”Kiamat Mini” di Ladang Jagung
Saya panik luar biasa. Badan terasa panas. Ini situasi darurat. Saya melihat sekeliling untuk mencari toilet. ”Tunggu…. Mana ada kamar mandi di ladang jagung???” teriak saya dalam hati.
Sebagai masyarakat yang masih senang seremoni, kebanyakan akan merasa kurang afdal jika program atau proyeknya tidak diresmikan oleh pejabat lewat acara yang sarat formalitas. Rupanya, gayung bersambut karena kebanyakan pejabat dari pusat hingga daerah, menggemari podium seremoni dan sorotan kamera.
Seremoni dan pejabat publik pun menjadi dwitunggal. Keduanya saling memberi makna eksistensial satu sama lain. Lewat acara seremonial, instansi dan masyarakat seakan mendapat rekognisi dan restu, sedangkan pejabat mendapatkan panggung untuk mengklaim kinerja mereka.
Itulah sebabnya kita rela menggelontorkan puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk menggelar acara peluncuran program yang durasinya hanya setengah jam.
Seremoni dan pejabat publik pun menjadi dwitunggal. Keduanya saling memberi makna eksistensial satu sama lain.
Kita juga tak segan membuang waktu berjam-jam demi menonton pejabat terkait memperagakan gestur performatif, seperti memotong pita peresmian gedung baru atau memukul gong peluncuran produk kredit usaha rakyat.
Saya yakin, mereka yang bekerja di instansi pemerintahan atau badan usaha milik negara (BUMN), sudah kenyang dengan acara-acara semacam itu. Kalau dipikir, berapa banyak waktu, biaya, dan tenaga dapat dihemat tanpa upacara-upacara itu.
Sebagai wartawan, sebenarnya saya malas meliput acara seremonial yang lebih sering minim substansi dan dipenuhi jargon-jargon superfisial. Yang bikin saya semakin enggan adalah kebiasaan pejabat yang datang terlambat alias ngaret. Tidak jarang sampai lebih dari satu jam.
Panen jagung hibrida
Salah satu pengalaman terkait budaya ngaret ini begitu ”berkesan” saya rasakan. Hari itu, Jumat, 11 Desember 2020, saya menuju Desa Leleko di Remboken, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, sekitar 40 kilometer dari pusat Kota Manado.
Gubernur Sulut Olly Dondokambey dijadwalkan menghadiri panen perdana jagung hibrida varietas JH37 bersama para petani di sana. Desa Leleko di lingkar Danau Tondano adalah salah satu lokasi pengembangan bibit JH37.
Desa ini diproyeksikan menjadi pemasok utama jagung bagi wilayah timur Indonesia. Di sana, empat kelompok tani menggarap 150 hektar lahan dengan produktivitas 6,8 ton per hektar, terbesar di Indonesia.
Acara terjadwal pukul 09.00 Wita, tetapi ketika saya tiba di sana pukul 09.50 Wita, acara belum dimulai juga. Tepat seperti rumus n + 1 jam yang saya ciptakan. Karena belum dimulai, saya punya banyak waktu untuk menyusuri jalan setapak berlumpur sepanjang 300 meter menuju tenda di tengah ladang tempat acara digelar.
Di sana telah tersedia kursi panjang empuk yang cukup pantas diduduki gubernur. Sebuah mimbar diletakkan membelakangi sepetak lahan berisi barisan batang jagung yang daunnya telah dipangkas. Tongkol-tongkol jagung yang tersisa di pucuk pun telah dikupas, memperlihatkan pipilannya yang berwarna kuning dan oranye.
Di antara barisan pohon jagung, tertancap tiang-tiang bambu pendek yang menjadi penanda di mana masing-masing pejabat akan mematahkan tongkol jagung sebagai seremonial.
Baca juga : Menjadi ”Anjing Penjaga” di Tengah Pusaran Politik
Para pejabat yang diundang berasal dari Pemprov Sulut, Pemkab Minahasa, Kementerian Pertanian, hingga Bupati Tanah Laut (Kalimantan Selatan) yang sedang studi banding.
Cukup mudah untuk membayangkan susunan acara. Mula-mula satu per satu pejabat akan menyampaikan kata sambutan penuh formalitas. Kemudian acara akan dilanjutkan dengan mencabut tongkol jagung secara serempak. Rangkaian kegiatan akan ditutup dengan foto bersama.
Meski hampir semua tamu kehormatan sudah datang, panen perdana belum juga dimulai karena Gubenur Olly dan wakilnya, Steven Kandouw, belum hadir. Tak ada pilihan selain menunggu di bawah langit yang mendung dan gerimis.
Baca juga : ”Abang Jago” Membuat Saya Mempertanyakan Pilihan Hidup
Tiba-tiba, hujan deras turun diiringi angin kencang. Puluhan bahkan mungkin ratusan petani dan warga yang sedang menanti kehadiran gubernur, berhamburan mencari tempat berteduh. Pilihannya hanya dua, tenda acara atau gubuk kayu kecil di tengah ladang.
Para hadirin pun terpaksa berdempetan di dua tempat itu sambil menahan dinginnya udara dataran tinggi Minahasa. Imbauan social distancing dengan terpaksa diabaikan. Tidak ada yang mau masuk angin sebelum acara dimulai gara-gara basah kuyup. Soal Covid-19, berharap saja yang terbaik.
Satu jam berlalu. Hujan beberapa kali reda, deras, lalu reda lagi. Namun, yang dinantikan tak kunjung tiba. Hangat sinar matahari sempat menyeruak di sela-sela mendung dan hujan. Sungguh dua jam yang menyiksa, tetapi sayang tetap saja tak ada pertanda.
Baca jug a: Yang Saya Petik dari Papua
Di titik itu, Direktur Perbenihan Kementan M Takdir Mulyadi bangkit lalu naik ke mimbar untuk menyampaikan sambutan. Ia meminta maaf karena harus segera berpamitan agar tidak tertinggal penerbangan ke Jakarta.
Uniknya, warga dan para pejabat lain tetap bersedia terus menunggu. Saya sendiri sebenarnya sudah lelah dan kesal. Apa jagung itu bakal tidak bisa dipanen atau berubah jadi batu kalau belum dijamah gubernur?
Rasanya tidak percaya saat saya tengok jam tangan yang menunjukkan pukul 13.40 Wita. Sudah hampir empat jam waktu terbuang begitu saja hanya demi menyaksikan pejabat mematahkan tongkol jagung dari batangnya.
Ini gila, tetapi itulah hidup dengan berbagai dilemanya. Saya justru akan lebih rugi kalau memutuskan pulang tanpa mendapat berita sebagai kewajiban harian. Apalagi, jarak ke Manado tidak dekat. Waktu yang dihabiskan untuk menunggu pun tidak akan kembali.
Mendekati pukul 14.00 Wita, seseorang datang ke lokasi untuk mengambil sepasang sepatu bot dan caping. Dari perawakannya, sudah ketahuan dia ajudan pejabat.
Rupanya yang dinanti-nanti pun akhirnya tiba, Wagub Sulut Steven Kandouw. Dapat dipastikan, siang itu jagung bakal dipanen dengan penuh keberkahan dari yang empunya restu.
Baca juga : Kabut Pagi di Punthuk Setumbu
Namun, justru pada detik kelegaan, ”kiamat mini” menghampiri saya. Perut saya mendadak bergejolak, nyeri dilumat kontraksi hebat. Sesuatu di ujung sana menjerit minta dilepaskan tanpa boleh ditunda. Aduh, gawat. Alam sedang memanggil dan titahnya harus dituruti detik itu juga.
Saya panik luar biasa. Badan terasa panas. Ini situasi darurat. Saya melihat sekeliling untuk mencari toilet. ”Tunggu…. Mana ada kamar mandi di ladang jagung???” teriak saya dalam hati.
Saya bukan bocah pencinta alam, tetapi saat itu insting survival saya terasa sangat kuat. Kebetulan ladang jagung itu berbukit-bukit. Saya pun mendaki ke area hamparan yang agak tinggi dan sepi, tidak terlalu jauh dari tenda tempat acara. Segera saya terobos lebatnya barisan batang jagung nan tinggi diiringi umpatan di setiap langkah.
Baca juga : Terkesima Xanana Gusmao nan Flamboyan
Setelah cukup jauh dan aman di dalam kerapatan, saya berjongkok. Saya pun memenuhi panggilan alam, sambil terus berdoa tidak ada drone yang melayang di atas kepala saya.
Sebelum pergi, tak lupa saya berterima kasih dan meminta maaf, kalau-kalau di kemudian hari ada yang dirugikan oleh tindakan saya ini.
Singkat cerita, acara berlangsung cepat. Dalam sambutannya selama 10 menit, Wagub tak memberikan penjelasan ihwal keterlambatannya yang sampai lima jam dari jadwal sesungguhnya, 09.00 Wita. Apakah memang ada miskomunikasi? Atau saya yang tidak mendengar? Entahlah.
Baca juga : Emosi Publik Bulu Tangkis yang Tak Lagi Sehangat Dulu
Seandainya Wagub datang tepat waktu, atau setidaknya hanya terlambat sejam, betapa banyak waktu masyarakat yang dapat digunakan untuk hal lain. Tak perlu juga mereka berdempet-dempetan untuk berteduh di bawah bayang-bayang ancaman penularan Covid-19.
Saya pun bisa saja selesai kerja lebih cepat hari itu, dan yang tak kalah penting, memenuhi panggilan alam di tempat yang semestinya. Namun, hari itu, tak ada yang lebih penting ketimbang terpenuhinya hasrat para petani Desa Leleko untuk melihat orang nomor satu atau dua di Sulut mematahkan tongkol jagung dari benih-benih yang mereka tanam.
Pengakuan
Derajad Widhyarto, pengajar Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada, menyebut kultur seremonial Indonesia berakar pada kebutuhan bangsa kita akan pengakuan sosial.
Kebutuhan itu muncul dari ingatan kolektif bangsa yang secara historis melewati berbagai perjuangan untuk mengubah nasib dari menderita menjadi sejahtera. Salah satunya upaya bebas dari penjajahan.
Di masa sekarang, acara-acara seremonial adalah cara mendapatkan pengakuan itu. ”Misalnya, seremoni saat panen raya adalah bentuk rekognisi terhadap usaha dan kerja keras petani. Kalau mereka pernah mendapat bantuan dari bupati, mereka akan mengundangnya sebagai bentuk pengakuan juga,” kata Derajad.
Ketika seorang pejabat pemerintahan menghadiri sebuah acara, baik yang diadakan instansi publik maupun masyarakat, besar kemungkinan akan menarik liputan media. Tak heran jika acara seremonial kemudian menjadi alat yang sempurna bagi pejabat dan masyarakat untuk mendapatkan pengakuan akan hal-hal yang mereka nilai sebagai keberhasilan.
Menurut Derajad, tidak berarti wartawan sekadar diperalat menjadi corong untuk menyebarluaskan keberhasilan pemerintah ataupun suatu komunitas. Justru berkat acara seremonial, wartawan tak perlu pusing mencari berita. ”Hubungan yang terbentuk (antara wartawan dan acara seremonial) lebih menunjukkan mutualisme,” katanya.
Memang, acara seremonial adalah sumber berita instan yang bahannya tersedia di depan mata. Tidak perlu pusing cari topik dan narasumber, tinggal ”menadah ludah” pejabat sekalipun kata-katanya kerap minim substansi.
Baca juga : Begini Rasanya Jadi ”Debt Collector”
Acara-acara seremonial juga kerap kali menyelamatkan wartawan yang bekerja dengan tuntutan harian. Lebih-lebih kami diminta untuk lebih sering mengirim berita sepagi mungkin, sebelum pukul 12.00. Sayangnya, pada jam-jam itu, jangankan hasil wawancara dengan narasumber, ide liputan saja sering belum saya dapat.
Di sisi lain, saya sadar, ketergantungan terhadap acara seremonial bisa bikin ”manja” dan tidak kritis karena terbiasa disuguhi bahan tanpa ikhtiar mencari. Tak jarang saya melewatkan hal-hal yang sebenarnya lebih penting bagi kepentingan publik ketimbang capaian yang dikoar-koarkan para elite.
Di sisi lain, saya sadar, ketergantungan terhadap acara seremonial bisa bikin ”manja” dan tidak kritis karena terbiasa disuguhi bahan tanpa ikhtiar mencari.
Karena itu, setiap kali pusing mencari bahan liputan dan tergoda berburu acara seremonial, saya tinggal mengingat-ingat pengalaman di ladang jagung Desa Leleko.
Akan lebih bermanfaat empat jam digunakan untuk berpikir dan mencari bahan liputan ketimbang empat jam untuk melongo menunggu pejabat. Karena jangan-jangan, saat itulah kiamat mini bakal datang lagi.