Jeritan Para Budak di Lautan
”Masih ada 10 teman saya di kapal itu. Sebelum saya loncat, mereka bilang ’bantu kami, kami ingin pulang’. Tolong Mas bantu menulis supaya pemerintah menjemput teman-teman saya,” ujar Andri.
Berawal dari sekadar merespons peristiwa sebagai bahan liputan, saya akhirnya dapat memahami apa sebenarnya jeritan hati para pekerja Indonesia yang selama ini diperlakukan bagai budak di kapal asing.
Hari Sabtu (6/6/2020) malam, saya menjalankan rutinitas ”patroli” sejumlah situs media lokal di Batam, Kepulauan Riau. Ide bagus tidak jarang muncul setelah membaca berita yang ditulis wartawan lain.
Kegiatan ini biasa saya lakukan untuk menentukan agenda liputan esok hari. Dengan cakupan wilayah Kepulauan Riau yang harus saya tangani sendirian, pendekatan ini yang paling mungkin saya lakukan.
Jari saya berhenti memainkan mouse saat melihat berita TribunBatam.id yang berjudul ”BREAKING NEWS-Dua WNI Terjun dari Kapal Ikan China ke Laut di Perairan Karimun”. Saya segera mengirim pesan Whatsapp ke Elhadif, wartawan Tribun di Karimun yang menulis berita itu.
Elhadif memberi saya nomor telepon Kepala Polsek Tebing, Karimun, Ajun Komisaris Fian Agung Wibowo. Dia juga memberi nomor telepon seorang nelayan bernama Uul yang katanya bisa membantu saya bertemu dua WNI yang terjun dari kapal ikan China.
Peristiwa itu terjadi di Pulau Karimun, sedangkan saya tinggal di Pulau Batam. Sebenarnya, perjalanan Batam-Karimun bisa ditempuh dengan kapal laut selama 90 menit. Yang jadi soal, waktu itu pandemi Covid-19 sedang mendera dan Karimun membatasi lalu lintas orang.
Di tengah kebingungan, saya mengirim pesan ke atasan langsung, Aufrida Wismi Warastri, selaku Kepala Biro Kompas Sumatera. Saya sampaikan bahwa saya akan berangkat ke Karimun esok hari.
Waktu itu, Mbak Wismi tidak langsung memberi lampu hijau. Dia menyarankan saya menghubungi lebih dulu pihak-pihak terkait di Karimun lewat telepon untuk mengetahui duduk persoalannya secara detail.
Hal ini bisa dipahami karena pandemi sedang menggila, dan Kompas memang meminta para wartawan untuk mengurangi mobilitas ke luar daerah. Namun, entah mengapa, saya merasa berat sekali kalau harus menuliskan peristiwa itu hanya dari wawancara lewat telepon.
Malam itu saya kesulitan tidur sehingga laptop saya bawa ke atas kasur. Saya menghabiskan malam dengan membaca berita-berita soal perbudakan awak kapal perikanan. Beberapa nama narasumber saya tulis dalam buku catatan.
Matahari sudah terbit ketika saya selesai riset berita. Saya memasukkan laptop, buku catatan, kamera, dan satu set baju ganti ke ransel. Pagi itu, dengan mata perih, saya memacu sepeda motor ke pelabuhan feri di Sekupang, Batam.
Seperti yang sudah saya duga, di pintu pelabuhan, petugas dari Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) tidak mengizinkan saya masuk. Dua orang itu bilang kalau saya mau ke Karimun, saya harus membawa surat keterangan sehat dari puskesmas.
Pelan-pelan saya menerangkan tujuan saya ke Karimun untuk meliput WNI yang disiksa dan lompat ke laut. Saya mencoba menggugah empati mereka. Saya juga bilang puskesmas tidak buka pada hari Minggu.
”Ya sudah kalau kamu ngeyel. Silakan naik kapal ke Karimun, tetapi kalau petugas di sana nyuruh kamu balik, kamu jangan marah, ya,” kata si petugas yang laki-laki. Saya melempar senyum kepada mereka, lalu ngacir ke loket tiket.
Baca juga : Melawan Ragu di Kerawanan Semeru
Setelah kapal jalan, saya baru ingat kalau atasan belum memberi izin liputan ke luar daerah. Saya mengutuk diri sendiri. Hanya tidak tidur satu malam saja sudah cukup membuat saya dua kali lipat lebih bodoh dari biasanya.
Namun, nasi sudah menjadi bubur, buat apa resah. Toh, saya juga belum tentu bisa menerobos masuk ke Karimun. Kalau saya nanti diusir petugas di pelabuhan Karimun, saya berjanji akan lapang dada pulang lagi ke Batam.
”Yang penting sudah mencoba, no hard feelings-lah,” saya membatin.
Saat kapal sandar di Pelabuhan Karimun, saya mengalungkan kartu pers. Dengan percaya diri saya keluar paling depan dan langsung menemui petugas KKP. Saya menerapkan trik yang sama seperti saat hendak naik kapal. Saya ceritakan tujuan liputan demi memancing empati petugas yang seorang perempuan itu.
”Mau wartawan atau anggota Dewan, semua sama. Kalau enggak bawa surat keterangan sehat, kamu pulang lagi ke Batam,” kata petugas KKP itu. Tega betul, tapi dia benar sih.
Dalam hati, saya mengagumi ketegasan ibu itu karena saya tahu tak banyak pegawai pemerintah yang serius menjalankan tugasnya. Saya tak sampai hati membantahnya, maka saya menurut berjalan ke arah loket untuk membeli tiket pulang.
Namun, ternyata saya bukan tipe orang yang nrima ing pandum seperti yang saya bayangkan sebelumnya ketika di atas kapal. Saya tak sudi mengakui kegagalan, apalagi sudah sejauh ini melangkah.
Baca juga : Tersentuh Saat Dievakuasi oleh Warga Korban Longsor
”Rawe-rawe rantas, malang-malang putung,” gumam saya menguatkan diri. Maka, saya melangkah lagi ke meja petugas KKP itu. Saya berniat menyemburkan khotbah panjang mengenai kebebasan pers dan demokrasi kepada petugas itu. Biar dia saya kasih paham.
Namun, saya berpikir lagi bukankah ibu itu menjalankan tugasnya dengan benar. Dia ingin melindungi warga Karimun dari pendatang seperti saya yang berpotensi membawa virus Covid-19. Suara dalam kepala saya saling bertabrakan.
Keributan dalam kepala membuat saya lelah. Setengah tak sadar, saya ndeprok dekat meja petugas KKP sambil memandang iri ke penumpang lain yang melenggang masuk ke Karimun dengan mudahnya.
Demi Toutatis! Ibu-ibu petugas KKP itu ternyata tidak hanya tegas, tetapi juga cerdas dan baik hati.
Tiba-tiba, entah kesambet hantu laut dari mana, petugas KKP yang dingin itu memanggil saya. Dia menyuruh saya masuk ke sebuah bus untuk diantar ke puskesmas terdekat. Di sana saya bisa membuat surat keterangan kesehatan.
”Demi Toutatis! Ibu-ibu petugas KKP itu ternyata bukan hanya tegas, tetapi juga cerdas dan baik hati,” pikir saya sambil berlari masuk ke dalam bus.
Di puskesmas, pemeriksaan berjalan cepat. Saya diminta membayar Rp 10.000, lalu menyerahkan surat keterangan itu kepada petugas KKP yang mengantar saya. Setelah itu, voilà, saya bisa melenggang keluar dari pelabuhan yang menjengkelkan itu.
Baca juga : Tes PCR Enam Kali demi Liputan Dubai Expo
Tak semudah yang dibayangkan
Dari puskesmas dekat pelabuhan, saya membayar ojek untuk diantar ke Polsek Tebing. Di tengah jalan, saya mengirim pesan Whatsapp kepada Kapolsek Tebing, Ajun Komisaris Fian Agung untuk bertemu dua WNI yang terjun ke laut. Tanpa bertanya panjang-lebar, dia memberi saya izin.
Mudah sekali, pikir saya. Tak biasanya polisi bersikap seperti ini. Namun, biar sajalah, mungkin ini yang disebut habis gelap terbitlah terang. Saya sudah lolos dari rintangan di pelabuhan, maka saatnya menikmati kemudahan yang tidak diprediksi ini.
Sampai di lokasi, ternyata Pak Fian tidak ada di kantor. Seorang anak buah Pak Fian bilang, dua WNI yang saya cari juga sudah dibawa petugas Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Sial, pikir saya, sudah saya duga kebaikan Kapolsek cuma jebakan Batman.
Tanpa buang waktu, saya naik ojek lagi ke pos pelayanan BP2MI Karimun. Seorang petugas BP2MI bernama Doni mengajukan banyak pertanyaan kepada saya. Namun, setelah ia tahu saya berasal dari Jogja, sama sepertinya, sikapnya langsung berubah. Dua WNI yang saya cari ia panggil ke ruang tamu.
Baca juga : Meliput Bencana Semeru, Membaca Pertanda di Lapangan
Masih terang betul raut wajah kedua WNI itu di kepala saya. Mereka adalah Reynalfi Sianturi (22) dan Andri Juniansyah (30). Reynalfi saat itu mengenakan kaus band metal, adapun Andri mengenakan kemeja biru. Wajah dua laki-laki itu lelah dan sedih.
Baru sekitar 15 menit mewawancarai mereka, datang dua polisi tanpa seragam menjemput Reynalfi dan Andri. Mereka berdua bilang, Reynalfi dan Andri akan diperiksa oleh Polres Karimun. Keduanya kemudian langsung dibawa masuk ke mobil hitam dengan kaca gelap.
Saya jengkel sekali harus kucing-kucingan dengan begitu banyak orang hari itu. Namun, saya tak ingin buang waktu untuk bersungut-sungut. Saya teringat wartawan Tribun di Karimun, Elhadif, yang memberi saya kontak seorang nelayan bernama Uul. Maka, saya menelepon orang itu.
Tak berselang lama, datanglah Uul ke pos pelayanan BP2MI. Ternyata dia adalah kakak ipar dari Tengku Azhar (35), seorang nelayan yang menyelamatkan Reynalfi dan Andri. Kemudian, saya dibonceng Uul menggunakan sepeda motor untuk menemui Azhar.
Cukup lama saya mewawancarai Azhar di rumah Uul. Di sana, saya juga me-recharge energi dengan makan banyak-banyak segala hal yang disuguhkan istri Uul. Saya sudah dapat satu narasumber, perut juga sudah terisi. Maka, saatnya kembali memburu Reynalfi dan Andri.
Baca juga : Kenangan Berada 104 Meter di Bawah Permukaan Tanah
Kucing-kucingan di toilet
Setelah tiba di Markas Polres Karimun, saya berusaha menjumpai Kepala Polres dan Kepala Satuan Reserse dan Kriminal. Sialnya, dua polisi yang saya cari tidak berada di tempat. Maka, dengan mulut manyun, saya menunggu proses pemeriksaan dua WNI itu berjam-jam tanpa kepastian.
Setelah dua jam menunggu, Andri keluar dari ruangan. Saya kira pemeriksaan sudah usai. Maka, saya meminta dia duduk dan kembali mewawancarainya. Belum 5 menit, seorang polisi datang dan memarahi saya. Ternyata pemeriksaan belum rampung, Andri hanya pamit keluar untuk ke toilet.
”Satu jam lagi saya keluar, nanti kita ngobrol di toilet saja," kata Andri berbisik di telinga saya sebelum ia kembali masuk ke ruangan pemeriksaan.
Andri tepat janji, setiap satu jam, ia minta izin untuk ke toilet kepada polisi yang memeriksanya. Saya membuntutinya ke toilet dan mewawancarai sekitar 10 menit. Hal itu berlangsung tiga kali, sampai akhirnya si polisi berbadan besar mengetahui trik kami.
”Kamu ini mengganggu proses pemeriksaan. Sabar aja, kasus ini nanti akan dirilis polda,” kata si polisi berbadan besar kepada saya sambil menggiring Andri masuk ke ruangan pemeriksaan lagi.
Saya ketiduran di lantai saat menunggu proses pemeriksaan kedua WNI itu. Sekitar pukul 23.00, seorang polisi membangunkan saya. Dia bilang Andri dan Reynalfi sudah dikembalikan ke pos pelayanan BP2MI.
Baca juga : Tanyakan pada Petir yang Menyambar
Saya sempat berencana mengejar Andri dan Reynalfi untuk kembali mewawancarai mereka. Namun, saya membatalkan niat itu karena mereka berdua pasti lelah setelah dua hari berturut-turut di periksa Polsek Tebing dan Polres Karimun.
Maka, malam itu saya segera mencari hotel seadanya dan menyiapkan energi untuk keesokan harinya. Sebelum saya terlelap, Kapolres Karimun Ajun Komisaris Besar Muhammad Adenan mengirim pesan untuk memberi tahu bahwa esok polisi akan memberi penghargaan kepada Azhar, nelayan yang menyelamatkan Andri dan Reynalfi.
Sekitar pukul 09.00, saya datang ke Markas Polres Karimun. Di sana Kepala Subdirektorat IV Reserse dan Kriminal Umum Polda Kepri Ajun Komisaris Besar Dhani Catra Nugraha sudah menunggu untuk membawa Andri dan Reynalfi ke Batam. Mereka akan diperiksa di Markas Polda Kepri.
Baca juga : Diculik Lu Qing Yuan Yu, Diselamatkan Tengku Melayu
Saya meminta izin kepada Dhani mewawancarai Andri dan Reynalfi untuk yang terakhir kali. Saya bertanya kepada Andri mengapa ia mau kucing-kucingan dengan polisi untuk membantu saya menulis berita. Ia menjawab dengan kata-kata yang masih terus saya ingat sampai sekarang.
”Masih ada 10 teman saya di kapal itu. Sebelum saya loncat, mereka bilang ’bantu kami, kami ingin pulang’. Tolong Mas bantu menulis supaya pemerintah menjemput teman-teman saya,” ujar Andri.
Ingatan saya yang terakhir adalah Andri melambaikan tangan lalu mengacungkan jempol dari balik jendela mobil polisi yang akan membawanya ke pelabuhan Karimun. Itulah pertama kali saya berjumpa dengan wajah-wajah manusia yang disebut sebagai sea slaves atau budak lautan.
Rasa bersalah menghantui
Siang itu, setelah makan siang bersama Azhar, saya diantar Uul ke Pelabuhan Karimun. Sambil menunggu kapal, saya membuka buku catatan. Saya membaca riset yang saya rangkum dua malam sebelumnya. Saya juga menelepon beberapa narasumber yang telah saya susun sebelumnya.
Saat itu, keraguan menghinggapi saya. Kisah Andri dan Reynalfi melarikan diri dari perbudakan di kapal perikanan berbendera China terlalu sayang untuk ditulis wartawan kemarin sore seperti saya. Saya merasa tak mampu menggambarkan ngeri dan haru yang mereka alami dalam tulisan.
Baca juga : Kapal Perikanan China, Kuburan Terapung Pekerja Migran Indonesia
Namun, pesan terakhir Andri kepada saya terus terngiang di telinga. Hingga dua hari setelah pulang liputan dari Karimun, saya kesulitan tidur. Selama dua malam saya lembur menulis feature kisah Andri dan Reynalfi.
Akhirnya tulisan itu selesai dan saya berikan kepada editor pada 10 Juni 2020. Kadang, saya menyesal saat kembali membaca tulisan itu. Seharusnya saya bisa menulis lebih bagus lagi. Saya merasa pesan yang harusnya saya sampaikan kepada pembaca justru tidak sampai tujuan.
Perasaan bersalah dan rasa tidak puas itu terus menguntit. Saya berusaha membayarnya dengan banyak menulis kisah-kisah manusia lain yang terjerat perbudakan di laut. Lama-kelamaan, saya menyadari pesan terakhir Andri kepada saya lebih universal daripada yang dulu saya tangkap.
Ia tidak hanya meminta pemerintah menyelamatkan teman-teman sesama WNI di kapal tempat ia bekerja. Lebih dari itu, ia meminta agar pemerintah memastikan tidak ada manusia lain yang dijadikan budak di laut sepertinya. Saya pun paham, satu tulisan tak akan cukup untuk mengubah keadaan.