I Nyoman Widiarta Mahayasa, Lontar Hibrida untuk Rakyat
Prof I Nyoman Mahayasa ahli di bidang lontar. Ia melakukan penelitian tentang lontar dengan banyak manfaat. Pangan alternatif, lontar hibrida dan nira lontar yang bertahan sampai delapan bulan.
Jutaan pohon lontar yang tumbuh secara alami di 22 kabupaten dan kota di Nusa Tenggara Timur sudah lama terabaikan. Prof Ir I Nyoman Widiarta Mahayasa merasa lontar berada antara dibutuhkan dan diabaikan. Selama 24 tahun terakhir, ia melakukan penelitian untuk menemukan formula menumbuhkan pohon lontar hibrida.
Kepedulian Mahayasa terhadap lontar sejak 1998 atau 24 tahun silam. Saat itu ia menyaksikan sejumlah penjual isi buah lontar keliling Kota Kupang. Tidak satu pun yang laku meski harga isi buah lontar hanya Rp 3.000 per kg. Sementara buah lontar terbuang-buang di tanah. Sebagian warga memanfaatkan buah lontar itu untuk pakan ternak babi dan sapi.
”Saya mulai melakukan penelitian terhadap buah lontar yang sudah matang jatuh ke tanah. Hasil penelitian menunjukkan buah lontar terutama palp (serat) lontar mengandung antioksidan yang tinggi. Juga mengandung vitamin C yang sangat bagus. Temuan ini bermanfaat mengatasi maag, diare, flu atau batuk pilek, dan daya tahan tubuh,” kata Mahayasa di Kupang, Rabu (2/11/2022).
Agar palp lontar bisa dikonsumsi secara lebih mudah dan dikenal masyarakat, maka perlu diolah secara lebih ”bermartabat”” Hasil olahan palp lontar ini dimanfaatkan sebagai pangan alternatif. Apalagi pemerintah tengah menggalakkan pangan substitusi, seperti sorgum, dan umbi-umbian.
Baca juga : Guru Besar Undana Kupang Temukan Cara Mengawetkan Nira Lontar
Melalui penelitian itu, Mahayasa menyulap palp (serat) buah lontar menjadi aneka makanan, seperti dodol, selai, stik, kue, kerupuk, pia, roti, tar, dan aneka minuman (sirop). Semakin baik kualitas bahan baku, semakin beraneka kue pula yang dihasilkan. Hasil penelitian itu dinyatakan sukses dan dapat dipertanggungjawabkan secaradari sisi kesehatan.
Tidak ingin menyembunyikan temuan itu, Mahayasa pun segera membentuk kelompok ibu-ibu rumah tangga untuk terlibat dalam usaha itu. Berawal dari pembentukan satu kelompok ibu rumah tangga, beranggotakan lima orang di Kota Kupang, Mahayasa memperluas menjadi enam kelompok pengelola serat buah lontar, termasuk tiga kelompok di Kabupaten Rote Ndao, pusat budidaya lontar.
”Kelompok binaan itu terbentuk sejak 2006-2017, tetapi tidak ada tenaga pendamping berkesinambungan. Saya sibuk di kampus. Kurang modal usaha dan pemasaran. Kelompok usaha ini perlahan bubar satu per satu. Masalah utama adalah pemasaran. Paling saya libatkan mereka ikut pameran lokal saja,” kata Mahayasa.
Saat itu pangan dari serat buah lontar ini mulai diminati sejumlah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Kota Kupang seperti toko Sukiran, Sudimampir, dan Mitra Agung. Namun, sayang, para peminat pangan olahan ini lebih banyak warga dari luar NTT. Penduduk lokal masih melihat ”sebelah mata” temuan ini.
Baca juga : Lontar Hibrida dibudidayakan di Kabupaten Sabu Raijua
Bukan kurang enak. ”Promosinya yang kurang. Tidak ada dukungan dari pengambil kebijakan. Jika warga Kota Kupang saja mendukung, usaha ini tetap bertahan. Waktu itu internet di Kota Kupang belum marak seperti saat ini. Masih banyak lokasi yang masuk kategori blank spot,” kata Mahayasa.
Hasil kreativitas Mahayasa mendapat dukungan dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan saat itu berupa penghargaan Upakarti, tahun 2010. Namun, ia merasa tidak puas. Hasil penelitiannya itu belum berdaya guna bagi mayoritas masyarakat, sedangkan pohon lontar tersebar di seluruh NTT.
Data BPS NTT tahun 2010 menyebutkan, populasi lontar sekitar 5 juta batang terdiri dari tumbuhan muda, usia kurang dari 10 tahun sebanyak 950.000 batang, dan tumbuhan dewasa, lebih dari 10 tahun sebanyak 4.050.000 pohon. Lontar-lontar ini tersebar hampir di 22 kabupaten/kota di NTT. Pohon lontar tumbuh secara alamiah. Hanyadi Rote Ndao dan Sabu Raijua, sebagian petani membudidayakan lontar itu.
Khusus di kalangan masyarakat Rote Ndao, Sabu, Sumba, dan sebagian masyarakat Timor, buah dan nira lontar merupakan makanan sekaligus minuman utama mereka. Sampai tahun 1990-an, sebagian masyarakat di wilayah itu hanya mengonsumsi lontar sebagai makanan pokok, di samping jagung, dan umbi-umbian yang sering gagal panen.
Baca juga : Menanti Sukses Binaan Laboratorium Pertanian Lahan Kering Undana Kupang
Kini, harapan cita-cita itu bersemi lagi. Awal November 2022, atas permintaan kelompok ibu-ibu PKK Kota Kupang, Mahayasa melatih mereka membuat kue pia dan stikdari serat buah lontar. Ia berharap, melalui pelatihan ini, ibu-ibu PKK juga bisa tertarik mengembangkan aneka pangan dan minuman dari lontar ini.
Penelitian terhadap lontar tidak sekadar buah. Mahayasa mengamati, sebagian besar pohon lontar yang sedang disadap petani lontar di Kota Kupang, Rote Ndao, dan Sabu Raijuamemiliki ketinggian sampai 30 meter. Ini sangat membahayakan keselamatan para penyadap.
Tahun 2018, ia menggagas lontar hibrida di Kabupaten Sabu Raijua bersama bupati Sabu Raijua saat itu, Marthen Dira Tome (2010-2017). Jika pohon kelapa bisa dijadikan kelapa hibrida, lontar pun diyakini demikian. Ketinggian lontar hibrida yang digagas3-4 meter.
Namun, ia tidak sendirian. Mahayasa bekerja sama dengan satu peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan satu peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Kelapa Sulawesi Utara. Mahayasa, sebagai ahli di bidang perkecambahan, didaulat sebagai ketua tim. Hak paten teknologi perkecambahan ini diraih tahun 2014.
Baca juga : Miras, Penyebab Dominan Laka Lantas di NTT
Harus ada teknik atau perlakuan khusus untuk mempercepat perkecambahan atau pertumbuhan bibit buah lontar. Melalui metode khusus itu, hanya empat bulan bibit buah lontar berkecambah. Setelah itu, bibit lontar bisa ditanam dengan kedalaman sekitar 1 meter dari permukaan tanah. Lokasi penanaman bisa di dataran rendah atau pegunungan, tetapi lebih diprioritaskan di kawasan pesisir.
Lontar jenis ini bisa berproduksi pada usia 6-10 tahun. Kini, lontar hasil rekayasa itu sudah berusia 4 tahun di Pulau Sabu dan Raijua. Jumlah lontar hibrida yang dikembangbiakkan sekitar 300 pohon. Sesuai rencana, lontar jenis ini akan dikembangbiakkan di seluruh wilayah NTT, terutama Sabu Raijua, Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, dan sebagian wilayah Sumba. Di daerah ini, lontar menjadi salah satu sumber hidup masyarakat.
Pengembangan lontar hibrida membantu petani agar tidak terlalu capek melakukan pemanjatan saat menyadap nira atau panen buah lontar muda. Jarak tanam 4-5 meter. Dengan jarak yang dekat antarpohon lontar dan lebih pendek, petani bisa menyeberang dari lontar yang satu ke pohon yang lain, saat menyadap atau memanen buah lontar.
”Kita targetkan ke depan seperti itu. Petani tidak perlu lagi naik turun dan berpindah-pindah dari pohon yang satu ke pohon lainnya. Dengan ketinggian 3-4 meter dari permukaan tanah, petani bisa bergerak dari pohon yang satu ke pohon lain. Rasa capek petani berkurang, tetapi ini harus didesain sedemikian rupa agar tetap aman saat mereka menyeberang dari pohon ke pohon,” kata Mahayasa.
Baca juga : Laru dan Sopi, Pahit-Manis Kehidupan Ekonomi Masyarakat NTT
Ia mengatakan, alat tree climbing untuk memanjat pohon kelapa atau pinang, tidak berlaku bagi pohon lontar. Batang lontar memiliki pelepah yang tidak mudah lepas dari batang meski puncak lontar sudah mencapai ketinggian tertentu. Pangkal pelepah itu tetap melekat di batang lontar sehingga sulit dipanjat dengan alat tree climbing. Rekayasan lontar hibrida ditunggu petani lontar.
Sebagai seorang ahli di bidang lontar, Mahayasa juga meneliti nira lontar. Nira lontar yang baru saja disadap oleh petani terasa manis. Nira ini dapat diproses agar tetap awet atau segar dikonsumsi sampai delapan bulan. Menurut rencana, nira lontar seperti ini akan didistribusikan ke hotel-hotel dan restoran, tetapi tidak ada pihak yang mendukung hasil penelitian ini.
”Jika tidak diawetkan, nira hasil menyadap itu hanya bertahan lima jam, setelah itu berubah menjadi alkohol dan terasa asam. Jika sudah terasa asam, sebagian penyadap memproses menjadi arak. Juga bisa diproses menjadi berbagai jenis gula berbahan nira seperti gula semut, gula air, dan gula batu,” katanya.
Kini, Mahayasa terlibat dalam pengembangan Laboratorium Pertanian Lahan Kering Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang. Dua bidang pengembangan pertanian lahan kering masing-masing seluas 5 hektar di kompleks Undana Kupang. Laboratorium ini sebagai pusat pembelajaran mahasiswa, kelompok tani, pelajar, dan destinasi wisata.
Baca juga : Petani NTT Budidayakan Hortikultura demi Menjaga Ketahanan Ekonomi Keluarga
Sayang, semua hasil temuan Mahayasa di bidang lontar belum didukung pengambil kebijakan setempat. Penelitian itu telah menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Tujuan penelitian, mendukung pemda di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah itu.
Mahayasa sendiri sudah berjuang memperkenalkan hasil penelitian itukepada masyarakat terutama pelaku UMKM. ”Saya ingin mereka sukses. Penelitian mengenai lontar selama 24 tahun ini harus bermanfaat bagi masyarakat, pengembangan ilmu pengetahuan, dan masa depan daerah ini,” katanya.
Prof I Nyoman Widiarta Mahayasa
Lahir : Singaraja, Bali, 28 November 1960
Istri : Laksamayanti
Pendidikan Terakhir : S-3 Agronomi Universitas Brawijaya, Malang.
Anak : tiga orang
Pekerjaan : Dosen Universitas Nusa Cendana Kupang