Perppu Cipta Kerja Dikhawatirkan Timbulkan Persoalan Hukum Baru
Pakar hukum tata negara berpendapat, pemerintah tak perlu menerbitkan perppu sebab ketentuan yang ada di pasal-pasal UU Cipta Kerja masih bisa digunakan. MK tidak membatalkan satu pasal pun dalam undang-undang tersebut.

Massa melakukan aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di Gedung DPRD Sulsel, Makassar, Jumat (9/10/2020).
JAKARTA, KOMPAS – Keputusan Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja dinilai justru menimbulkan persoalan baru. Penerbitan perppu itu tidak menjawab putusan Mahkamah Konstitusi yang mengamanatkan agar proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diperbaiki, khususnya yang berkaitan dengan asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna.
Penerbitan perppu justru membuat jalan bagi UU Cipta Kerja untuk mendapatkan kepastian hukum menjadi semakin panjang.
”MK (Mahkamah Konstitusi), kan, bilang, perbaiki proses pembentukan undang-undangnya. Itu yang dimaksud sesuai Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, yaitu undang-undang yang dibentuk antara DPR dan Presiden. Mulai dari tahapan perencanaan sampai dengan tahapan pengundangan, di dalamnya ada tahap pembahasan tingkat 1 dan 2. Kan gitu. Kita bicara prosedur pembentukannya,” tutur Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono dalam perbincangan dengan Kompas, Jumat (30/12/2022).
Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja diterbitkan pemerintah pada Jumat ini. Presiden Joko Widodo menegaskan, perppu diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum setelah UU No 11/2022 dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.
Bayu menilai, keputusan pemerintah menerbitkan Perppu No 2/2022 justru tidak selaras dengan maksud putusan MK. Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu mengungkapkan, penerbitan perppu tidak melalui tahapan pembahasan yang melibatkan DPR dan pemerintah.
Perppu ditetapkan oleh Presiden, kemudian DPR memberikan persetujuan atau menolak perppu tersebut dijadikan undang-undang. ”Tidak ada pembahasan dalam arti seperti membahas undang-undang,” ungkapnya.
Baca juga : Presiden: Perppu Cipta Kerja Beri Kepastian Hukum bagi Investor

Ribuan pengunjuk rasa menolak pengesahan RUU Cipta Kerja dalam aksi pada Senin (12/10/2020). Aksi sempat diwarnai bentrokan. Massa dipukul mundur dengan tembakan gas air mata.
Bayu mengaku kaget dengan keputusan pemerintah menerbitkan perppu. Hal ini tidak sesuai dengan respons pemerintah saat MK mengeluarkan putusan 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan proses pembentukan UU Cipta Kerja cacat hukum sehingga dinyatakan inkonstitusional bersyarat, 25 November 2021. Ketika itu, pemerintah menyatakan siap untuk mengikuti putusan MK yang memerintahkan agar proses pembentukan UU Cipta Kerja diperbaiki dalam waktu dua tahun.
Pemerintah sebenarnya sudah membentuk Satuan Tugas Sosialisasi UU Cipta Kerja, kemudian membentuk landasan hukum bagi pembentukan regulasi dengan model omnibus law dengan merevisi UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
”Sebenarnya tinggal satu tahap lagi, yaitu memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja, khususnya terkait asas keterbukaan dan partisipasi bermakna. Setahu saya, satgas sudah jalan ke beberapa tempat melakukan sosialisasi. Lha, kok, tiba-tiba ending-nya adalah perppu. Ini tidak sejalan dengan pernyataan maupun aktivitas yang sudah dilakukan pemerintah menindaklanjuti putusan MK,” ujarnya.
Bayu juga menilai pemerintah tidak memiliki dasar untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Memang benar bahwa Pasal 22 E Ayat (1) UUD 1945 menjamin bahwa penerbitan perppu adalah hak subyektif presiden. Namun, Presiden dan para pembantunya seharusnya tidak hanya membaca pasal tersebut sebab ada pasal lain, yaitu Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945, yang mengatur bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.

Pengendara melintasi mural tema tolak UU Cipta Kerja yang dibuat Serikat Mural Surabaya di Jalan Dinoyo, Surabaya, Rabu (7/10/2020). Gelombang penolakan terhadap UU Cipta Kerja terus dilakukan banyak pihak. Selain melalui unjuk rasa, penolakan juga dilakukan melalui berbagai media, salah satunya mural.
”Ada persoalan dalam pembentukannya sehingga dia (UU Cipta Kerja dinyatakan) bertentangan dengan UUD. Namun, karena sudah ada peraturan pelaksana dan sudah dilaksanakan, maka MK punya pertimbangan, yaitu inkonstitusional bersyarat. Meski demikian, tidak bisa inkonstitusional bersyarat itu selamanya, maka diberi waktu dua tahun untuk memperbaiki pembentukannya. Fokus pada pembentukan, meski di pertimbangan putusan dinyatakan bahwa kalau ada substansi yang dianggap perlu diperbaiki, dipersilakan. Nah, selama dua tahun ini UU Cipta kerja tetap berlaku,” papar Bayu.
Mengenai penerbitan perppu, MK sebenarnya sudah mengatur syarat-syarat bagi Presiden bisa menerbitkan Perppu (putusan 138/PUU-VII/2008 halaman 19). Ada tiga syarat, yaitu ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; serta kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
”Pertanyaan kita adalah, kan, UU Cipta Kerja masih berlaku. Jadi, mau ada urusan perang Ukraina atau ada kemungkinan terjadinya stagnasi ekonomi ataupun ada yang kita sebut dengan persoalan ekonomi global, kan, tidak ada kekosongan hukum. Undang-undangnya masih berlaku,” kata Bayu.
Pemerintah tak perlu menerbitkan perppu sebab ketentuan yang ada di pasal-pasal UU Cipta Kerja masih bisa digunakan.
Sebelumnya, pemerintah menjelaskan bahwa penerbitan Perppu Perubahan UU Cipta Kerja dibutuhkan karena ada situasi ekonomi (ancaman inflasi, stagflasi, krisis multisektor, dan lainnya) sebagai dampak perang Ukraina yang secara global ataupun nasional memengaruhi berbagai negara, termasuk Indonesia. Situasi itu membuat pemerintah harus mengambil langkah tepat untuk mengantisipasi kondisi tak menentu tersebut supaya tidak ketinggalan dalam melakukan antisipasi dan penyelamatan.
Menurut Bayu, pemerintah tak perlu menerbitkan perppu sebab ketentuan yang ada di pasal-pasal UU Cipta Kerja masih bisa digunakan. MK tidak membatalkan satu pasal pun dalam undang-undang tersebut. Selain itu, masih ada waktu yang cukup untuk melakukan perbaikan proses pembentukan UU Cipta Kerja karena batas yang diberikan MK masih hingga November 2023.
”Apalagi, praktik selama ini DPR juga bisa fast track legislation. Undang-undang terakhir, yaitu UU P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan), itu satu bulan selesai. Padahal, undang-undang tersebut merupakan undang-undang omnibus dengan 341 pasal (melibatkan) 17 undang-undang,” ujarnya.

Kelompok mahasiswa dari Cipayung plus Jawa Timur dan Surabaya berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Jawa Timur, Kota Surabaya, Kamis (9/10/2020). Mereka menolak keras UU Cipta Kerja dan menuntut DPR melakukan legislative review.
Proses pembentukan UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan dimulai Ketika rapat panja dilakukan pada 10 November, kemudian mendapat persetujuan tingkat pertama pada 5 Desember dan disahkan DPR menjadi undang-undang pada 15 Desember.
Pembangkangan konstitusi
Sementara itu, Koordinator Tim Kuasa Hukum Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Viktor Santoso Tandiasa, mengungkapkan, tindakan pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja melanggar hukum dan bisa dikatakan sebagai pembangkangan terhadap konstitusi. Sebab, MK mengamanatkan agar pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja.
”Namun, pemerintah malah mengambil jalan pintas dengan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja yang kemudian dalam penalaran yang wajar DPR akan menyetujui perppu tersebut menjadi undang-undang, sehingga tidak melaksanakan putusan MK 91/PUU-XVIII/2022,” ujar Viktor.
Baca juga: Revisi UU Cipta Kerja Ditargetkan Rampung Tahun Ini
Viktor juga menilai, syarat kegentingan memaksa dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja tidak terpenuhi. Pemerintah dan DPR masih memiliki waktu untuk merevisi UU Cipta Kerja mengingat batas waktu yang diberikan MK untuk mengubah undang-undang tersebut hingga November 2023.
Tidak dimungkiri bahwa tahun depan merupakan tahun politik sehingga sulit bagi DPR untuk memenuhi jadwal tersebut mengingat banyak anggota DPR yang mencalonkan diri kembali dalam Pemilu 2024. Akan tetapi, anggota DPR seharusnya mendahulukan tugas konstitusionalnya sebagai legislator dibandingkan kegiatan yang lain.
”Tidak bisa (dikeluarkan perppu). Makanya potensi menjadi alat kekuasaan untuk (bertindak) sewenang-wenang,” ujarnya.