Ambiguitas Politik Kriminal Cipta Kerja Pasca Putusan MK
Putusan MK terhadap UU Cipta Kerja hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya di masyarakat. Pemerintah perlu menerbitkan perppu yang menangguhkan UU Cipta Kerja selama proses perbaikan.
Oleh
MUHAMMAD FATAHILLAH AKBAR
·6 menit baca
Lex rejicit superflua, pugnantia, incongrua. Adagium tersebut bermakna bahwa hukum menolak hal yang tidak penting, bertentangan, dan tidak layak. Adagium tersebut terasa cocok untuk menjadi pijakan awal mendiskusikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada 25 November 2021 (Putusan MK UU Cipta Kerja).
Pertanyaan selanjutnya dalam Putusan MK adalah apakah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang telah dinyatakan inkonstitusional pembentukan formilnya tetap dapat dijadikan dasar pemidanaan. Dalam amar 7 dari Putusan MK UU Cipta Kerja tersebut menegaskan bahwa menangguhkan seluruh tindakan/kebijakan strategis dan berdampak luas terkait UU Cipta Kerja. Pertanyaan mendasar yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah apakah penuntutan pidana masuk ke dalam tindakan strategis dan berdampak luas.
Beberapa ketentuan pidana dalam UU Cipta Kerja juga telah diuji materi ke MK. Namun, ternyata MK menolak seluruh pengujian material UU Cipta Kerja dengan didasari pertimbangan bahwa putusan MK UU Cipta Kerja Nomor 91 telah diputuskan. Sebagai contoh dalam pengujian UU Cipta Kerja dalam Putusan MK Nomor 101/PUU-XVIII/2020.
Permohonan dalam putusan tersebut sangat dalam, salah satunya mengenai ketentuan pemidanaan pengusaha yang tidak membayar pesangon yang dihapus UU Cipta Kerja. Dengan dasar permohonan yang panjang dan dalam MK hanya memutus bahwa permohonan tidak dapat diterima dengan alasan bahwa Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah diputuskan sehingga dianggap bahwa pengujian tersebut telah “kehilangan obyek” karena UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Di tanggal 25 November 2021 MK membuat 11 putusan “kehilangan obyek” tersebut setelah putusan MK tentang UU Cipta Kerja terkait uji formil. Dengan hal tersebut, sejak 25 November 2021, maka MK tidak akan menerima pengujian materiil baik substansi maupun formil terhadap UU Cipta Kerja sampai pemerintah telah memperbaiki formalitas UU Cipta Kerja.
Ketidakpastian hukum
Dengan kondisi tersebut, maka pelaksanaan UU Cipta Kerja akan semakin menemukan ketidakpastian hukum. Terlebih dalam amar 7 putusan MK UU Cipta Kerja terdapat penangguhan tindakan/kebijakan strategis UU Cipta Kerja. MK dalam pertimbangannya tidak juga memberikan batasan mengenai tindakan/kebijakan strategis. Sehingga, untuk mencari tafsir “strategis” dapat merujuk pada UU Cipta Kerja itu sendiri.
Pasal 4 UU Cipta Kerja mengatur dalam rangka mencapai tujuan UU Cipta Kerja dalam Pasal 3, periu dibatasi ruang lingkup kebijakan strategis yang meliputi berbagai aspek, dimana poin terakhir dalam Pasal 3 tersebut mengatur mengenai “pengenaan sanksi”. Sehingga, sanksi pidana masuk ke dalam kebijakan strategis dalam UU Cipta Kerja. Hal yang perlu dijawab adalah apakah penuntutan dan pemidanaan berdasarkan UU Cipta Kerja dapat dilakukan?
Apakah penuntutan dan pemidanaan berdasarkan UU Cipta Kerja dapat dilakukan?
UU Cipta Kerja yang mengubah 77 undang-undang, tentu mengatur berbagai bentuk ketentuan pidana. Dalam direktori putusan Mahkamah Agung dengan kata kunci “cipta kerja” terdapat 301 putusan. Penulis setidaknya menemukan lebih dari 20 putusan pidana dalam bulan November 2021. Berbagai putusan pidana UU Cipta Kerja berkaitan dengan sektor minyak dan gas bumi, kehutanan, lingkungan hidup, dan berbagai perbuatan pidana lainnya.
Bisa dipastikan setelah putusan MK, masih banyak kasus pidana UU Cipta Kerja yang diproses baik pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang di pengadilan. Dengan adanya putusan MK, maka terdapat ketidakpastian hukum apakah pemidanaan harus tetap dilakukan atau ditangguhkan.
Permasalahan lebih lanjutnya adalah bahwa UU Cipta Kerja ini ada yang menghapus ketentuan pidana dari UU sebelumnya (dekriminalisasi), menciptakan tindak pidana baru (kriminalisasi), dan juga mengubah ketentuan pidana berikut sanksinya (penalisasi). Jika berkaitan dengan perubahan sanksi pidana, dengan putusan MK ini menjadi pertanyaan apakah penuntutan didasarkan pada UU Cipta Kerja atau UU sebelumnya. Selain itu dalam tindak pidana yang dikriminalisasi, apakah dinyatakan bebas karena tidak lagi menjadi perbuatan pidana atau tetap dipidana.
Pada dasarnya jika terjadi perubahan peraturan dalam suatu proses pidana, Pasal 2 ayat (1) KUHP telah menyediakan solusi dimana aturan yang berlaku adalah yang paling meringankan bagi tersangka/terdakwa. Eddy OS Hiariej dalam bukunya menegaskan bahwa asas lex favor reo dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP memang dapat menjadi pengecualian terhadap asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Namun, permasalahan yang timbul, Pasal 1 ayat (2) KUHP adalah Ketika terjadi perubahan peraturan. Dalam kasus ini, amar 4 putusan MK UU Cipta Kerja menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku, namun amar 7 menyatakan penangguhan tindakan strategis. Sehingga, Pasal 1 ayat (2) KUHP tidak cukup untuk menjawab persoalan UU Cipta Kerja. Dalam putusannya saja empat Hakim MK memiliki pendapat hakim yang berbeda (dissenting opinion), bagaimana dengan hakim-hakim di tingkat Pengadilan Negeri dalam menangani kasus pidana. Apakah hakim pengadilan negeri harus memiliki tafsir terhadap putusan MK terkait UU Cipta Kerja?
Apakah hakim pengadilan negeri harus memiliki tafsir terhadap putusan MK terkait UU Cipta Kerja?
Dengan berpedoman pada konsep lex favor reo dan in dubio pro reo dimana dalam keragu-raguan dipilih yang meringankan terdakwa, maka dalam penanganan kasus pidana seharusnya melihat pasal yang paling meringankan bagi terdakwa. Sekalipun perbuatan dilakukan setelah putusan MK terkait UU Cipta Kerja, maka tetap dilihat aturan yang paling meringankan. Hal ini didasari bahwa UU Cipta Kerja berada pada status quo yang tidak memberikan kepastian hukum secara tegas.
Dalam pelaksanaan UU Cipta Kerja yang telah diputus MK, maka pemidanaan terhadap pasal yang telah dihapus oleh UU Cipta Kerja menjadi ambigu. UU Cipta Kerja melakukan dekriminalisasi pada berbagai tindak pidana. Dekriminalisasi adalah menghapus perbuatan yang tadinya merupakan perbuatan pidana, menjadi bukan perbuatan pidana. Hal ini bisa dilihat dari berbagai ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang menghapus beberapa ketentuan pidana dalam UU yang mengatur sebelumnya.
Sebagai contoh, Pasal 81 Angka 62 UU Cipta Kerja menghapus Pasal 184 UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 184 UU Ketenagakerjaan mengatur tentang sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak melibatkan pekerja yang pensiun dalam program pensiun sebagaimana diatur Pasal 167 ayat (5) UU ketenagakerjaan.
Pada dasarnya dekriminalisasi terhadap tidak dipenuhinya hak pesangon memang didasarkan pada Pasal 167 UU Ketenagakerjaan yang dihapus juga oleh UU Cipta Kerja. Dekriminalisasi ini berpotensi merugikan pihak-pihak rentan tenaga kerja. Kontroversi dekriminalisasi ini sebenarnya telah diuji dalam Putusan MK Nomor 101/PUU-XVIII/2020. Permohonan pengujian didasarkan pada hak-hak pekerja yang harus dilindungi konstitusi. Namun, MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima dengan dasar “kehilangan obyek” sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Hakim MK sama sekali tidak menyentuh substansi dekriminalisasi ini.
Melihat permasalahan-permasalahan tersebut, putusan MK terhadap UU Cipta Kerja hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya di masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil jalan keluar dengan menerbitkan perppu yang menangguhkan UU Cipta Kerja selama proses perbaikan. Perppu ini telah didasari keadaan yang sangat genting dan mendesak menyangkut berbagai sektor dalam implementasi UU Cipta Kerja. Jika UU Cipta Kerja tetap dibiarkan berjalan, disparitas putusan pemidanaan akan semakin tinggi dan meningkatkan angka ketidakpastian hukum dan keadilan di masyarakat.
Muhammad Fatahillah Akbar, Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada