Putusan Mahkamah Konstitusi untuk merevisi UU Cipta Kerja harus dijadikan momentum untuk membahas ulang berbagai substansi regulasi yang dalam setahun terakhir ini berpotensi tidak menyejahterakan rakyat.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
RONY ARIYANTO NUGROHO
Poster yang dibawa mahasiswa dari berbagai aliansi saat menggelar aksi memprotes disahkannya UU Cipta Kerja di depan Istana Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (8/10/2020).
Saat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, untuk meredam kritik dari berbagai elemen, pemerintah memberikan sejumlah janji manis. Satu tahun kemudian, di tengah pandemi yang belum usai, janji-janji itu belum terpenuhi. Sebaliknya, kekhawatiran yang dulu disuarakan publik mulai terbukti.
Sesuai dengan namanya, UU Cipta Kerja dibuat untuk mendorong kemudahan berusaha, menarik investasi, dan menciptakan lapangan kerja. Akhir 2020 lalu, di tengah gelombang unjuk rasa penolakan Rancangan UU Cipta Kerja, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjanjikan sejumlah hal untuk meredam kritik publik.
Pertama, UU Cipta Kerja akan menciptakan 2,7 juta sampai 3 juta lapangan kerja per tahun untuk menampung 9,29 juta orang yang belum bekerja. Kedua, meningkatkan kemudahan berusaha yang akan mendorong peningkatan investasi hingga 6,6-7,0 persen. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan mendorong target peningkatan konsumsi hingga 5,4-5,6 persen.
Dari segi nilai, dengan naiknya realisasi investasi tahun 2021 sebanyak 9 persen dari Rp 826,3 triliun pada 2020 menjadi Rp 901,2 triliun, target pemerintah sebenarnya tercapai. Pertumbuhan investasi pada tahun lalu itu bahkan lebih baik dari kondisi prapandemi. Kendati demikian, dari segi kualitas, kenaikan realisasi investasi itu belum selaras dengan penciptaan lapangan kerja.
Dengan investasi yang naik 9 persen atau sebanyak Rp 74,9 triliun itu, tenaga kerja yang terserap hanya bertambah 4 persen dari 1.156.361 orang pada 2020 menjadi 1.207.893 orang pada 2021. Masih jauh dari target cipta lapangan kerja yang dijanjikan pemerintah.
Kompas/Wawan H Prabowo (WAK)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan tanggapan pemerintah terkait dengan hasil pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja kepada Ketua DPR RI Puan Maharani dalam Rapat Paripurna DPR RI masa persidangan I tahun sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020).
UU Cipta Kerja belum mampu menghentikan tren penurunan serapan tenaga kerja yang sudah terjadi selama delapan tahun terakhir. Sebagai perbandingan, pada 2013, investasi senilai Rp 1 triliun masih bisa menyerap 4.954 tenaga kerja. Pada 2019, investasi Rp 1 triliun menyerap 1.438 orang. Sekarang, meski dengan UU Cipta Kerja pun, Rp 1 triliun hanya menyerap 1.340 tenaga kerja.
Ironisnya, provinsi dengan realisasi investasi tertinggi selama tiga tahun terakhir ini, seperti Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, Riau, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah, juga menjadi provinsi dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan tertinggi.
Ambil contoh, Jawa Barat sebagai provinsi dengan realisasi investasi tertinggi senilai Rp 136,1 triliun juga menjadi provinsi dengan pengangguran kedua tertinggi, yakni 9,82 persen. Sulawesi Tengah, dengan investasi asing tertinggi keempat senilai Rp 38,8 triliun, termasuk dalam 10 besar provinsi dengan kemiskinan tertinggi, yakni 12,18 persen.
Ironisnya, provinsi dengan realisasi investasi tertinggi selama tiga tahun terakhir ini juga menjadi provinsi dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan tertinggi.
Investasi tersier atau jasa yang sifatnya lebih padat modal masih mendominasi dengan nilai Rp 442,4 triliun atau 49,1 persen dari total investasi tahun lalu. Meski perlahan mulai bergeser ke sektor sekunder lewat investasi hilirisasi tambang dan industri logam dasar, penciptaan lapangan kerjanya belum optimal.
Investasi smelter tambang yang sifatnya padat modal tidak banyak menyerap tenaga kerja dan lebih menguntungkan tenaga kerja asing dari negara asal investor. Efek ganda penciptaan lapangan kerja dari investasi itu kemungkinan baru akan terasa di kemudian hari setelah ekosistem hulu-hilir terbangun dan membuka industri turunan yang sifatnya lebih padat karya.
ISMAWADI
Faktor Paling Bermasalah untuk Berusaha di Indonesia Infografik
Belum mudah
Kinerja investasi pada 2021 tidak semata-mata dipengaruhi UU Cipta Kerja dan sederet kemudahan berusahanya. Implementasi sistem perizinan terpadu berbasis risiko (OSS-RBA) yang diharapkan dapat memangkas perizinan dan mempermudah pengusaha untuk berinvestasi masih jauh dari harapan.
Sistem yang belum siap itu masih banyak dikeluhkan pengusaha. Izin usaha tetap keluar lebih lama dan tetap rumit dari seharusnya serta berpotensi mengancam lingkungan dan masyarakat lantaran tidak berlandaskan analisis risiko usaha yang riil dengan kondisi di setiap daerah.
Di sisi lain, janji meningkatkan kesejahteraan pekerja dan menggerakkan roda konsumsi juga belum terpenuhi dalam setahun terakhir ini. Data BPS, konsumsi rumah tangga tumbuh 2,02 persen pada 2021. Kendati tumbuh positif, pertumbuhannya masih lebih rendah dibandingkan dengan kondisi prapandemi.
Di tengah pandemi yang belum usai, ikhtiar meningkatkan roda konsumsi itu malah dipersulit dengan dampak UU Cipta Kerja yang kini menahan kenaikan upah minimum pekerja. Dengan berlakunya sistem pengupahan baru, rata-rata kenaikan upah minimum tahun ini adalah 1,09 persen, di bawah inflasi tahunan per Januari 2022 yang sebesar 2,18 persen.
GUNAWAN KARTAPRANATA
Infografik Kompas.id Upah Buruh Agustus 2021
Kenaikan upah yang ada di bawah angka inflasi itu menggerus daya beli dan kesejahteraan pekerja. BPS mencatat, per Agustus 2021 terjadi penurunan upah pekerja di hampir semua jenis lapangan usaha. Per Desember 2021, upah riil buruh tani dan bangunan menurun karena tergerus inflasi harga kebutuhan pokok. Daya beli dan konsumsi masyarakat berpotensi kian tertekan jika inflasi naik lebih tinggi lagi tahun ini, sementara kenaikan upah terus tertahan.
Kekhawatiran terbukti
Ketika janji-janji manis UU Cipta Kerja itu belum tercapai, keresahan yang dulu disuarakan publik mulai terbukti. Di sektor ketenagakerjaan, buruh kerah biru sampai kerah putih mulai merasakan berkurangnya hak-hak mereka akibat implementasi UU Cipta Kerja.
Buruh kerah biru menghadapi ketidakpastian dengan status kerja yang semakin fleksibel akibat maraknya praktik pemutihan menjadi buruh berstatus kontrak dan alih daya (outsource). Buruh pabrik yang umumnya digaji dengan upah minimum itu juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kenaikan upah mereka akan terus tertahan. Terlebih, jika tidak ada itikad baik dari perusahaan untuk menerapkan penggajian dengan struktur dan skala upah.
Ketika janji-janji manis UU Cipta Kerja itu belum tercapai, keresahan yang dulu disuarakan publik mulai terbukti.
Buruh kantoran tidak lepas dari dampak pahit UU Cipta Kerja. Buruh yang mengalami PHK selama setahun terakhir ini mulai merasakan hak pesangon yang berkurang jauh dibandingkan dengan sebelumnya. Mereka juga harus menghadapi ketidakpastian karena UU Cipta Kerja memudahkan terjadi PHK dengan alasan mencegah kerugian dengan jumlah pesangon yang lebih rendah dibandingkan dengan UU yang lama.
Kompas
Massa buruh sambil membawa poster kembali mendatangi Gedung Parlemen di Jakarta untuk berunjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja, Rabu (12/2/2020).
Perintah putusan Mahkamah Konstitusi untuk merevisi UU Cipta Kerja yang cacat formil dan inkonstitusional bersyarat dalam dua tahun ke depan harus dijadikan momentum untuk membahas ulang berbagai substansi yang dalam setahun terakhir ini terbukti semakin tidak menyejahterakan rakyat.
Revisi mesti dilakukan secara komprehensif dan serius. Kritik dan masukan dari publik yang akan paling terdampak oleh UU Cipta Kerja perlu didengar, dipertimbangkan, dan diakomodasi. Jika tidak, kita akan kembali menghadapi ketidakpastian dan kegetiran yang sama.