Kenangan Berada 104 Meter di Bawah Permukaan Tanah
Saat-saat gondola memasuki bumi di kedalaman 104 meter terasa begitu lama. Setibanya, kesan pertama yang terasa adalah sunyi, gelap, dan dingin. Hanya dengus napas kami berdua yang terdengar bersama aliran air.
Seorang kawan di Yogyakarta berkelakar ”Dipindah ning Gunung Kidul maneh engko kowe… (dipindah ke Gunung Kidul lagi nanti kamu…),” ucapnya dalam sebuah percakapan melalui WhatsApp, Kamis (18/11/2021).
Saya pun merespons kata-kata itu dengan candaan pula, hingga akhirnya kami berbincang lebih jauh tentang beberapa hal terkait Gunung Kidul.
Sebenarnya, bukan hanya isi candaan itu yang mengingatkan saya pada salah satu kabupaten di Provinsi DI Yogyakarta itu, tetapi juga masalah lain. Salah satunya, guyuran hujan yang intensitasnya terus meninggi dalam beberapa pekan terakhir.
Hujan menjadi salah satu romantika di daerah eksotis itu.
Hujan menjadi salah satu romantika di daerah eksotis itu. Mengapa eksotis? karena kabupaten seluas 1.485 kilometer persegi itu memiliki deretan panorama pantai yang indah, kaya seni dan budaya, perangai penduduk yang ramah dan hangat, dan tentu saja kuliner khasnya yang enak dan sulit ditemui di daerah lain.
Stereotip tentang daerah kering pun seolah menjadi angin lalu saat kita merasakan langsung atmosfernya. Bahkan, yang terjadi kemudian, rasa kerasan yang terpatri dan enggan bergeser ke tempat lain. Saya pun sempat menjadi bagian dari ”keluarga” Desa Kepek, Kecamatan Wonosari, dengan memiliki KTP setempat.
Setidaknya, pengalaman itu yang saya rasakan selama satu tahun bertugas di sana. Saya menghirup udara Gunung Kidul sejak Maret 2005 sampai Maret 2006 sebelum akhirnya ditarik mengisi desk lain.
Kembali ke musim hujan. Anggapan orang bahwa hujan itu berkah ternyata diamini oleh warga Gunung Kidul. Hujan sangat dinantikan karena berdampak pada dunia pertanian dan kehidupan. Air hujan menyuburkan aneka tanaman yang mengais unsur hara dari lapisan tanah tipis di atas bebatuan karst.
Satu hal yang pasti, hujan menghentikan pengeluaran warga untuk membeli air bersih yang dilakukan selama musim kemarau. Saat itu, warga harus merogoh isi kantong Rp 100.000-Rp 120.000, bergantung pada jarak rumah dengan lokasi sumur, untuk mendapatkan satu tangki air bersih berkapasitas 5.000 liter.
Sejumlah upaya ditempuh oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan perguruan tinggi dan pihak donor dari luar negeri guna memenuhi kebutuhan air masyarakat.
Baca juga: Singgah di Warung Legendaris Mbah Dawet Gunung Kidul
Gunung Kidul sebenarnya memiliki sumber air melimpah, tetapi butuh teknologi untuk mengangkatnya karena air itu berada di sungai-sungai dan rongga di bawah tanah.
Sementara itu, kemampuan perusahaan air minum daerah kala itu masih terbatas. PDAM belum bisa beroperasi optimal. Sebagian besar baru untuk memenuhi kebutuhan warga di Kota Wonosari dan sekitarnya.
Hingga awal 2006, PDAM Gunung Kidul hanya beroperasi selama enam jam dan bukan kontinu 24 jam. Tingginya biaya operasional yang dianggap tidak sebanding dengan harga jual ke konsumen menjadi salah satu kendala.
Baca juga: Tanyakan pada Petir yang Menyambar
Akibatnya, saat itu berkembang pemeo di masyarakat setempat: jaringan perpipaan di Gunung Kidul memang mencapai ratusan kilometer, tetapi isinya angin, bukan air.
Untuk memenuhi kebutuhan air, tidak hanya dilakukan dengan pemberian bantuan (dropping) air bersih, tetapi juga pencarian sumber air baru. Salah satunya dengan membendung air sungai bawah tanah di Goa Bribin. Lalu airnya dinaikkan ke permukaan tanah sebagaimana dilakukan dalam proyek Bribin II.
Tahun 2006, dilakukan proyek pembuatan terowongan vertikal sedalam 104 meter yang menembus karst. Lokasinya di Dusun Sindon, Desa Dadapayu, Kecamatan Semanu. Upaya pengangkatan air ini didanai oleh pemerintah Indonesia dan Jerman.
Baca juga: Tak Kunjung Hujan, Warga Gali Sungai Kering di Gunung Kidul
Tentu saja, pembangunan proyek yang disebut Proyek Bribin II ini membutuhkan teknologi canggih. Proyek ini pun disebut-sebut sebagai proyek pertama di dunia untuk pembangunan bendungan sungai bawah tanah yang berada di perbukitan karst.
Selain membuat teknis bendungan, tim juga harus bersusah payah menyingkirkan bebatuan yang runtuh akibat gempa Mei 2006 dan menutup aliran sungai dengan dinamit.
Sebagai reporter, saya pun tidak puas hanya melihat apa yang tengah dikerjakan dari atas permukaan tanah. Bisa masuk ke lokasi proyek, pada masa-masa awal kegiatan, sebenarnya sudah beruntung karena tempat itu merupakan kawasan terbatas.
Baca juga: ”Kiamat Mini” di Ladang Jagung
Kalau tidak ada petugas internal proyek yang mengizinkan masuk, paling-paling awak media hanya bisa mengabadikan gambar dari atas bukit, yakni di pintu masuk area proyek yang dikelilingi hutan jati. Kita tidak bisa memaksa masuk karena kesibukan yang tengah berlangsung di tempat itu.
Bersama rekan media lain, saya beberapa kali meliput persiapan dan pelaksanaan proyek. Namun, suatu hari, saya tergerak datang ke Bribin seorang diri dengan maksud siapa tahu ada informasi terbaru yang bisa dikorek terkait perkembangan proyek pembangunannya.
Beruntung, di lokasi ada seorang wakil dari Universitas Karlsruhe, Jerman. Dia kemudian menawarkan kesempatan kepada saya untuk masuk ke dalam tanah, melihat kondisi sungai yang berada 104 meter di bawah posisi kami berdiri. Tanpa pikir panjang, ajakan itu saya sanggupi. Saya pun disebut-sebut sebagai awak media pertama yang masuk ke tempat itu.
Karena baru pertama kali, rasa gugup tentu ada. Maklum sejauh ini belum ada bayangan seperti apa kondisinya. Semua masih misteri dan samar hanya berdasarkan cerita semata. Ruang goa di dalam tanah tentu berbeda dengan di permukaan tanah.
Apalagi, alat untuk turun menggunakan elevator (gondola), semacam lift sederhana yang lebih mirip keranjang. Gondola tergantung pada sebuah crane dengan kabel sling baja yang diturunkan secara perlahan.
Karena ditemani, saya pun lebih berani. Begitu badan masuk ke gondola, pintu segera ditutup secara manual. Setelah itu, kami diturunkan perlahan. Cahaya matahari di permukaan tanah perlahan menghilang, berubah menjadi gelap seiring posisi gondola yang semakin turun.
Baca juga: Menjadi ”Anjing Penjaga” di Tengah Pusaran Politik
Saat-saat gondola turun terasa begitu lama. Mungkin karena tidak terbiasa atau takut sehingga perjalanan seolah tak kunjung usai. Hingga akhirnya posisi gondola terhenti di pinggir sungai.
Kesan pertama yang terasa adalah sunyi, gelap, dan dingin. Hanya dengus napas kami berdua yang terdengar bersama aliran air. Suasana di dalam ruangan yang gelap tidak memungkinkan bagi saya melihat situasi sekeliling secara leluasa, termasuk seberapa dalam sungai di hadapan.
Sejumlah pertanyaan pun menyergap. Salah satunya tentang penghuni sungai, mulai dari jenis ikan apa saja yang ada di tempat itu hingga kemungkinan adanya reptil di dalamnya. Keseringan nonton film fiksi atau dokumenter tentang kehidupan alam liar, ternyata memengaruhi alam bawah sadar saya.
Kesan pertama yang terasa adalah sunyi, gelap, dan dingin.
Sementara itu, wakil dari Universitas Karlsruhe berusaha menjelaskan hal-hal seputar teknis. Dia juga menunjukkan bagaimana aktivitas pekerja di sisi hulu yang saat itu terlihat samar-samar dari posisi saya berdiri. Barulah saya tahu bahwa di ruangan itu kami tidak sendirian.
Setelah beberapa kali mengabadikan suasana di dalam goa, saya pun mengajak ”tuan rumah” untuk kembali ke permukaan tanah. Beberapa menit kemudian, saya sudah kembali menginjakkan kaki di atas bumi. Lega rasanya.
Sampai saat saya meninggalkan Gunung Kidul, pengerjaan proyek Bribin masih terus berlangsung. Uji coba pengangkatan air berhasil dilakukan Juli 2008 dan diresmikan oleh pemerintah pada Maret 2010. Proyek Bribin II pun berhasil mengangkut air dengan debit maksimum 80 liter per detik.