Menanti Sukses Binaan Laboratorium Pertanian Lahan Kering Undana, Kupang
Universitas Nusa Cendana, Kupang, memiliki Laboratorium Pertanian Lahan Kering. Laboratorium ini berfungsi mendidik mahasiswa, siswa, dan petani yang ingin mengembangkan pengetahuan di bidang pertanian.
Prof Nyoman Mahayasa (bertopi) sedang mengajari mahasiswa dan siswa praktik yang datang lebih awal bagaimana cara menabur pupuk NPK ke tanaman semangka yang sedang berbuah di lahan kering milik Laboratorium Pertanian Lahan Kering Undana, Kupang, Selasa (14/6/2022).
Hampir 80 persen pertanian di Nusa Tenggara Timur didominasi lahan kering. Universitas Nusa Cendana, Kupang, sebagai satu-satunya perguruan tinggi pemerintah tertua di NTT, coba membantu masyarakat di provinsi ini dengan menghadirkan laboratorium pertanian lahan kering di bawah Fakultas Pertanian. Laboratorium ini sebagai tempat riset dan pelatihan para mahasiswa, siswa, dan petaniyang ingin sukes di sektor pertanian.
Selasa (14/6/2022) pukul 15.30 Wita. Maria Dela Aleksandra Teras (20), mahasiswi semester VI, bersama sejumlah rekan mahasiswaFakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana (Undana), Kupang, berhamburan di lahan kering. Inilah kebun percontohan milik Laboratorium Pertanian Lahan Kering (Labpelaker) Undana. Hadir pula di lahan itu belasan siswa jurusan pertanian dari SMKN Kabupaten Kupang.
Nyoman sebagai dosen pembimbing hadir lebih awal, sebelum mahasiswa dan siswa tiba. Kegiatan mahasiswa semester II, IV, VI, dan para siswa di lahan itu pada pukul 07.00-pukul 08.00 Wita dan pukul 16.00-pukul 18.00 Wita. Mereka bekerja secara bergantian. Waktu tersebut relatif lebih sejuk ketimbang pukul 09.00-15.00 Wita dengan kondisi cuaca cukup panas,mengganggu aktivitas di perkebunan.
Sang dosen ini memberikan instruksi kerja sore itu. Bagaimana cara menyemai pupuk NPK di samping pohon semangka yang sedang berbuah. Pupuk ditanam di samping pohon semangka berjarak sekitar 20 cm. Pupuk yang dimasukkan ke lubang dengan kedalaman sekitar 10 cm, dengan jumlah 15-20 gram per lubang.
Baca juga: Pasar Tani di Laboratorium Pertanian Lahan Kering Undana, Kupang
Maria dan kawan-kawan sangat hati-hati agar pupuk tidak keluar dari lubang yang disiapkan dan jarak tanam pupuk tidak kurang atau lebih dari 20 cm. Mereka bergerak cepat, sekitar 100 pohon semangka ditaburi pupuk, sesuai instruksi Nyoman.
Mereka lalu mengambil air dengan menggunakan jeriken, menyirami tanaman itu. Pipa yang mengalirkan air dari tiga tandon yang diletakkan di luar lahan, mengalami kerusakan di bagian persambungan.
Nyoman mengingatkan para mahasiswa dan siswa itu agar selalu hati-hati menempatkan kaki di antara buah, batang, dan daun semangka agar tidak terinjak ”Kita harus arahkan mereka mulai dari hal paling sederhana agar mereka terbiasa memperlakukan setiap jenis tanaman, sampai mereka paham betul, apalagi menjadi seorang petani sukses,” tuturnya.
Baca juga: 17 Kabupaten/Kota di NTT Alami Kekeringan Ekstrem
Sementara kaum pria diarahkan mencangkul tanah, berjarak 10 meter dari bedeng semangka yang tengah berbuah. Bedeng baru itu untuk menanam melon dan terong. Mereka bergantian mencangkul. Kondisi tanah begitu padat, penuh bebatuan, kering, dan tandus. Butuh tenaga ekstramembalikkan permukaan tanah.
Nyoman berjalan mengamati satu per satu cara mahasiswa dan siswa magang bekerja sore hari itu, seperti mencabut rumput liar di sekitar tanaman, menggemburkan tanaman, dan menyiram. Semua itu harus ada prosedur sehingga tidak merusak tanaman yang sedang tumbuh.
Berpakaian ala seorang petani, Nyoman berjalan mengamati setiap titik kerja mahasiswa praktik dan siswa magang. Ia cukup tegas jika instruksinya lupa diterapkan.
”
Tanaman harus diperlakukan sebagai manusia juga karena tanaman itu memberikan kehidupan,
”
katanya mengingatkan.
Sejumlah mahasiswa dan siswa rajin bekerja setelah mendengar instruksi dari Nyoman. Ada pula yang berinisiatif sendiri, seperti menyiram tanaman setelah melihat kondisi tanaman merana dan perlu lebih banyak mendapatkan air. Tetapi, ada pula yang tampak malas dan bermain ponsel.
Maria Dela Aleksandra Teras, misalnya, termasuk salah satu mahasiswi yang rajin. Ia masuk Faperta atas pilihan sendiri, bukan paksaan orangtua. Maria sudah terbiasa membantu ibunya di Ruteng, Manggarai, di pertanian hortikultura. Ibunya memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sawi, kol, terong, pepaya, dan tanaman lain.
”Saya ingin menjadi petani modern karena itu saya masuk Faperta. Praktik langsung di lapangan seperti ini saya lebih suka karena ilmu yang didapatkan di ruang kuliah langsung diterapkan sehingga mudah dipahami. Dengan ini kita bisa pelajari jenis, sifat, dan perlakuan dari setiap jenis tanaman,” katanya.
Baca juga: Budidaya Tanaman Hortikultura, Andalan Petani Kupang
Ia memiliki cita-cita mengembangkan tanaman hortikultura seperti sawi, kol, wortel, kentang, lobak, tomat, terong, dan bumbu dapur untuk disuplai ke Labuan Bajo, sebagai destinasi wisata superpremium.
”Tentu itu tidak mudah, tetapi jika dijalankan dengan serius, bisa tercapai. Saya pastikan bakal menjadi petani, soal sukses atau gagal, kita lihat nanti,” ujar Maria.
Yacob Olla (21), mahasiswa semester VI Faperta asal Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, mengatakan, pilihan awal ingin masuk FISIP Jurusan Ilmu Pemerintahan. Jurusan tersebut sudah penuh sehingga dirinyamendaftar di Faperta karena masih sepi peminat. Ia mengaku menekuni bidang ilmu tersebut secara terpaksa dan tidak ingin menjadi petani.
”Ayah dan ibu sudah bekerja sebagai petani dengan penghasilan yang jauh dari standar kehidupan layak. Saya ragu bakal menjadi petani yang sukses karena kondisi alam sangat menantang. Kesulitan air, panas berkepanjangan, kesulitan benih dan pupuk, serta tanaman sering diserang hama. Kondisi ini membuat saya ragu menjadi petani,” kata Olla.
Jika ada lowongan melamar CPNS, ia akan mencoba meski tidak mudah. Namun, ia kembali menegaskan, pilihan paling terakhir adalah kembali menjadi petani, terutama pertanian hortikultura.
Jika ditekuni, ia akan mengembangkan jenis hortikultura yang selama ini didatangkan dari luar Kupang, seperti kentang, bawang merah, bawang putih, wortel, timun, lobak, dan kacang hijau.
Tanaman lain, seperti sawi, kol, cabe keriting, cabe rawit, dan sayur bayam sudah banyak petani di Kupang dan sekitarnya mengembangkan itu.
Baca juga: Kekeringan, Petani di NTT Kesulitan Mengolah Lahan Pertanian
Tanah warisan orangtua sekitar 1 hektar sudah tersedia. Namun, ia butuh modal untuk mengembangkan lahan tersebut. Masalah paling krusial bagi pertanian di Timor adalah ketersediaan air. Mengadakan sumur bor butuh biaya sampai Rp 70 juta, bahkan lebih jika kondisi tanah berupa batu karang.
Marsel Nitti (15), siswa SMKN Kupang peserta magang, mengatakan, menjadi petani jauh lebih baik. Ia bisa mengatur irama pekerjaan, tidak ditekan atau diatur orang lain. ”Tuhan sudah beri tanah dan air, kita tinggal kelola semua itu. Sistem tanam air selama musim hujan, itu yang bakal saya lakukan,” kata Nitti.
Prof Nyoman menyebutkan, sudah beberapa lulusan dari Labpelaker boleh disebut sukses mengembangkan pertanian lahan kering dengan tanaman hortikultura. Sebut saja Gesti Sino, Iwan, dan beberapa lulusan lain. Mestinya lebih banyak lulusan terlibat di sektor pertanian.
”Ada pula kelompok tani di sekitar sini yang mengikuti pelatihan dan bimbingan. Tetapi, mereka itu langsung pulang ke rumah. Belum ada kelompok tani yang datang dari luar Kota Kupang ikut magang di sini. Mungkin mereka belum tahu atau tahu, tetapi merasa tidak mau belajar. Ini semestinya kerja sama dengan pemda masing-masing,” kata Nyoman.
Baca juga: Guru Besar Undana Kupang Mengawetkan Nira Lontar Bertahan sampai 6 Bulan
Kampus Fakultas Pertanian Undana, Kupang, Jumat (10/6/2022). Kampus ini telah meluluskan ribuan sarjana pertanian, tetapi belum banyak mahasiswa terlibat menjadi petani. Mereka lebih suka menjadi PNS ketimbang berwiraswasta atau petani.
Penemu lontar hibrida ini mengatakan, hasil produksi dari lahan percontohan itu dijual di Pasar Tani, dekat Kantor Labpelaker Undana, oleh mahasiswa sendiri. Mahasiswa memiliki beberapa stan untuk menjual produk pertanian dari kebun contoh. Pasar Tani digelar setiap Jumat, melibatkan sejumlah UMKM dari Kota Kupang, petani, dan peternak.
”Setelah dipercayakan menangani Labpelaker ini, saya adakan Pasar Tani atas kerja sama dengan Pemkot Kupang. Mahasiswa tidak hanya diajari bertani, tetapi juga memasarkan produk pertanian mereka. Semua hasil produk yang dijual ditimbang, tidak sistem borongan seperti di pasar tradisional Kupang. Ke depan, kami berharap para lusan Faperta lebih banyak terlibat di sektor pertanian. Kita dorong mereka agar menjadi petani yang sukses,” harap Nyoman.
Ketua Yayasan ”Tukelakang” NTT Marianus Minggo mengatakan, hampir 90 persen lulusan Faperta dan Fakultas Peternakan di NTT, termasuk Undana, melamar menjadi PNS, tetapi lowongan tertabatas akhirnya menjadi penganggur tak kentara. Mereka itu berada bersama orangtua, bekerja membantu orangtua secara serabutan, dan akhirnya memilih menjadi TKI.
Tantangan sebagai petani sukses begitu besar membuat mereka tak berdaya sebelum berusaha.Lagi pula, kebanyakan lulusan itu tidak memiliki minat menjadi petani. Kebanyakan orang NTT menilai menjadi petani suatu pekerjaan rendahan, miskin, terhina, dan identik dengan kegagalan.
Baca juga: Ayo Kota Kupang, Tanam Air Panen Kehidupan
Labpelaker Undana belum berhasil mengangkat pertanian sebagai usaha yang sukses di kalangan para lulusan dan petani NTT. Masalah utama pertanian di NTT adalah kekeringan. Meski Undana memperkenalkan sistem irigasi tetes, kalau air tidak ada, orang tidak akan tertarik bertani.
Lahan kering pertanian itu dibuka tahun 2014 dan diresmikan mantan Gubernur NTT Frans Lebu Raya (almarhum). Keberadaan Labpelaker atas inisiatiap sejumlah dosen dan Rektor Frans Umbu Datta(2006-2016).
Laboratorium itu didirikan sebagai pusat riset, penelitian, dan pengembangan pertanian lahan kering oleh Faperta Undana, sekaligus membekali pengetahuan kepada lulusan Faperta agar bisa terlibat langsung sebagai petani di lahan kering.
Hampir 80 persen pertanian di NTT berupa lahan kering. Musim hujan berlangsung 3-4 bulan dan musim kemarau8-9 bulan. Bahkan, sejak 10 tahun terakhir, sebagian besar wilayah NTT dilanda kekeringan ekstrem dengan curah hujan lebih dari 60 hari. Tahun 2021, misalnya, 18 kabupaten/kota di NTT dilanda kekeringan ekstrem yang sangat berpengaruh terhadap produksi pertanian lahan kering dan peternakan besar.
Luas lahan itu sekitar 6 hektar, tetapi baru diolah sekitar 5.000 m2. Di areal 6 ha itu ada lahan kering (laker) untuk pertanian, peternakan, dan perikanan. Saat ini sedang digarap laker pertanian. Lokasi ini menjadi tempat pelatihan dan pendampingan terhadap mahasiswa Faperta.
Baca juga: Yohanes Lalang, Menyulap Lahan Kering Menjadi Pertanian yang Subur
Kehadiran Labpelaker di Undana membawa harapan baru bagi masyarakat NTT menghadapi kekeringan. Hadir sejak 2014, tetapi Labpelaker belum banyak dikenal masyarakat atau petani dari 22 kabupaten/kota di NTT.
”Mari kita menantikan kesuksesan anak-anak binaan dari laboratorium ini. Jika Undana berhasil mengubah pola pikir lulusan Faperta, seperti imbauan Gubernur Viktor Laiskodat, itu luar biasa bagi NTT ke depannya,” kata Marianus.