tekstil masih memiliki peluang luas di pasar dalam negeri maupun ekspor namun menghadapi tantangan efisiensi dan persaingan global.
Meredam imbas
Agar gerah tak menjadi demam berkepanjangan, sejumlah upaya dilakukan. Di sektor perdagangan, Kementerian Perdagangan bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia berupaya menjaga ekspor agar tidak tergerus terlalu dalam. Misalnya dengan merealisasikan 16 kontrak dagang dan empat letter of intent antara pengusaha Indonesia dengan China senilai total 8,3 miliar dollar AS pada 25 November 2022. Selain itu, ada juga realisasi kontrak bisnis pengusaha Indonesia dengan Chile senilai 5,8 juta dollar AS pada 21 November 2022.
Pemerintah bersama pelaku usaha dan badan usaha milik negara juga berupaya menjaga stok kedelai dan gandum. Khusus kedelai, selain meminta Perum Bulog mengimpor kedelai, pemerintah juga melanjutkan kebijakan subsidi kedelai impor Rp 1.000 per kg bagi perajin tahu-tempe.
Baca juga: Fenomena ”Lunchflation”
Di sektor keuangan, Kementerian Keuangan akan meningkatkan penyaluran bantuan sosial (bansos) dan stimulus untuk meredam dampak demam dunia dengan mengunakan sebagian pos anggaran yang belum dibelanjakan. Salah satunya adalah belanja wajib untuk penanganan dampak inflasi yang diambil sebesar 2 persen dari Dana Transfer Umum (DTU) pemerintah daerah.
Per akhir September, realisasi DTU baru 7,9 persen atau Rp 277,6 miliar dari total alokasi Rp 3,5 triliun. Dana itu seharusnya dipakai untuk menjalankan program bansos, penciptaan lapangan kerja, subsidi sektor transportasi, serta program perlindungan sosial lain.

Industri padat karya tersebut juga mendapatkan insentif perpanjangan restrukturisasi kredit segmen tertentu. Otoritas Jasa Keuangan telah memperpanjang masa restrukturisasi kredit dan pembiayaan terdampak Covid-19 dari sebelumnya berakhir 31 Maret 2023 menjadi 31 Maret 2024. Perpanjangan restrukturisasi kredit itu ditujukan pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); akomodasi dan makanan-minuman; serta industri penyerap lapangan kerja besar, seperti TPT dan alas kaki.
Baca juga: Restrukturisasi Kredit untuk Segmen Tertentu Diperpanjang sampai Maret 2024
Adapun Bank Indonesia (BI), meski menaikkan suku bunga acuan untuk meredam depresiasi rupiah, tetap melonggarkan kebijakan makroprudensial untuk mendorong kredit dan pembiayaan perbankan pada sektor-sektor prioritas dan UMKM. Selain meredam kenaikan inflasi bersama pemerintah, BI juga mendorong penggunaan mata uang lokal untuk transaksi perdagangan dengan sejumlah negara, seperti China, Jepang, Thailand, dan Malaysia untuk mengurangi penggunaan dollar AS.
Sejumlah upaya itu akan diuji pada sisa akhir 2022 dan sepanjang 2023. Semoga langkah-langkah tersebut dapat berjalan dengan baik di tengah bakal semakin marak dinamika percaturan politik dan mega proyek Ibu Kota Negara Baru.