Perbaikan pembentukan UU Cipta Kerja dapat dilakukan dengan revisi atas UU Pembentukan Perundang-undangan dan dengan melibatkan para ahli perundang-undangan yang kredibel sehingga menghasilkan ”undang-undang induk”.
Oleh
ALBERT ARIES
·5 menit baca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah mengukir sejarah pengujian undang-undang di Indonesia. Untuk pertama kali Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pengujian formil atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yaitu dengan menjatuhkan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) atas pembentukan UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode omnibus law.
Pembentukan beleid dengan metode omnibus law yang artinya ”satu untuk semua” (one for all), dengan cara mencabut, menambah, dan mengubah sekitar 79 undang-undang sektoral untuk tujuan menciptakan lapangan kerja, telah dinyatakan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945. UU Cipta Kerja juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai ”tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun” sejak putusan MK tersebut diucapkan.
Hal yang menarik, MK menyatakan UU Cipta Kerja tersebut ”tetap berlaku” sampai dengan dilakukan perbaikan aspek pembentukan beleid itu. Kemudian MK juga mengamanatkan pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden) untuk memperbaiki pembentukan UU tersebut dalam waktu dua tahun, menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak menerbitkan peraturan pelaksanaan baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Timbul pertanyaan bagi kita semua, yaitu bagaimana strategi DPR dan pemerintah dalam memperbaiki aspek pembentukan beleid tersebut dalam waktu dua tahun ke depan? Kendala-kendala legislasi apa yang harus dicarikan solusinya untuk menjamin kepercayaan para investor, pengusaha, pekerja, dan masyarakat luas pasca-putusan MK tersebut?
Deregulasi
Gagasan membentuk undang-undang dengan metode omnibus law konon kabarnya pertama kali muncul tahun 2016, yang bertujuan untuk melakukan reformasi birokrasi dengan cara deregulasi, yaitu penyederhanaan peraturan yang masih diperlukan, atau penghapusan peraturan yang tidak diperlukan lagi, terutama di bidang ekonomi (Hamid Attamimi: 1993).
Reformasi birokrasi tersebut dilakukan dengan cara menyinkronkan sebagian ketentuan dari sekitar 79 undang-undang sektoral yang tumpang tindih (overregulated) sehingga memperpanjang rantai birokrasi. Misalnya, dalam mengurus perizinan berusaha yang selama ini telah membuka celah yang lebar bagi praktik korupsi, suap-menyuap, dan ”birokrasi rente” yang dikenal sudah mendarah-daging di Indonesia.
Metode omnibus law cenderung identik dengan praktik legislasi di negara-negara yang menganut Common Law System.
Upaya melakukan deregulasi melalui UU Cipta Kerja tentu tidak selalu berjalan mulus. Selain aspek pembentukannya belum dikenal dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, metode omnibus law cenderung identik dengan praktik legislasi di negara-negara yang menganut Common Law System (Amerika, Filipina, dan lain-lain).
Kalaupun pernah ada presedennya di negara yang menganut Civil Law System, metode tersebut dianggap paling mendekati terminologi ”undang-undang induk” yang dikenal di Belanda. Karena itu, metode omnibus law belum diatur formalitasnya dalam jenis dan hierarki dalam UU Pembentukan Perundang-undangan, mulai dari Undang-Undang Dasar, TAP MPR, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, sampai peraturan daerah.
Atas dasar itulah, cukup beralasan bagi MK sebagai the guardian of constitution menjatuhkan putusan inkonstitusional bersyarat, tanpa menyentuh isi/materi muatan UU Cipta Kerja. Sederhananya, putusan MK tersebut dapat diringkas menjadi tiga poin.
Pertama, UU Cipta Kerja dan seluruh peraturan pelaksanaan yang sudah diterbitkan masih tetap berlaku untuk dua tahun ke depan. Kedua, MK mengamanatkan agar dalam waktu dua tahun, DPR dan pemerintah memperbaiki aspek formil pembentukan UU Cipta Kerja sesuai dengan kaidah legislasi. Ketiga, dalam masa dua tahun perbaikan pembentukan UU Cipta Kerja, pemerintah menangguhkan penerbitan aturan pelaksanaan (yang baru) dari UU Cipta Kerja.
Waktu dua tahun yang diamanatkan MK untuk memperbaiki pembentukan UU Cipta Kerja tersebut seharusnya lebih dari cukup untuk memberikan jaminan kepada para investor, pengusaha, teman-teman pekerja, dan masyarakat luas bahwa pembentuk undang-undang sanggup melakukannya. Apalagi semua ketentuan dalam UU Cipta Kerja dan seluruh peraturan pelaksanaan yang telah terbit sebelum putusan MK, termasuk peraturan pemerintah dan perpres, masih berlaku. Jadi, semua kontrak, perjanjian investasi, dan seluruh kegiatan usaha dalam naungan payung hukum Cipta Kerja tetap berjalan seperti sedia kala.
Untuk itu, berikut ini adalah dua gagasan perbaikan pembentukan UU Cipta Kerja yang dapat dijadikan pertimbangan untuk pembentuk UU. Pertama, perlu dilakukan revisi atas UU Pembentukan Perundang-undangan dengan menambahkan fungsi ”undang-undang induk” (moederwet), yang perlu dibedakan secara tegas dengan ”undang-undang tentang pokok-pokok”, misalnya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Mengutip pandangan Maria Farida Indrati (2007), tidak seperti Belanda yang mengenal ”raamwet”, ”kaderwet”, atau ”moederwet” sebagai ”induk” dari undang-undang yang lain, Indonesia tidak mengenal berbagai jenis undang-undang, yang ada hanyalah satu jenis undang-undang yang dibentuk atas dasar Pasal 5 Ayat (1) dan/atau Pasal 20 UUD 1945.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, pembentuk UU dapat mempertimbangkan diaturnya landasan hukum dari fungsi ”undang-undang induk” sebagai pedoman pembentukan UU dengan metode omnibus law, sedapat mungkin tanpa mengubah hierarki dan jenis peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Kedua, perbaikan atas pembentukan UU Cipta Kerja ini perlu melibatkan para ahli perundang-undangan yang kredibel. Dengan demikian, UU Cipta Kerja ini bukan sekadar menjadi ”kompilasi revisi” dari sebagian ketentuan 78 undang-undang sektoral, melainkan menjadi suatu ”undang-undang induk” dalam satu narasi legislasi utuh yang mudah dibaca dan dipahami oleh para investor, pengusaha, pekerja, dan masyarakat, tanpa kesulitan menyandingkannya dengan sebagian ketentuan dari puluhan UU sektoral yang diubah, ditambahkan, atau dicabut.
Modifikasi legislasi
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menganut sistem rekodifikasi terbuka dan terbatas, di mana kodifikasi merupakan penyusunan aturan hukum sejenis dalam satu kitab undang-undang secara sistematis. Berbeda dengan RKUHP, hendaknya Omnibus Law Cipta Kerja ini dapat dipandang sebagai suatu ”modifikasi legislasi”, sebagaimana diterapkan oleh negara tetangga kita, misalnya Filipina sejak tahun 1987 (The Omnibus Investment Code of 1987).
Dengan menggali pemikiran begawan hukum Indonesia di bidang hukum perundang-undangan, Hamid Attamimi (Kompas, 22 Maret 1988), yang masih relevan dengan kebutuhan legislasi Indonesia, kini terdapat perkembangan pembentukan perundang-undangan, yang berangkat dari kodifikasi menuju modifikasi, yaitu menyusun suatu peraturan yang mengarah pada pengubahan perilaku kehidupan masyarakat, sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara Indonesia yang berwawasan kesejahteraan rakyat.
Last but not least, kondisi legislasi di Indonesia yang overregulated dan mengakibatkan tumpang tindihnya puluhan undang-undang sektoral tersebut telah menciptakan ketidakpastian hukum yang tidak boleh dibiarkan terus-menerus. Ini karena secara filosofis, sebagaimana dikatakan Cicero, semakin banyak undang-undang, semakin tidak menghadirkan keadilan bagi masyarakat, the more laws the less justice.
Albert Aries, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti