Setelah hampir 18 tahun, erupsi Gunung Semeru, Sabtu (4/12/2021), seperti peringatan yang tiba-tiba bergetar. Saya pun kembali ke Sumberwuluh untuk meliput dampak erupsi Semeru.
Oleh
Ambrosius Harto Manumoyoso
·3 menit baca
Erupsi Gunung Semeru, Sabtu (4/12/2021) siang, seperti peringatan yang tiba-tiba bergetar setelah terdiam hampir 18 tahun.
Saya mengingat menulis feature ”Mata-mata Gunung Semeru” di harian Kompas edisi Jawa Timur terbit 16 Agustus 2004. Ketika itu saya masih berinisial S03, calon wartawan Kompas di Jawa Timur. Feature yang saya tulis tentang Suparno yang ketika itu menjabat Kepala Pos Pemantauan Gunung Api Semeru di Gunung Sawur, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang.
Setelah 18 tahun, saya kembali ke Sumberwuluh untuk meliput dampak erupsi Semeru. Saya juga sempat mampir ke Pos PGA Semeru dan menemui Liswanto, kepala ”unit mata-mata” mahagiri tertinggi Pulau Jawa itu.
Kembali teringat ketika itu membonceng pengojek dan bermain-main di kaki Semeru bagian selatan-tenggara. Saya cukup yakin pernah bersepeda motor dari Supiturang (Pronojiwo).
Namun, ketika saya kembali, perasaan dalam sanubari berkebalikan dengan masa silam. Tak bisa saya tertawa seperti ketika terjatuh di endapan pasir 18 tahun lalu. Bagaimana mungkin ada tawa ketika melihat Sumberwuluh yang porak poranda dan tertimbun abu vulkanik?
Begitulah akhirnya saya memahami penugasan peliputan ke lokasi erupsi Semeru dari Surabaya, ibu kota Jatim tempat saya bertugas sejak 2017. Yang dulu banyak melihat kesukaan di kaki Semeru, yang sekarang menjadi saksi kedukaan.
Mencoba menyadari keseimbangan itulah yang membuat saya menjadi tenang selama peliputan. Mencoba tidak panik ketika sedang berada di Dusun Curahkobokan, Supiturang, untuk melihat aktivitas Tim SAR Terpadu dan tiba-tiba ada informasi Semeru ”batuk” dan mengeluarkan abu vulkanik. Jika harus berlari, ya, berlari dengan mantap dan tenang, tidak takut, tidak mengentengkan.
Tiada rasa kesal ketika dimarahi warga karena dianggap tidak berkepentingan. Ya ikut bergembira atau bersedih dengan warga di pengungsian yang berbesar hati bercerita.
Saya berada di lokasi bencana bersama wartawan foto Kompas, Agus Susanto. Kami bertanggung jawab meliput sisi selatan-timur kaki Semeru. Wilayah kami dari setelah jembatan Gladak Perak yang putus di Kamarkajang, Sumberwuluh, sampai Lumajang. Rekan saya, Dahlia Irawati, dan pewarta foto Bahana Patria Gupta di sisi selatan-barat dari Supiturang, Pronojiwo ke arah Malang.
Komunikasi kami selama liputan melalui grup WhatsApp untuk berbagi tugas, koordinasi, senda gurau, saling ledek dan pamer. Sejak hari pertama meliput erupsi Semeru, saya dan Agus menginap di Kecamatan Senduro, sekitar 25 kilometer di timur laut-utara Kecamatan Candipuro. Di tempat ini tersedia penginapan yang representatif dan lokasi jajan yang menyenangkan serta aman dari ancaman erupsi Semeru.
Bukan berarti kami tak mau tinggal di lokasi bencana atau terdekat dengan pengungsian. Kami tidak menemukan penginapan misalnya di desa terdekat dengan Sumberwuluh yakni Sumbermujur dan Penanggal di Candipuro.
Rumah-rumah warga yang aman menjadi tempat pengungsian dan penginapan semua orang yang beraktivitas dalam penanganan dampak erupsi. Ya TNI, Polri, pemerintah, badan usaha milik negara, swasta, organisasi massa, bahkan partai politik.
Dalam situasi bencana, pantang sebenarnya bagi kami untuk merepotkan orang lain, terutama bagian dapur umum. Makanan dan minuman sepatutnya bagi masyarakat atau penyintas dan semua pihak yang bekerja dalam penanganan dampak bencana.
Kami seharusnya membawa atau membeli di tempat lain. Itulah alasan lain yang mendorong kami mencari penginapan sampai ke Senduro.
Semua kami lakukan untuk mewartakan segala hal terkait dengan bencana erupsi Semeru kepada pembaca melalui harian Kompas, Kompas.id, dan akun-akun resmi Kompas di media sosial.