Kapal Perikanan China, Kuburan Terapung Pekerja Migran Indonesia
Dua tahun terakhir, sebanyak 29 ABK Indonesia meninggal di kapal perikanan China. Sistem penempatan pekerja migran Indonesia di sektor kelautan harus diperbaiki untuk mengakhiri perbudakan di kapal perikanan asing.
Untuk yang kesekian kali, berita kematian kembali datang dari kapal ikan berbendera China. Dua anak buah kapal (ABK) Indonesia asal Jawa Tengah yang bekerja di Liao Dong Yu 571, yakni Fathul Majid dan Rila Salam (22), tewas di perairan Somalia pada 19 Juli 2021.
Hari itu cuaca sedang buruk di perairan Somalia. Namun, Kapal Liao Dong Yu 571 tetap nekat berlayar. Majid dan Rila dipaksa para mandor menurunkan pukat untuk mengeruk ikan di tengah laut yang bergejolak.
Nasib malang menghampiri mereka berdua. Hantaman ombak besar ke lambung Liao Dong Yu 571 membuat pintu pukat kapal itu terempas dan mengenai kepala Majid. Ia tewas seketika dengan luka parah di kepala.
Adapun Rila tercebur ke laut setelah terkena rantai pukat yang terpental saat dihantam ombak besar. Tubuh pemuda itu tidak pernah ditemukan.
Jenazah Majid dikuburkan di Somalia dan keluarganya di Brebes diberi sejumlah uang sebagai ucapan duka. Adapun keluarga Rila di Tegal masih berjuang menuntut tanggung jawab dari perusahaan penyalur, yakni PT Raja Crew Atlantik.
Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mencatat ada 29 warga Indonesia yang meninggal saat masih terikat perjanjian kerja laut di kapal perikanan China sepanjang November 2019-Maret 2021. Kejadian terhadap Majid dan Rila di Liao Dong Yu 571 membuktikan tren ini masih berlanjut.
Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, Kamis (7/10/2021), mengatakan, kematian ABK asal Indonesia mayoritas disebabkan oleh sakit akibat kondisi kerja yang tidak manusiawi, serta luka akibat tindak kekerasan. Lainnya ada juga yang tewas akibat kecelakaan kerja seperti yang terjadi terhadap Majid dan Rila.
Kami sudah pernah menyarankan moratorium mengirim ABK kita ke kapal-kapal China, tetapi pemerintah tidak memilih opsi itu karena lapangan kerja di dalam negeri masih kurang.
Kematian pekerja migran Indonesia karena sakit akibat kondisi kerja yang tidak layak di kapal perikanan China telah beberapa kali diungkap aparat. Yang paling mengejutkan publik adalah kasus pemulangan jenazah secara diam-diam yang dilakukan Direktur dan Manajer PT Surya Mitra Bahari (SMB), yaitu Joni (39) dan Erlangga (24).
Mereka ditangkap polisi saat hendak menyelundupkan tiga jenazah dari Kapal Fu Yuan Yu 829 di Batam, Kepulauan Riau, 20 Agustus 2020. Tiga jenazah itu diidentifikasi sebagai Syaban (22) dan Musnan (26) asal Bireuen, Aceh, dan Dicky Arya Nugraha (23) asal Donggala, Sulawesi Tengah.
Dalam surat yang dijadikan barang bukti perkara oleh polisi dijabarkan Musnan mengalami sakit perut dan muntah-muntah pada 21 Juli 2020. Kondisi Musnan terus menurun karena mengalami sesak napas. Dua hari kemudian, ia dinyatakan meninggal.
Gejala tersebut mirip dengan cerita para pekerja migran Indonesia lain yang menyaksikan rekannya meninggal di kapal perikanan China. Sebelum meninggal, para ABK itu rata-rata mengalami sakit di dada, pusing, dan kesulitan untuk berdiri atau berjalan.
Investigasi oleh Greenpeace pada 2016 menemukan gejala tersebut juga jamak ditemukan pada pekerja kapal perikanan laut lepas di Thailand. Gejala tersebut mengarah pada penyakit beri-beri yang disebabkan kekurangan vitamin B1.
Penyakit beri-beri biasanya muncul setelah seseorang mengalami kekurangan gizi selama dua atau tiga bulan akibat diet ekstrem dengan hanya mengonsumsi nasi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit beri-beri memiliki risiko kematian yang tinggi.
Mantan ABK Liao Dong Yu 571, Muhammad Abdullah (25), Selasa (14/9), mengatakan warga Indonesia dan Myanmar di kapal itu hanya diberi makan bubur nasi dengan lauk ikan sisa umpan pancing dan sayur layu yang direbus tanpa bumbu. Menurut pemuda asal Cirebon, Jawa Barat, itu para pekerja juga hanya diizinkan minum hasil sulingan air laut yang payau dan kekuningan.
Para ABK di kapal perikanan China sering dipaksa bekerja selama 20 jam dalam satu hari. Bahkan, sejumlah ABK mengaku, sering dipukul dan ditendang para mandor apabila kerja mereka tidak memuaskan.
Baca Juga:
- If You Die, Your Body IS Not Brought Home; If Stay Alive, Your Salary IS Not Paid
- Jenazah Tak Kembali, Gaji Tak Diberi
- Liao Dong Yu, ”Neraka Terapung” di Tanduk Afrika
- Bekal Pengetahuan Hindarkan ABK Indonesia dari Jerat Perbudakan
Kapal-kapal perikanan China bisa beroperasi di laut lepas selama lebih dari dua tahun tanpa perlu pulang ke pelabuhan. Mereka memindahkan hasil tangkapan ke kapal pengumpul di tengah laut. Mereka juga mendapat perbekalan dari kapal yang sama. Armada kapal perikanan laut lepas China merupakan yang terbesar di dunia dengan jumlah diperkirakan mencapai 3.400 kapal.
Aparat sulit mengawasi kapal perikanan yang beroperasi di laut lepas mengingat wilayah operasi mereka tidak termasuk dalam wilayah hukum negara mana pun. Kondisi itu mengakibatkan situasi kerja di kapal perikanan laut lepas rawan pelanggaran hak asasi manusia.
Lolos dari jerat hukum
Aparat di Kepri pernah mencoba menindak kapal perikanan China yang diduga melakukan penyiksaan terhadap pekerja migran Indonesia. Pada 8 Juli 2020, TNI Angkatan Laut dan Polri menangkap Kapal Lu Huang Yuan Yu 118 di perairan Pulau Nipah, Batam.
Di lemari pendingin Lu Huang Yuan Yu 118, aparat menemukan jenazah ABK asal Lampung, Hasan Apriadi. Polisi kemudian menetapkan mandor kapal, Song Chuanyun (50), sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Warga negara China itu dituduh melakukan penganiayaan yang mengakibatkan Hasan meninggal.
Menurut 12 pekerja migran Indonesia lain di Lu Huang Yuan Yu 118, Song sering memukul dan menendang mereka di punggung, kepala, dan dada. Komisaris Besar Arie Dharmanto, yang saat itu menjabat Direktur Reserse dan Kriminal Umum Polda Kepri, menyatakan, hasil otopsi terhadap jenazah Hasan menunjukkan terdapat sejumlah luka memar di tubuhnya.
Meski demikian, Pengadilan Negeri Batam akhirnya membebaskan Song dari dakwaan penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Saksi ahli di persidangan menyatakan penyidikan terhadap perkara itu tidak bisa dilakukan oleh Polda Kepri karena penyiksaan yang dilakukan oleh Song terhadap Hasan terjadi di luar perairan wilayah Indonesia.
Di persidangan, penyiksaan yang dilakukan Song juga tidak terbukti secara signifikan mengakibatkan Hasan meninggal. Dari hasil otopsi diketahui Hasan memiliki penyakit menahun di paru dan jantung serta pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher dan perut.
Selain membebaskan Song, Pengadilan Negeri Batam juga menjatuhkan hukuman yang rendah kepada para agen penyalur yang menempatkan 13 warga negara Indonesia di Lu Huang Yuan Yu 118. Mereka adalah Direktur PT Gigar Marine International Harsono, Direktur dan Komisaris PT Makmur Jaya Mandiri Totok Subagyo dan Taufiq Alwi, serta Direktur PT Novarica Agatha Mandiri Laila Kadir.
Empat terdakwa itu hanya dikenakan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Mereka hanya divonis penjara 1 tahun 4 bulan dan denda sebesar Rp 100 juta. Bila denda itu tidak dibayar, diganti dengan kurungan 1 bulan.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia di Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha, Sabtu (18/9), mengatakan, penegakan hukum terhadap para pelaku penyalur ABK yang bermasalah seharusnya dapat dilakukan secara lebih tegas.
Menurut dia, seharusnya para penyalur ABK bukan hanya dijerat dari sisi prosedural penempatan dengan UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, melainkan juga dengan UU No 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dengan begitu hukuman kepada mereka bisa lebih berat.
Baca Juga:
- ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing, Nyanyian Duka yang Tak Kunjung Usai
- Kisah Khairol, Pekerja Kapal China yang Akhirnya Pulang
- Perbudakan WNI di Atas Kapal Berbendera China
Koordinator DFW Indonesia Abdi Suhufan sepakat dengan pemberatan hukuman dengan menggunakan UU TPPO. Pemerintah Indonesia juga seharusnya berinisiatif mendorong pemerintah China untuk turut melindungi ABK migran dari Indonesia.
”Kami sudah pernah menyarankan moratorium mengirim ABK kita ke kapal-kapal China, tetapi pemerintah tidak memilih opsi itu karena lapangan kerja di dalam negeri masih kurang. Akan tetapi, sulit melindungi ABK kita jika tidak ada aturan yang mewajibkan demikian di sana (China). Jadi, Indonesia bisa berkoordinasi dengan China agar ABK yang diterima bekerja hanyalah yang dikirim perusahaan penyalur yang resmi,” kata Abdi.
Perbudakan terselubung
Dari cerita para ABK yang pernah bekerja di kapal perikanan China itu, tidak salah bila ada yang menyebut sektor pekerja kelautan migran menjadi ajang perbudakan terselubung. Ironisnya, Pemerintah Indonesia masih saja gamang mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan persoalan itu.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, Sabtu (9/10), mengatakan kekosongan hukum di Indonesia membuat kasus perbudakan terselubung ABK Indonesia di kapal asing terus berulang. Padahal, UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia memerintahkan pembuatan aturan khusus untuk perlindungan pekerja migran kelautan. Peraturan itu awalnya ditargetkan selesai pada 2019, tetapi sampai sekarang tak jelas rimbanya.
Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Benny Rhamdani mengakui, ada ego sektoral yang tidak kunjung usai dalam pembahasan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tersebut. Pengakuan Benny menambah bukti keruwetan tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migran di sektor kelautan. Padahal, BP2MI mengidentifikasi 80 persen persoalan bermula dari tata kelola yang tumpang tindih (Kompas, 22/9/2020).
Tumpang tindih itu terlihat dalam kewenangan penerbitan izin bagi perusahaan pengirim ABK Indonesia. Kementerian Perdagangan dan Dinas Perdagangan bisa mengeluarkan surat izin usaha perdagangan (SIUP) penempatan ABK oleh agen ABK. Kementerian Perhubungan bisa mengeluarkan surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK).
Adapun Kementerian Ketenagakerjaan bisa mengeluarkan surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (SIP3MI) kepada perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI). SIUP penempatan ABK, SIUPPAK, dan SIP3MI sama-sama bisa digunakan sebagai izin mengirim PMI kelautan.
”Kewenangan penerbitan izin bagi perusahaan pengirim ABK Indonesia itu seharusnya disatukan supaya tidak ada lempar tanggung jawab antara kementerian dan lembaga. Karena ini terkait inspeksi ketenagakerjaan, yang punya mandat adalah Kementerian Tenaga Kerja,” kata Wahyu.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah enggan berkomentar soal kasus kekerasan terhadap ABK di kapal perikanan China yang tidak kunjung teratasi. ”(Tanya) Isu lain saja, ya,” ucapnya saat ditemui di Minahasa Utara, Sulawesi Utara, seusai meresmikan program magang bidang pariwisata, Jumat (24/9).
Kalau Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 188, itu akan membantu usaha Indonesia mendorong negara lain untuk memberi perlindungan yang lebih baik bagi awak kapal perikanan
Namun, rapat koordinasi nasional perlindungan pekerja migran Indonesia sedang digelar di Bandung sejak pertengahan pekan ini. Abdi Suhufan, Koordinator DFW Indonesia yang menghadiri rapat tersebut, mengatakan RPP tersebut sudah hampir final.
”Izin bagi perusahaan perekrutan dan penempatan ABK ke luar negeri akan disatupintukan di Kemenaker, yaitu dalam bentuk SIP3MI. SIUPPAK dari Kemenhub tidak akan berlaku lagi,” kata Abdi tanpa menyebutkan kapan aturan itu akan mulai berlaku.
Selain dua hal di atas, Wahyu juga mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi Nomor 188 Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. ”Kalau Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 188, itu akan membantu usaha Indonesia mendorong negara lain untuk memberi perlindungan yang lebih baik bagi awak kapal perikanan," ucapnya.