Revisi UU Cipta Kerja Ditargetkan Rampung Tahun Ini
Momentum revisi UU Cipta Kerja dinilai menjadi kesempatan untuk mengakomodasi masukan dari publik. Pemerintah optimistis revisi bisa rampung tahun ini.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA, AGNES THEDOORA
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Spanduk penolakan kaum buruh terhadap RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja menghiasi Jalan Irian, Jatiwangi, Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat, Senin (25/5/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan revisi Undang-Undang Cipta Kerja selesai tahun ini. Momentum revisi perlu dijadikan kesempatan untuk mendorong pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas, tanpa mengesampingkan faktor sosial dan ekologis, dengan tetap mengakomodasi masukan publik.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena cacat formil. Hal ini membuat pemerintah dan DPR memiliki batas waktu maksimal dua tahun sejak amar putusan dibacakan 25 November 2021 untuk menyelesaikan perbaikan. Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi menjelaskan, monitoring atau penyesuaian secara lintas kementerian/lembaga (K/L) terkait revisi undang-undang ini terus diperkuat dan ditargetkan selesai tahun ini.
Apabila dalam waktu tersebut pemerintah dan DPR tidak kunjung melakukan perbaikan, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional atau melanggar konstitusi secara permanen. Artinya, hukum tersebut tak bisa berjalan.
”Kami optimistis selesai sebelum waktunya. Kalau bisa tahun ini, tahun ini prosesnya kita jaga,” ujarnya di Jakarta, Rabu (6/7/2022).
MK sebelumnya telah memerintahkan agar landasan hukum terpadu segera dibuat. Hal ini dapat menjadi pedoman bagi pembentukan hukum sesuai dengan metode omnibus law. Undang-Undang Cipta Kerja direvisi untuk memenuhi cara atau metode tertentu yang baku dan standar, terutama asas pembentukan hukum, yaitu asas keterbukaan dengan memasukkan partisipasi masyarakat yang maksimal dan bermakna.
Berbagai masukan dari publik, lanjut Elen, nantinya akan diinventarisasi untuk kemudian ditindaklanjuti. Apabila terdapat masukan publik yang mengharuskan substansi pada UU diubah, pemerintah akan mengajukan revisi ke DPR. Sebaliknya jika tidak ada perubahan substansi yang berarti, tidak perlu dilakukan perbaikan.
”Publik yang dilibatkan adalah para pemangku kepentingan di setiap sektor yang berkaitan dengan undang-undang. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, mulai akademisi, praktisi, hingga perwakilan asosiasi,” ujarnya.
Daya beli
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi dunia dan tren inflasi yang terus meningkat, hak-hak normatif pekerja perlu dijaga agar daya beli masyarakat tetap terjaga.
Sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja sebelumnya telah terbukti melemahkan daya beli dan kesejahteraan pekerja, terutama di tengah kondisi ekonomi yang tak tentu. Aturan mengenai sistem pengupahan, misalnya, menahan laju kenaikan upah minimum dan saat ini justru membuat upah pekerja tergerus tingkat inflasi yang terus melonjak.
Selain itu, ada pula aturan yang mendorong fleksibilitas pasar kerja dan menimbulkan ketidakpastian kerja, seperti pelonggaran syarat mempekerjakan pekerja alihdaya (outsource) dan kontrak (pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT).
HERYUNANTO
Mencermati RUU Cipta Kerja
Fleksibilitas pasar kerja tanpa batas itu menjadi daya tarik bagi investor dan pengusaha, tetapi justru menggerus kesejahteraan pekerja yang sebenarnya memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional. ”Kalau mau membenahi iklim hubungan industrial kita, ini saat yang tepat untuk membahasnya secara komprehensif,” kata Timboel.
Ia mengatakan, komitmen pemerintah untuk membuka ruang revisi secara substantif dan melibatkan publik harus betul-betul dikawal. Untuk mendapat yang lebih komprehensif dan mengakar, pemerintah harus melibatkan serikat buruh secara luas, bukan hanya serikat pekerja yang saat ini tergabung dalam Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional.
Di sisi lain, buruh juga harus mau diajak berdiskusi untuk membenahi pasal-pasal ketenagakerjaan dalam UU sapu jagat itu. ”Serikat pekerja harus mau terlibat, jangan langsung menolak terlibat. Setidaknya bisa memperjuangkan perbaikan pasal-pasal terkait hak pekerja agar tidak semakin liar,” kata Timboel.
Keterlibatan daerah
Di sisi lain, revisi UU Cipta Kerja juga harus membenahi pasal-pasal yang sebelumnya berpotensi mengganggu kelestarian lingkungan dan menggerus hak-hak masyarakat daerah.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengatakan, revisi UU Cipta Kerja harus diarahkan untuk menjaga agar pembangunan ekonomi dan peningkatan investasi ke depan tetap sejalan dengan kondisi ekologis dan sosial di daerah.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Poster bertuliskan penolakan atas UU Cipta Kerja dibawa massa buruh saat melakukan aksi bersama menolak UU CIpta Kerja di Jakarta, Kamis (22/10/2020). Pasca pengesahan RUU CIpta Kerja oleh DPR pada awal Oktober lalu, gelombang aksi penolakan terus disuarakan oleh para buruh dan elemen masyarakat di Jakarta dan sejumlah daerah lain di Indonesia.
Menurut dia, UU Cipta Kerja sejauh ini belum secara aktif melibatkan para pemangku kepentingan di daerah. Tidak hanya pemerintah daerah, tetapi juga kelompok masyarakat sipil dan akademisi. UU sapu jagat itu cenderung memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah pusat, termasuk dalam hal penyusunan analisis risiko dalam perizinan usaha.
”Pengelompokan jenis usaha dan kategori tingkat risikonya masing-masing harus diperbaiki. Kita harus melihat satu per satu jenis usahanya berdasarkan risiko, dan kali ini daerah harus dilibatkan. Tidak hanya pemda, tetapi juga masyarakat sipil, akademisi, pers daerah, pelaku usaha karena mereka yang mengetahui kondisi di daerah,” katanya.
Beberapa hal yang menurut dia perlu menjadi dibenahi dalam revisi adalah aspek tata ruang, pemanfaatan dan perizinan lahan untuk keperluan usaha, serta penguatan pengawasan. ”Dalam kebijakan tata ruang, harus dipertimbangkan daya dukung lingkungan, sosial, terutama pembagian lahan secara adil untuk kelompok masyarakat dan masyarakat adat,” ujar Armand.
Di sisi lain, pengawasan perlu diperkuat sebagai konsekuensi atas berbagai kemudahan perizinan yang diberikan pemerintah kepada pelaku usaha di awal. ”Setelah kita memberi kemudahan di hulu, pengawasan di hilir harus dikuatkan. UU Cipta Kerja harus mempertegas dan mendetailkan aturan pengawasan itu. Jangan sampai menunggu ada kasus,” tuturnya.