Arya bimbang. Ia masih belum memutuskan, apakah langsung menerima tawaran Mirna, salah satu murid menulisnya, atau menolak mentah-mentah? Belum lama ini, Arya yang telah lama berprofesi sebagai pengarang, membuka kelas menulis online berbayar. Di luar dugaan ternyata banyak orang berminat mengikuti kelas menulisnya. Sebagai percobaan, Arya membatasi 20 peserta saja. Slot langsung penuh tak sampai sepekan sejak ia mengumumkan kelas menulis online di media sosial.
Arya tak menyangka bila Mirna, salah satu murid menulisnya, tak benar-benar serius mengikuti kelas menulisnya. Ketika kelas menulis yang digelar secara virtual sebanyak tiga kali berakhir, Mirna menghubungi lewat video call. Dari percakapan tersebut Mirna meminta agar Arya membuatkan tulisan berupa cerita pendek untuk diikutkan dalam sebuah lomba menulis tingkat nasional.
Sebenarnya bila tulisan yang diminta berupa esai, ia akan langsung menyanggupi. Tapi ini cerpen. Ia masih berusaha memegang idealismenya. Sementara bila mengingat nominal imbalan yang bakal diterima, sepertinya ia masih harus mempertimbangkannya. Ia pun meminta Mirna agar diberi waktu dua hari untuk berpikir.
”Baik, sebagai murid yang baik, saya akan setia menunggu keputusan dari Mas Guru,” ucap Mirna sambil tersenyum manis sebelum menyudahi percakapan.
Jujur, Arya sempat tergetar melihat senyum manis gadis cantik yang mengaku masih berstatus mahasiswi di kota J tersebut. Bila menuruti kata hati tentu ia akan langsung menerima tawaran gadis itu bahkan meski tak dikasih imbalan sepeser pun, asalkan ia bisa... ah, Arya berusaha mengenyahkan pikiran kotornya.
***
Arya tersenyum bahagia saat membaca postingan grup Sastra Minggu. Grup yang berisi kabar pemuatan tulisan di media massa dari teman-teman di berbagai kota itu mengabarkan bahwa cerpennya dimuat di salah satu koran nasional. Bayangan nominal honor yang akan segera masuk ke nomor rekeningnya langsung terpampang di depan mata.
Sejatinya bagi Arya, kebahagiaan hakiki seorang pengarang ialah ketika karyanya berhasil menembus media massa. Terlebih media massa nasional dengan imbalan honor besar. Bukan media massa lokal yang memberi honor seadanya dan hal itu dapat dimaklumi mengingat ada sebagian media massa yang tak memberi honor. Bagi Arya, honor tulisan adalah hal paling prinsip berapa pun nominalnya.
”Buat apa tulisan dimuat koran, tapi enggak dapat honor?” Arya bergumam sendiri ketika membaca postingan seorang teman penulis yang tulisannya rajin dimuat di media massa lokal yang selama ini dikenal tak menyediakan honor.
Yang paling gila menurut Arya ialah ketika ada media massa yang justru meminta imbalan ke penulis. Jadi, bila ingin tulisannya dimuat, maka ia harus membayar sejumlah uang kepada pihak media tersebut. Anehnya, banyak penulis yang berani membayar mahal asal tulisannya bisa dimuat. Biasanya mereka bukanlah penulis sungguhan alias tipe penulis tahu bulat yang digoreng dadakan demi kepentingan sertifikasi atau untuk melejitkan posisi jabatannya di instansi tempat mereka bekerja.
Arya sangat paham seluk-beluk dunia kepenulisan yang kadang diwarnai keculasan, intrik sesama pengarang, dan kadang disisipi kepentingan politik. Namun ia tak memedulikan itu semua. Baginya yang terpenting ialah menulis dan mendapatkan uang untuk mencukupi hajat hidup dirinya, istri, dan seorang anaknya yang masih balita.
Arya masih ingat, di awal menekuni dunia kepenulisan, ia begitu kukuh memegang idealismenya. Ia termasuk pengarang yang jujur. Menjiplak karya orang merupakan pantangan keras baginya.
”Haram hukumnya seorang pengarang melakukan aksi plagiarisme,” ucapnya berapi-api saat mengisi acara pelatihan jurnalistik di sebuah kampus di kotanya.
Setiap mengisi acara pelatihan menulis, ia memang selalu menyelipkan pesan penting itu. Bila ingin menjadi pengarang yang awet dan terhormat, jangan sekali-kali melakukan plagiasi. Tak lupa Arya membacakan sederet nama pengarang yang dulu sangat terkenal, tapi kini terkubur dalam sejarah kelam akibat kecerobohannya melakukan plagiasi.
Tapi itu dulu. Ketika Arya masih lajang. Idealismenya perlahan mengikis sejak ia menikah dan istrinya mengandung. Kebutuhan hidup yang kian meningkat membuatnya terpaksa melakukan segala cara. Awalnya ia merasa terpaksa dan berdosa saat kali pertama menjadi penulis bayangan atau kerap disebut ghost writer. Padahal sebelumnya, Arya tak pernah sudi bila ada orang memintanya menjadi ghost writer. Namun, ketika istrinya mengeluhkan kebutuhan ini-itu dan kepala Arya kerap dibikin pusing, akhirnya ia pun mulai memikirkan tawaran menjadi penulis bayangan.
Arya masih ingat, di awal menekuni dunia kepenulisan, ia begitu kukuh memegang idealismenya. Ia termasuk pengarang yang jujur. Menjiplak karya orang merupakan pantangan keras baginya.
Ia ingat, honor pertama menjadi ghost writer sangat besar. Tiga juta rupiah. Maklum, yang memesan tulisan adalah seorang pejabat kaya raya yang ingin menaikkan karier politiknya melalui opini di media massa. Sejak saat itu, ia menjadi ketagihan menjadi penulis bayangan dan mulai jarang menulis cerita pendek dan puisi. Ia lebih senang menulis esai-esai pesanan dari kaum berduit seperti para pejabat yang ingin melakukan pencitraan lewat tulisan.
***
”Lima juta?” Arya kaget sendiri saat menyebutkan nominal uang yang sangat besar itu. Mayang, istrinya, mengangguk tegas. Kepada Arya, ia bilang sedang butuh uang lima juta rupiah. Kalau bisa secepatnya untuk kepentingan membantu keluarga orangtuanya yang sedang punya hajatan.
”Kalau hajatannya sudah kelar, orangtuaku berjanji akan segera mengembalikan,” kata Mayang kemudian. Bagi Arya, bukan soal segera mengembalikan atau tidak, tapi persoalannya mencari uang lima juta dalam waktu cepat itu tak mudah. Kecuali bila ia mau menerima tawaran Mirna.
Tak banyak waktu buat berpikir. Sebelum Mirna menghubungi, Arya lebih dulu menghubungi lewat pesan Whatsapp. Ia menyanggupi tawaran Mirna. Begitu pesan telah terbaca, Mirna langsung melakukan panggilan video call tapi tak diangkat oleh Arya karena saat itu ia sedang bersama istrinya di rumah. Apa jadinya bila ia kepergok sedang mengobrol lewat video call dengan gadis muda dan cantik. Arya tak mau ambil risiko. Terlebih ia sangat tahu karakter Mayang yang sangat cemburuan.
Maaf, jangan VC dulu, balasnya lewat pesan WA saja. Begitu pesan yang ditulis Arya untuk Mirna. Arya tersenyum-senyum sendiri, sementara dadanya berdebar hangat saat Mirna membalas singkat, ”Baik Mas Guru,” dilengkapi emoticon senyum dan love. Buru-buru ia menghapus pesan Mirna, takut Mayang nanti membaca dan menyebabkan persoalan baru dalam rumah tangganya.
***
Tengah malam ketika Mayang telah tidur, Arya justru tampak sibuk di depan laptop di ruang tamu. Ia sedang berusaha keras agar cerpen pesanan Mirna benar-benar bagus dan kelak bisa meraih juara pertama. Kata Mirna, bila ia berhasil memenangi lomba tersebut, ia akan dinobatkan sebagai salah satu mahasiswi berprestasi yang akan mendapat beasiswa prestasi dari kampus.
Baca juga : Petani Tua, Ulat Bulu, dan Pencuri Dermawan
Makanya, Mirna berusaha melakukan berbagai upaya agar bisa mengikuti lomba menulis tersebut dan berhasil menjadi juara. Andai tak bisa meraih juara pertama, minimal juara dua atau tiga. Bagi Mirna, uang lima juta itu tak jadi persoalan. Ia bisa minta pada ayahnya yang berprofesi sebagai pejabat yang memiliki kekayaan berlimpah.
Tangan Arya berhenti mengetik ketika baru berhasil membuat dua paragraf cerpen pesanan Mirna. Ada sesuatu yang bergelegak dalam jiwa saat teringat percakapannya dengan Mirna beberapa jam lalu. Mirna berjanji bila berhasil menang lomba menulis tersebut, ia akan memberi bonus khusus. Bukan bonus uang, melainkan kencan di suatu tempat yang masih dirahasiakan.
Puring Kebumen, 11 Juni 2021.
***
Sam Edy Yuswanto lahir dan berdomisili di kota Kebumen. Ratusan tulisannya tersiar di sejumlah media massa, seperti Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Radar Banyumas, Riau Pos, dan Kedaulatan Rakyat.