Tes PCR Enam Kali demi Liputan Dubai Expo
Pengalaman liputan Dubai Expo 2020 harus ditebus dengan enam kali tes PCR. Tidak boleh salah dalam mengambil waktu tes hingga deg-degan menunggu hasil, menjadi bagian dari ”drama” perjalanan Jakarta-Dubai dan sebaliknya.
Dipercaya liputan ke luar negeri oleh kantor adalah kebahagiaan tiada tara bagi wartawan, setidaknya itu yang saya rasakan. Bagaimana tidak, sudah jalan-jalan ke luar negeri dibayari alias gratis, pulang-pulang dapat uang dinas dari kantor pula!
Belum lagi pengalaman tak ternilai harganya, yakni bisa tinggal sejenak di negeri orang dan merasakan denyut kehidupan di sana. Ah, asyiknya! Tapi ceritanya jadi berbeda ketika penugasan liputan ke luar negeri dilakoni saat pandemi.
Pada 1-8 November 2021, penulis berkesempatan meliput Dubai Expo 2020 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA). Kebetulan, penulis adalah orang kedua di harian Kompas yang ditugaskan liputan ke luar negeri saat pandemi.
Bagaimana tidak, sudah jalan-jalan ke luar negeri dibayari alias gratis, pulang-pulang dapat uang dinas dari kantor pula!
Sejak Maret 2021 ketika pandemi mulai merebak, liputan ke luar negeri ditiadakan. Baru ada lagi pertengahan 2021, yakni liputan Olimpiade Tokyo yang dilakukan senior saya, Mas ANG, dari Desk Olahraga.
Tentu bukan perkara mudah bagi perusahaan media untuk memutuskan mengirim wartawannya ke luar negeri kala pandemi. Sebab, risiko kesehatan masih mengintai setiap saat bukan?
Tulisan ini bukan bermaksud menyombong, apalagi mengeluh. Melainkan untuk berbagi cerita bagaimana liputan ke luar negeri kala pandemi itu sungguh berbeda dari sebelum pandemi. Barangkali bermanfaat untuk pembaca.
Suatu pagi di akhir September 2021, saya baru saja selesai sarapan dan beres-beres rumah. Lalu bergegas mandi untuk siap-siap kerja. Walaupun liputan hari itu hanya akan nongkrong di depan laptop untuk webinar, saya merasa harus tetap segar dan rapi.
Mandi bikin badan segar, kepala juga ikutan segar. Jadi merasa lebih siap untuk liputan. Lagi pula, siapa tahu saya harus buka kamera Zoom untuk bertanya atau berinteraksi dengan narasumber.
Nah, pagi itu ada yang berbeda. Saat siap-siap hendak masuk ruang Zoom, tiba-tiba masuk pesan dari sekretaris redaksi ke ponsel. Isinya bikin hati deg-degan sekaligus senang luar biasa.
”BKY, kamu sudah diberitahukan kalau dapat penugasan DLN acara Dubai Expo 2020 ke Dubai 1-8 November?” tanya Mbak Kunti, sekretaris Redaksi Kompas. BKY itu inisial saya dan DLN itu dinas luar negeri.
Seketika saya semringah sekali. Sangat senang tentunya bisa ke luar negeri. Saking senangnya, sekejap lupa bahwa masih pandemi. Yang terbayang hanya asyiknya jalan-jalan dan dapat uang jajan dari kantor, he-he-he. Persiapan keberangkatan dan kepulangan yang bikin tegang dan deg-degan, tidak saya duga sama sekali.
Saya lalu berkomunikasi dengan pihak pengundang yang bertugas mendampingi keberangkatan wartawan dari Jakarta ke Dubai. Saya pun mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan.
Selain fotokopi KTP dan paspor, saya pun diminta menyerahkan sertifikat bukti telah dua kali vaksin. Untung sejak Maret saya sudah genap dua kali vaksin. Setelah dokumen lengkap, tahapan berikutnya yang harus saya lakukan adalah tes PCR. Di sinilah ketegangan dimulai.
Baca juga : Meliput Bencana Semeru, Membaca Pertanda di Lapangan
Drama pertama
Pesawat kami berangkat Senin (1/11/2021) pukul 00.15 dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Artinya, saya harus sudah di bandara sejak Minggu (31/10/2021) sore. Nah, karena tiap penumpang wajib melampirkan hasil tes PCR negatif, saya harus tes PCR Sabtu 30 Oktober, mengingat keluarnya hasil tes butuh sekitar satu hari.
Awalnya, saya berniat tes PCR pada Sabtu pagi atau siang saja agar tidak terburu-buru besoknya. Tapi kata pihak bandara kala itu, hasil tes tidak boleh lebih dari 1 x 24 jam.
Jadi kalau saya tes, katakanlah Sabtu jam 12 siang, hasil tesnya hanya berlaku hingga Minggu jam 12 siang. Padahal penerbangan saya tengah malam. Akibatnya, hasil tes saya jadi tidak berlaku lagi karena lebih dari 1 x 24 jam.
Kalau tes PCR Minggu pagi, saya takut hasilnya tidak kunjung keluar. Padahal, sore harinya saya harus berangkat ke bandara. Alhasil, saya tes pada Sabtu malam. Walau sambil bersungut-sungut, saya pun melakoninya.
Saya tes sekitar pukul 21.00 agar hasilnya bisa keluar Minggu sore dan baru kadaluwarsa 24 jam setelah tes atau Minggu pukul 21.00. Perhitungan saya, jam segitu saya sudah masuk ruang keberangkatan di bandara sehingga tidak akan jadi masalah. Itulah tes PCR saya yang pertama dalam perjalanan ini.
Tapi rupanya hingga Minggu sore, hasil tes PCR tak kunjung keluar. Waktu pun terus berjalan. Padahal, saya harus segera ke bandara. Belum lagi kalau ternyata hasil tesnya positif. Batal deh pergi ke Dubai.
Baca juga : Kenangan Berada 104 Meter di Bawah Permukaan Tanah
Badan saya sih sehat-sehat saja dan sudah dua kali vaksin. Tapi siapa yang tahu bahwa kemudian hasil tes PCR malah positif. Kondisi itu membuat saya gelisah setengah mati menanti hasil tes. Deg-degan rasanya.
Baru sekitar pukul 18.30, hasil tesnya dirilis dan saya negatif. Ah lega. Tapi ternyata tes PCR saja tak cukup. Kesimpangsiuran informasi dan kerap berubahnya aturan persyaratan perjalanan membuat pendamping perjalanan kami tak mau ambil risiko.
Dia meminta kami tes antigen juga. Untung saja di bandara ada tempat khusus untuk tes antigen. Tak lama hasilnya keluar dan negatif. Barulah kami bisa mengurus check in dan boarding pass.
Rupanya saat hendak naik pesawat, petugas mengatakan tidak perlu menyerahkan hasil tes antigen. Agak kesal juga jadinya. Tahu begitu kan tidak usah tes antigen. Tapi ya, namanya juga antisipasi.
Selama di pesawat, masker wajib terus dikenakan. Hanya boleh dibuka saat hendak makan atau minum saja. Beberapa kali saya lihat awak kabin menegur penumpang yang tidak mengenakan maskernya.
Kursi penumpang tidak dibuat berjarak. Tapi karena pesawat itu tidak penuh, banyak penumpang memilih duduk berjarak dengan mengosongkan satu kursi di sebelahnya. Awak kabin tidak mempersoalkan hal itu.
Baca juga : Tanyakan pada Petir yang Menyambar
Jarak Jakarta-Dubai sejauh 4.000 kilometer ditempuh selama delapan jam. Tiba di sana pukul 05.00 GST (Gulf Standard Time) atau pukul 08.00 WIB. Kembali kami harus menjalani tes PCR. Hidung dan mulut pun kembali dicolok.
Namun, ada sesuatu yang membuat saya merasa diperlakukan diskriminatif. Saat itu, secara bersamaan datang pesawat dari Narita, Jepang. Penumpang dari Narita diperbolehkan langsung keluar bandara tanpa tes PCR. Sementara penumpang dari Jakarta harus tes PCR dulu. Entah apa pertimbangannya karena tidak ada penjelasan.
Setelah PCR, kami diperbolehkan keluar dari bandara dan langsung menuju hotel. Padahal hasil tes belum keluar. Setiba di hotel, petugas tidak meminta hasil tes PCR di bandara, tetapi hanya berpesan agar kami memberi kabar apabila hasil tes menyatakan positif Covid-19. Setiap penumpang akan mendapat pemberitahuan hasil tes via SMS.
Masa menantikan kabar ini kembali bikin deg-degan. Rebahan di kamar hotel pun jadi tak tenang. Membayangkan betapa repot dan mahalnya biaya pengobatan di negeri orang kalau ternyata dinyatakan positif Covid-19.
Setelah empat jam menunggu dengan harap-harap cemas, hasil tes keluar. Untungnya negatif. Akhirnya, selesai sudah babak perjalanan dari Jakarta menuju Dubai. Masih ada babak berikutnya.
Baca juga : ”Kiamat Mini” di Ladang Jagung
Superlatif
Apabila saya diminta menyebutkan satu kata yang menggambarkan Dubai, jawaban saya adalah superlatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) superlatif berarti tingkat perbandingan teratas (bentuk kata yang menyatakan paling, yaitu ter-).
Kenapa? Karena di Dubai banyak hal yang ter- di dunia. Contoh, di Dubai ada gedung tertinggi di dunia, yaitu Burj Khalifa setinggi 828 meter. Selain itu, ada Burj Al Arab, satu-satunya hotel bintang 7 di dunia.
Dubai juga memiliki sebuah mal yang saking besarnya sampai ada arena luncur saljunya bak di pegunungan negara empat musim. Demikianlah manifestasi warga iklim gurun yang ingin menikmati serunya main salju. Selain itu, Dubai juga memiliki Palm Island, sebuah pulau reklamasi yang dibuat dengan desain berbentuk pohon palem.
Jalan raya di Dubai lebar-lebar. Satu jalur bisa terdiri dari lima hingga enam lajur. Mobil-mobil yang melintas adalah jenis mobil yang sebelumnya lebih banyak saya lihat di televisi atau film. Sebut saja jenama mewah macam Bugatti, McLaren, Dodge, Tesla, Aston Martin, Porsche, dan sebangsanya.
Kehidupan di Dubai semakin berdenyut di sore hari. Pada pagi dan siang hari, kota Dubai cenderung sepi. Ini dikarenakan suhu udara siang hari yang begitu panas menyengat. Warga pun lebih memilih beraktivitas di dalam ruangan. Mereka menyukai kegiatan pada sore hingga malam, bahkan dini hari, karena udara lebih sejuk.
Selama saya di sana, suhu udara berkisar 30-36 derajat celsius. Keluar ruangan sebentar saja, keringat langsung membanjir. Tidak boleh sampai lupa membawa air minum kalau tidak ingin merasa kehausan setengah mati.
Baca juga : Menjadi ”Anjing Penjaga” di Tengah Pusaran Politik
Di Jakarta, saat suhu 32 derajat saja, kita sudah menjerit gerah. Kata warga Dubai, suhu segitu termasuk sejuk. Saat terik-teriknya, suhu udara di sana bisa mencapai lebih dari 50 derajat celsius. Tidak kebayang seperti apa rasanya beraktivitas di suhu demikian.
Suasana di Dubai seperti sudah tidak ada pandemi. Pusat-pusat perbelanjaan dan pasar dipadati pengunjung. UEA termasuk negara yang hampir seluruh warganya sudah tuntas memperoleh vaksin. Maklum jumlah warganya hanya sekitar 10 juta atau 1/27 jumlah penduduk Indonesia. Hanya saja, warga masih diwajibkan mengenakan masker.
Selama di Dubai, saya lebih banyak menghabiskan waktu di tempat liputan, yaitu Dubai Expo 2020. Digelar selama enam bulan mulai 1 Oktober 2021 sampai 31 Maret 2022, acara ini diikuti 192 negara dari benua Eropa, Amerika, Asia, hingga Afrika.
Setiap negara membuat paviliun untuk menampilkan keanekaragaman budaya negaranya. Total luas pameran 1.080 hektar atau 4,37 juta meter persegi atau setara dengan 24 kali lipat lebih luas arena Pekan Raya Jakarta.
Saat itu, Presiden Joko Widodo dijadwalkan mengunjungi Paviliun Indonesia pada 4 November. Agar dapat meliput, Paspampres mengharuskan semua undangan, termasuk wartawan memberikan hasil negatif tes PCR. Jadilah saya tes PCR untuk ketiga kalinya.
Kembali rasa khawatir menyergap. Memang sejauh ini saya merasa sehat-sehat saja, tapi siapa yang tahu bahwa ternyata hasil tes positif. Untungnya hasil tes negatif.
Saya tidak akan bercerita lebih banyak soal bagaimana liputan saya. Pembaca bisa langsung membaca hasil liputan yang sudah terbit di bawah ini.
- Pentas National Day, Puncak Indonesia di Dubai Expo 2020
- Indonesia Promosi ”Spice Up the World” di Ajang Pameran Dubai
- Indonesia Tampilkan Keberagaman Budaya di National Day Dubai Expo 2020
- Indonesia Cetak Kesepakatan Investasi Baru
- Investor Uni Emirate Arab Lirik Ekonomi Digital Indonesia
- Pemda Tawarkan Investasi di Dubai Expo
- Magnet Nasi Padang dan Komodo
Karantina mandiri
Sebelum berangkat ke Dubai, kami diberi tahu bahwa sepulang dari Dubai, kami harus menjalani karantina mandiri 5-7 hari. Namun, pada hari kesekian di Dubai, saya memperoleh kabar dari Indonesia bahwa jumlah hari karantina mandiri berkurang menjadi tiga hari. Wah lumayan juga nih, batin saya. Soalnya bosan juga hanya beraktivitas terbatas di kamar hotel selama berhari-hari.
Waktu berlalu, tibalah kami bersiap kembali ke Jakarta. Seperti halnya saat keberangkatan dari Jakarta, lagi-lagi kami harus tes PCR. Ternyata aturan di Dubai lebih longgar.
Batas kadaluwarsa tes PCR 3 x 24 jam, tidak semepet di Jakarta yang 1 x 24 jam. Kami tes PCR di arena Dubai Expo 2020. Itulah tes PCR keempat selama perjalanan ini.
Penerbangan pulang dijadwalkan Senin 8 November pukul 05.00 GST atau pukul 08.00 WIB. Artinya, kami sudah harus di bandara sejak Minggu 7 November tengah malam. Persiapan pun dilakukan sambil terkantuk-kantuk.
Setelah penerbangan 8 jam, kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 16.00 WIB. Badan saat itu terasa lelah sekali. Bagaimana tidak, kami ibaratnya ”begadang” semalaman. ”Tidur ayam” di pesawat yang sebentar-sebentar bangun tak mampu menuntaskan kantuk.
Terbayang sudah empuknya kasur di rumah untuk rebahan melepas lelah. Sayangnya, kami tidak bisa langsung pulang karena harus karantina mandiri selama 3 hari di hotel. Pihak pengundang memesankan hotel tak jauh dari bandara.
Harapan untuk segera beristirahat di hotel pun pupus. Setelah mendarat, kami masih harus mengantre untuk tes PCR bersama ratusan penumpang lainnya.
Pengaturan barisan antrean yang tidak tertib dan saling serobot, langsung terasa kontrasnya dengan pengaturan yang tertib di Dubai. Bikin naik darah saja, apalagi badan terasa lelah.
Setelah sekian lama mengantre, akhirnya tiba juga giliran saya. Inilah tes PCR kelima selama perjalanan.
Seusai tes, barulah kami bisa menuju bagian pemeriksaan paspor dan pengambilan bagasi. Kami pikir, ini adalah babak akhir perjalanan dan setelahnya bisa segera menuju hotel untuk beristirahat. Rupanya belum.
Kami tidak diperbolehkan pergi ke hotel sebelum hasil tes PCR keluar dan dinyatakan negatif. Maka, saya bersama ratusan atau mungkin ribuan penumpang pesawat rute internasional lainnya bersama-sama menunggu di area kedatangan Terminal 3.
Suasana padat sekali. Saya hanya bisa pasrah kalau kemudian malah tertular Covid-19. Sebab, ada ratusan orang, termasuk warga asing yang entah dari mana asalnya dan mungkin saja membawa virus korona. Apalagi kondisi fisik saya lelah dan tidak prima setelah begadang menanti penerbangan yang panjang.
Setelah dua jam menanti, hasil tes PCR pun keluar. Syukurlah tetap negatif. Barulah kami diantar ke hotel.
Selama karantina mandiri, kami tidak diperkenankan keluar kamar sedikit pun. Ke lobi saja tidak boleh. Pihak hotel yang akan melayani sarapan, makan siang, dan makan malam dengan mengantarkannya langsung ke kamar.
Akan tetapi, karantina yang saya bayangkan akan sangat membosankan ternyata tidak seburuk itu. Sebab, saya jadi punya kesempatan untuk membayar utang tidur. Bangun hanya untuk makan dan mandi. Lalu tidur lagi.
Hari kedua karantina mandiri, ada kemurahan hati dari redaktur yang memberi saya libur agar bisa beristirahat hari itu. Jadilah seharian saya hanya tiduran.
Saat bangun, saya memutar serial televisi dari layanan berbayar penyedia film di komputer pangku. Saya sampai bisa menghabiskan seluruh episode sambil sesekali tertidur.
Saat itu, kembali kami diinformasikan untuk tes PCR sebagai syarat pulang. Tes dilakukan pukul 04.00 dengan hasil dijanjikan keluar 6 jam kemudian.
Para petugas kesehatan mendatangi kamar satu per satu untuk tes. Dini hari itu, saat pulas-pulasnya tidur, kamar saya digedor untuk tes PCR. Belum penuh nyawa dan kesadaran saya, hidung dan mulut kembali dicolok.
Genap sudah, enam kali saya tes PCR dalam rentang waktu 12 hari. Sungguh rekor bagi saya, mengalami tes PCR sebanyak itu dalam rentang waktu yang singkat.
Dini hari itu, saat pulas-pulasnya tidur, kamar saya digedor untuk tes PCR.
Pagi itu, saya sudah diminta masuk kerja dan membuat berita. Saya pun bersiasat untuk cepat-cepat menyelesaikan berita karena masih akan direpotkan dengan menunggu hasil tes PCR dan berbagai pengurusan administrasi lainnya.
Waktu berlalu, hasil tes keluar pukul 11.00. Syukurlah hasilnya negatif. Saya langsung berkemas dan bersiap pulang ke rumah.
Sungguh pengalaman yang menarik dan tak terlupakan bisa ke luar negeri saat pandemi. Saya bersyukur dari awal hingga akhir perjalanan, tetap diberi kesehatan dan semua tugas liputan bisa terselesaikan dengan baik.