Petani NTT Budidayakan Tanaman Hortikultura demi Menjaga Ketahanan Ekonomi Keluarga
Sejak tahun 2000-an sebagian petani di Nusa Tenggara Timur beralih membudidaya pertanian hortikultura, sebagai upaya menjaga ketahanan ekonomi keluarga. Mereka pun sukses di bidang pertanian, bahkan peternakan.
Kondisi lahan pertanian di Nusa Tenggara Timur hampir 70 persen merupakan lahan kering. Ironisnya, hasil pertanian lahan kering sulit mengangkat kesejahteraan petani. Sejak tahun 2000-an sebagian petani beralih membudidaya pertanian hortikultura, sebagai upaya menjaga ketahanan ekonomi keluarga. Mereka pun sukses di bidang pertanian, bahkan peternakan.
Memasuki pintu pagar di lahan pertanian seluas 3.000 meter persegi di Dusun Oebaun Desa Mata Air Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), tampak belasan karung berisi pupuk kompos. Pupuk itu hasil karya Yohanes Lalang (58), petani hortikultura setempat. Sementara di lahan pertanian itu, hamparan mulsa putih yang berjajar rapi.
Enam petani dari total 16 anggota kelompok tani ”Abdi Laboratus”, sedang memindahkan 5.000 bibit tomat dari tempat persemaian ke lahan yang telah disiapkan mulsa. Di atas lahan itu ditanam bergantian sejumlah jenis tanaman hortikultura.
“Hari ini kami pindahkan 5.000 anakan tomat dari tempat persemaian ke lokasi penanaman. Waktu pembibitan satu bulan, dan masa panen akan berlangsung dua bulan lagi. Waktu panen biasanya empat kali, tidak serentak. Tanaman mana yang lebih awal dikembangkan, itu yang dipanen. Budidaya tanaman itu sesuai permintaan pasar,” kata Lalang, yang juga Ketua Kelompok Tani ”Abdi Laboratus”, Kamis (20/1/2022).
Sebelum menanam tomat, lahan itu telah ditanami bawang merah. Penanaman bawang merah dari biji hingga proses persemaian berlangsung dua bulan dan dapat dipanen dua bulan kemudian.
Menurut lalang, jika ingin persemaian dan panen lebih cepat mesti ditanam bibit dari umbi bawang. Tetapi, harga bibit dari umbi bawang ini cukup mahal buat petani kurang mampu, yakni Rp 140.000 per saset. Areal 3.000 meter persegi itu butuh bibit umbi sekitar 5 saset.
”Jadi biaya Rp 700.000. Ini hanya untuk bibit biji bawang, belum yang lain-lain,” ujarnya.
Baca juga: Budidaya Hortikultura di Kupang
Lalang memilih biji bawang dalam saset. Satu saset seberat 50 gram dihargai Rp 18.000, jumlah biji sekitar 18.000 per saset. Lalang hanya membutuhkan satu saset saja. Saat persemaian itu, semua biji tumbuh sehingga cukup membantu petani.
”
Biaya produksi tidak mahal tetapi butuh waktu empat bulan memang,” tuturnya.
Bawang dijual dengan harga Rp 20.000 per kilogram, diambil langsung pedagang di tempat. Jika dijual di pasar, harganya menjadi Rp 30.000 per kg, tetapi harus menunggu konsumen di pasar.
Adapun biaya produksi tomat di lahan itu berkisar Rp 3 juta. Dengan harga jual tomat Rp 7.000 per kg, Lalang mengaku masih untung, meski tidak merinci persisnya.
Sebelum bawang merah, di lahan yang sama, kelompok tani itu membudidayakan melon dan timun. Harga jual melon saat panen berkisar Rp 8.500 per kg dan timun Rp 12.500 per kg.
Selain menjual hasil produksi tanaman hortikultura, Lalang juga menyediakan tanaman hias seperti bougenvile. Ada pula tanaman buah dalam pot, seperti jeruk nipis, jeruk purut, kasturi, jambu kristal, dan putsa. Semuanya dijual di kisaran harga Rp 100.000–Rp 150.000 per anakan.
”Dari hasil usaha ini, saya bisa menyekolahkan anak pertama sampai perguruan tinggi dan sudah kerja, anak yang satu lagi sedang siap masuk jurusan pertanian di perguruan tinggi. Selain itu, bisa membangun rumah, membeli lahan usaha baru, sempat beternak ayam, dan membangun sebuah aula tempat pelatihan bagi petani hortikultura,” ujarnya.
Tempat pertemuan
Aula tempat pelatihan itu berukuran sekitar 10 x 5 meter. Aula itu juga sebagai tempat pertemuan terjadwal para petani ”sukses” di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang secara virtual, bersama staf Kementerian Pertanian. Mereka membahas berbagai masalah sekitar pertanian dan peternakan, termasuk di antaranya bagaimana cara mengatasi hama tanaman, cara pemupukan yang benar, membuat pupuk kompos, serta cara beternak ayam dan itik yang benar.
Mengenakan topi caping dari anyaman bambu dan berpakaian layaknya seorang petani, Lalang begitu antusias di lahan miliknya. Lokasi yang terletak sekitar 4 km dari tempat kediamannya itu, jarang ditinggal.
”Saya bekerja pagi dinihari sampai sore hari, kadang sampai pukul 21.00 Wita. Setelah lelah kerja, saya tidur,” tutur Lalang yang meraup sejumlah penghargaan di bidang pertanian itu.
Ia pun memutuskan tidur sendirian di lahan itu. Selain bekerja, juga menjaga agar ternak warga tidak memasuki lahan. ”Dekat tanaman hasil keringat sendiri, di situ saya hidup dan beristirahat. Istri dan anak-anak tidur di rumah,” katanya.
Putra Kedang, Lembata ini menuturkan, budidaya hortikultura jauh lebih menyejahterakan petani ketimbang pertanian lahan kering, sistem berpindah-pindah tempat, atau sistem tebas, bakar, dan tanam. Pertanian lahan kering seperti ini dikembangkan petani NTT sejak dulu kala dan tidak pernah mengangkat kesejahteraan mereka.
Cuaca panas di NTT ditambah dengan kondisi tanah tandus, gersang, karang, dan berkapur seperti di Pulau Timor dan Sumba tidak cocok untuk tanaman padi gogo, juga termasuk jagung. Kesulitan utama adalah air untuk proses tumbuh kembang tanaman itu.
Ketua Kelompok Tani ”Oetnana” Kelurahan Fatukoa Kota Kupang Daniel Aluman (47) mengatakan, kelompoknya tergolong sukses setelah terlibat budidaya hortikultura sejak 2012. Sebelumnya, 20 anggota Oetnana mengusahakan pertanian lahan kering di wilayah pinggiran Kota Kupang.
”Hasil produksi hortikultura kami distribusikan ke dua pasar tradisioanal utama di Kota Kupang. Saya setiap kali panen membawa produk pertanian secara bergantian, seperti cabe, tomat, kol, sawi, wortel, terong, timun, dan jeruk nipis ke pasar itu. Khusus di swalayan, toko buah dan sayur, restoran, dan hotel, kami kirim rutin setiap bulan sehingga mereka tidak datangkan dari luar NTT,” kata Aluman.
Baca juga: Keluh Kesah Petani Food Estate di Sumba Tengah
Saat ini sedang dibudidayakan padi sawah tadah hujan seluas 2 hektar dan tanaman melon di areal 5.000 meter persegi. Melon pada musim hujan tidak begitu manis tetapi laris diminati konsumen karena stok terbatas.
”Melon tetap laris sepanjang musim. Tetapi, di musim hujan, semua jenis buah termasuk melon kurang manis,” kata Ayah tiga anak ini.
Rekreasi
Aluman termasuk petani yang komplit. Ia juga beternak sapi, ayam, babi, dan ikan air tawar. Konsumen dari Kota Kupang setiap akhir pekan datang ke lokasi pertanian Aluman untuk berekreasi, sekaligus berbelanja terutama ikan air tawar, yang sangat langka di Kota Kupang. Pengunjung juga bisa menginap di sekitar areal pertanian dan peternakan milik Aluman.
”Saya bangun juga tempat penginapan. Ada lima kamar tidur dengan alat pendingin, kamar mandi air panas, dan tempat duduk-duduk di pendopo kamar. Bagi warga Kupang yang ingin mencari ketenangan, jauh dari hiruk pikuk keramaian, bisa menepi di sini untuk beristirahat dan rekreasi sambil berbelanja,” katanya.
Gestianus Sino (39), petani muda di Desa Matani, Kabupaten Kupang, memiliki lahan seluas 1.000 meter persegi. Lahan itu dibeli tahun 2012 dari warga setempat senilai Rp 30 juta, atau satu tahun setelah ia wisuda sarjana dari Fakultas Pertanian Undana Kupang. Selesai wisuda ia langsung menggarap lahan yang dipadati batu-batu karang itu. Uang Rp 30 juta itu diperoleh dengan cara menggadai ijazah sarjana di pegadaian Kupang.
”Pinjaman itu lunas tahun 2014. Tidak ada pilihan lain selain bertani, tetapi lebih ke pertanian dengan prospek bisnis. Petani lahan kering sangat sulit mengangkat kesejahteraan petani bersangkutan seperti orangtua saya,” kata Gesti.
Batu-batu karang di dalam areal seluas 1.000 meter persegi itu disingkirkan secara manual. Batu-batu karang disusun menjadi pagar mengelilingi lahan pertanian itu. Lahan ditanami sawi, tomat, pepaya, dan terong. Pengairannya memanfaatkan air yang dibeli dalam mobil tangki. Di situ dibuat pula kolam untuk budidaya ikan lele, nila, dan mujair.
Gesti menjual hasil pertanian di swalayan, toko-toko, dan sebagian pedagang membeli langsung di tempat. Ia juga menjual hasil tanaman secara daring. Sejumlah pegawai dan teman angkatan sekolah datang berbelanja sayur, buah-buahan, dan ikan air tawar di lahan pertaniannya.
Tahun 2020, Gesti terpilih menjadi petani milenial teladan oleh Kementerian Pertanian. Dia pun menjadi motivator bagi generasi milenial terkiat pertanian hortikultura di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang.
Kini, pada areal itu ditanami pula tanaman buah naga, jeruk nipis, jahe, kunyit, dan bumbu dapur lain. Hasil produksi hortikultura ini dijual ke sejumlah swalayan di Kota Kupang, dan sebagian dijual secara daring.
Lain lagi kisah sukses petani hortikultura Loius Gambut (43). Putra Manggarai ini memulai usaha bisnis hortikultura di Kota Kupang, kemudian merambat ke Kabupaten Kupang, Manggarai, dan Manggarai Barat. Rata-rata setiap daerah ia memiliki lahan seluas 1 hektar.
Baca juga: Bantuan bagi Petani di Lumbung Pangan
”
Saya budidayakan tanaman hortikultura yang dibutuhkan swalayan, hotel, restoran, dan sesuai minat pelanggan saya baik di Kota Kupang maupun di Labuan Bajo, Ruteng, dan Borong. Produksi pertanian ini cepat membusuk sehingga sesegera mungkin dijual ke pasaran. Beda dengan pertanian jagung atau padi,” kata Lois.
Ia menyayangkan sejumlah kebutuhan hortikultura di Labuan Bajo, Ruteng, dan Borong, harus didatangkan dari luar Manggarai Raya seperti Sape, Bima, Mataram, Ngada, dan Ende. Padahal, Manggarai, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat pun bisa dikembangkan jenis-jenis tanaman itu untuk kebutuhan pariwisata dan masyarakat.
“Saya sedang kerjasama dengan ratusan pemuda di tiga kabupaten itu untuk kembangkan tanaman hortikultura di sana,” kata kader Partai Nasdem ini.
Beragam adaptasi yang dilakukan sejumlah petani untuk menyiasati lahan tandus dan kering di NTT memang membuahkan hasil. Mereka pantang menyerah demi kesejahteraan yang lebih baik.