Kalangan buruh dan pengusaha berbeda sikap soal formula penghitungan upah minimum 2023. Pemerintah berharap formula baru bisa membantu menjaga daya beli pekerja.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
DIDIE SRI WIDIANTO
Didie SW
BADUNG, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan peraturan baru tentang penetapan upah minimum tahun 2023. Namun, regulasi ini masih menuai pro-kontra, terutama antara pekerja dan pengusaha. Pemerintah diharapkan tegas serta memiliki solusi yang mengakomodasi kedua kepentingan.
Regulasi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 yang diundangkan pada 17 November 2022.
Sesuai peraturan ini, upah minimum provinsi tahun 2023 harus ditetapkan dan diumumkan oleh gubernur paling lambat 28 November 2022. Adapun upah minimum kabupaten/kota tahun 2023 diumumkan paling lambat 7 Desember 2022.
Kalangan pekerja menyambut baik peraturan ini meski dengan sejumlah catatan. Sementara kalangan pengusaha berharap penetapan upah minimum tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 36/2021 tentang Pengupahan.
”Kami berharap tidak ada perubahan kebijakan. Kondisi sedang tidak baik-baik, terutama di industri tekstil berorientasi ekspor,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Rizal Tansil Rakhman, yang ditemui di sela-sela Indonesia Development Forum (IDF) 2022 di Badung, Bali, Senin (21/11/2022).
Tidak ada perubahan kebijakan yang dia maksud adalah tetap mempertahankan PP No 36/2021, produk hukum turunan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Menurut dia, PP No 36/2021 sudah jadi konsensus.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani melalui keterangan tertulis mengatakan, UU No 11/2020 dan semua aturan turunannya harus tetap diberlakukan dengan disertai pengawasan yang intensif oleh pemerintah.
Menurut dia, kebijakan yang tak konsisten dapat menimbulkan ketidakpercayaan investor terhadap iklim usaha di Indonesia. Hal itu juga jadi preseden yang tidak baik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
”Kami perlu mengingatkan agar pemerintah dapat mengantisipasi apabila pada akhirnya keputusan ini berakibat terhadap menurunnya investasi, meningkatnya angka pengangguran, dan pada akhirnya meningkatkan angka kemiskinan,” tutur Hariyadi (Kompas, 19/11/2022).
Apresiasi
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, formula penghitungan di Permenaker No 18/2022 lebih baik dibandingkan dengan PP No 36/2021. Setidaknya, dengan rumus baru ini, kenaikan upah minimum 2023 bisa di atas inflasi yang terjadi pada 2022.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, saat konferensi pers, Minggu (20/11/2022), juga mengapresiasi pemerintah yang akhirnya tidak menggunakan PP No 36/2021. Pihaknya berharap pemerintah daerah segera mengikuti amanat Permenaker No 18/2022.
Akan tetapi, kata Timboel, upah minimum yang dihitung dengan formula baru belum otomatis memastikan daya beli buruh tak turun. Hal itu bisa terjadi karena ada faktor alfa yang dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi. ”Rentang nilai alfa 0,1 sampai 0,3. Tidak ada kejelasan tentang nilai alfa ini dan pembatasan nilai alfa ini. Mengapa harus ada nilai alfa dan apa dasarnya?” ujarnya.
Kendati lebih baik ketimbang formula di PP No 36/2021, Said Iqbal menilai, formula baru membingungkan dan rumit. Selain itu, ada substansi soal kenaikan upah yang dibatasi maksimal 10 persen. Keterangan ”paling tinggi 10 persen” bisa menimbulkan kebingungan dan pengertian keliru tentang upah minimum.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam pernyataannya di akun Instagram @Kemnaker menjelaskan, sebelum ada PP No 36/2021, terjadi disparitas upah minimum di berbagai daerah. Situasi ini berdampak pada produktivitas dan kesejahteraan pekerja. Kehadiran PP No 36/2021 bertujuan mereduksi hal itu sehingga tercipta pemerataan dalam jangka menengah.
Akan tetapi, dia melihat kondisi masyarakat saat ini belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19. Selain itu, masyarakat juga harus berhadapan dengan potensi ketidakpastian makroekonomi global. ”Struktur perekonomian nasional disumbang oleh konsumsi. Maka, kami menilai penting menjaga daya beli pekerja,” ujarnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja menyelesaikan renovasi fasilitas umum di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Kamis (15/9/2022). Untuk mengurangi kemiskinan karena naiknya harga BBM bersubsidi, pemerintah akan memberi bantuan subsidi upah kepada pekerja dengan upah di bawah Rp 3,5 juta per bulan dan pekerja yang digaji senilai upah minimum.
Berangkat dari aspirasi yang berkembang, penghitungan upah minimum yang ada di PP No 36/2021 dinilai belum mampu menjawab situasi yang kini berkembang. Ida menegaskan, dengan adanya penyesuaian formula penghitungan, daya beli dan konsumsi warga terjaga. Penyesuaian itu diharapkan jadi jalan tengah atas dinamika sosial-ekonomi saat ini.
Saat dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, penghitungan dan penetapan upah minimum idealnya mengikuti kondisi daerah dan setiap sektor industri.
”Apabila tetap menggunakan formula penghitungan nasional, seperti sekarang, pemerintah perlu intervensi (dengan) membantu sektor industri yang relatif rentan terkena dampak ketidakpastian ekonomi,” ujarnya.