Dalam enam bulan terakhir, 22 warga Nusa Tenggara Timur tewas akibat kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan ini sebagian besar dipicu pengaruh konsumsi minuman beralkohol.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Dalam enam bulan terakhir, 22 warga Nusa Tenggara Timur tewas akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara, korban luka berat 19 orang dan luka ringan 118 orang. Kecelakaan ini sebagian besar dipicu pengaruh konsumsi minuman beralkohol.
Hal itu dikemukakan Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) Komisaris Besar Jules Abraham Abast, dalam konferensi pers penyampaian semester I Kegiatan Polda NTT di Kupang, Senin (29/7/2019) malam.
”Jumlah kecelakaan tahun 2019 ini cenderung menurun dibandingkan tahun 2018, yakni korban meninggal 28 kasus, luka berat 23 kasus, luka ringan 132 kasus, dan kerugian material Rp 270 juta,” kata Abast.
Ia mengatakan, kecelakaan lalu lintas selama ini sebagian besar didominasi oleh pengaruh minuman keras atau miras yang membuat pengemudi mabuk. Sebagian besar adalah jenis miras produksi lokal.
Korban kecelakaan lalu lintas biasanya mengikuti pesta adat atau syukuran tertentu kemudian mengemudikan kendaraan. Dalam keadaan mabuk berat, mereka mengendarai sepeda motor atau kendaraan roda empat, yang berujung pada terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Abast mengatakan, jika ada kebijakan pemerintah daerah melegalkan produksi dan peredaran miras lokal, sebaiknya masyarakat memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk tidak mengonsumsi secara berlebihan. Miras yang dilegalkan itu untuk kepentingan adat dan agama.
”Sejauh miras lokal itu diadakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, silakan. Tetapi, sebaiknya ada aturan untuk pengendalian peredaran miras sehingga tidak dijual bebas di jalan, pasar, dan emperan toko. Miras itu harus berlabel, artinya pengusaha yang memproduksi itu juga dikenai pajak. Jika ada dasar hukum yang jelas soal miras lokal ini, itu jauh lebih baik,” katanya.
Dosen Hukum Universitas Nusa Cendana, Kupang, Johanes Tuba Helan mengatakan, pemanfaatan miras lokal sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, khusus minuman lokal untuk kepentingan adat dan agama. Adapun soal distribusi miras diatur oleh dinas perindustrian dan perdagangan kabupaten/kota bersangkutan.
”Tetapi, perpres ini harus ditindaklanjuti dengan peraturan daerah (perda) kabupaten/kota. Pemerintah provinsi tidak dibenarkan mengeluarkan peraturan gubernur (pergub) atau perda soal miras lokal. Jika ada pemprov yang menerbitkan perda atau pergub soal miras, itu tidak memiliki dasar hukum,” kata Tuba Helan.
Sementara itu, sejumlah pembuat miras lokal yang ditemui pada Juni 2019 di Desa Tuamese, Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten Timor Tengah Utara dan Desa Bloro, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, menyebutkan, Pemprov NTT telah melegalkan produksi dan penjualan miras lokal. Miras lokal ini akan dijual kepada pengusaha untuk kemudian diolah lagi menjadi produk kemasan.
Jangan sampai kebijakan pemda berbeda dengan kebijakan polisi.
Tetapi, pengusaha masih ragu dengan kebijakan itu karena polisi masih melarang warga mengonsumsi dan menjual miras secara bebas. Agus Wadu (43), warga Desa Tuamese yang juga pengolah miras lokal, mengatakan, pemda dan aparat kepolisian seharusnya memiliki pemahaman yang sama soal miras lokal.
”Jangan sampai kebijakan pemda berbeda dengan kebijakan polisi. Kami masyarakat bawah yang selama ini menggantungkan mata pencarian dari miras lokal menjadi sasaran,” kata Wadu.