Keluh Kesah Petani Lumbung Pangan dalam Mimpi Sukses di Sumba Tengah
Program Lumbung Pangan di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, yang dicanangkan pemerintah pusat dinilai sebuah langkah maju di sektor pertanian NTT. Di sana ada alih teknologi dan keterampilan.
Program Lumbung Panganatau Food Estate di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, yang dicanangkan pemerintah pusat dinilai sebuah langkah maju di sektor pertanian NTT. Di sana ada alih teknologi dan keterampilan dari sistem pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Kesejahteraan petani pun diyakini bakal terangkat. Sayang, ambisi pusat ini tidak seirama gerak langkah Pemda.
Umbu Gosa (57), petani asal Desa Mbilur Pangadu, Kecamatan Umbu Ratunggay, Kabupaten Sumba Tengah, begitu kecewa, saat memandang lahan sawah seluas 3 hektar di desa itu yang sampai hari ini belum juga digarap sampai pekan pertama Januari 2022. Musim hujan sudah tiba sejak November 2021.
Traktor bantuan pemerintah pusat hanya melakukan pekerjaan satu kali, sedangkan kegiatan penggemburan tanah tidak dilakukan. Lahan itu pun dibiarkan ditumbuhi rerumputan sampai musim hujan tiba.
”Semestinya setelah dibajak, dilanjutkan dengan bajak kedua untuk penggemburan tanah sehingga tanah itu siap tanam saat musim tanam tiba. Lahan ini masuk program Food Estate, yang telah diagendakan dua kali dibajak, bukan sekali,” kata Gosa dihubungi di Desa Mbilur Pangadu, 5 km dari Waibakul, kota kabupaten, Jumat (7/1/2022).
Baca juga : Lahan ”Food Estate” Sumba Tengah Kesulitan Air
Ia mengatakan, anggaran pembajakan sawah itu Rp 600.000 per hektar per petani peserta Lumbung Pangan, terdiri dari Rp 400. 000 untuk traktor dan bahan bakar minyak dan Rp 200.000 untuk kesiapan petani. Namun dana Rp 200.000 ini tidak dibagikan kepada petani. ”Bandingkan saja, anggota kelompok tani saya saja ada 21 orang, dikalikan dengan Rp 200.000 sudah Rp 4,2 juta. Jika ada 300 kelompok tani, coba hitung saja. Ini dana dari APBN,” kata Gosa.
Biaya sewa traktor di kalangan petani Sumba Tengah rata-rata Rp 600.000 per hektar per traktor. Jika petani Lumbung Pangan masih memiliki uang, mereka bisa menyewa traktor milik pengusaha untuk membajak sawah kedua.
Sebagian petani yang mampu menyewa traktor, mereka sudah menanam. Tetapi mereka memanfaatkan bibit padi sendiri karena bibit padi dari pemerintah sampai hari ini belum dibagikan. Padi itu sebagian sudah berusia 7-20 hari, tetapi saat banjir bandang datang, 24-25 Desember 2021 sebagian besar padi sudah hanyut terbawa banjir.
Program jagung pun mengalami nasib serupa. Bibit jagung itu seharusnya dibagi akhir September atau awal Oktober karena saat ini musim hujan tiba, tak tentu. Tahun 2021/2022 musim hujan tiba pertengahan Oktober, tetapi bibit jagung dibagi pada Desember 2021, setelah satu bulan para petani tanam jagung.
Baca juga : Kementan Bidik Calon Lahan Food Estate Baru di NTT
Pupuk pun dibagi begitu saja kepada ketua kelompok, tanpa disertai data polygon atau sesuai jumlah petani, luasan lahan, dan kebutuhan akan pupuk dari setiap petani. Padahal, data petani dan lahan yang dimiliki itu tim dari Dinas Pertanian dan Perkebunan sudah ambil.
Mestinya distribusi pupuk oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan ke ketua kelompok tani, disertai data polygon petani. ”Ini diletakkan begitu saja, langsung pulang ke kantor. Ketua kelompok pun takut bagi karena bakal terjadi keributan di antara petani. Pasti setiap petani ingin mendapatkan pupuk lebih. Ketua kelompok tidak punya pegangan data untuk membagi. Pupuk pun dibiarkan tergeletak begitu saja,” paparnya.
Soal pupuk untuk jagung ini pun kebanyakan petani belum paham. Apakah pupuk itu dibenamkan di sekitar pohon jagung atau dihambur saja di tanah seperti sistem tebar di sawah. Penyuluh tak pernah turun ke lapangan memberi penyuluhan soal ini. Jika pupuk itu dibenamkan atau ditanam, berapa kedalaman, dan apakah ditanam mengelilingi batang jagung atau cukup di satu titik.
Sebagian besar lahan jagung berada di tanah dengan posisi miring. ”Kalau pupuk itu dihambur begitu saja, akan terbawa banjir atau air hujan ke sungai. Itu tentu sia-sia. Pupuk itu ditanam pun berdapak dalam sehingga tidak tergerus air hujan,” kata Gosa.
Baca juga : Food Estate di Sumba Tengah Meningkatkan Kesejahteraan Petani
Ketua Kelompok Tani ”Food Estate Maju”, Desa Manu Wolu, Kecamatan Mamboro, Umbu Panda (59), mengatakan, program pemerintah pusat mengenai Lumbung Pangan itu sangat membantu petani. Program ini memperkenalkan petani yang sebelumnya mengolah lahan secara tradisional, beralih ke sistem pertanian modern.
Program pemerintahan Jokowi itu bermaksud mendorong petani Sumba Tengah, NTT, yang tadinya terkutat pada masalah gagal panen, dan rawan pangan menjadi petani sejahtera dan sukses. Tidak ada lagi kelaparan, gizi buruk, dan kemiskinan di wilayah itu. ”Program ini tidak sekadar memenuhi ketahanan pangan masyarakat, tetapi juga peningkatan ekonomi secara keseluruhan. Petani bisa menjual padi dan jagung dalam jumlah besar ke luar NTT,” kata Panda.
Untuk tujuan itu, pemerintah telah mendatangkan 14 traktor stir, 120 traktor tangan, 12 mesin combine harvester, 5 sumur bor, bantuan bibit, dan pupuk. Dinas Pertanian dan Perkebunan Sumba Tengah ditugaskan mendampingi petani dalam semua tahapan, mulai dari persiapan lahan, distribusi bibit dan pupuk, pemantauan kondisi lahan, cara pemupukan, dan pemantauan kondisi air sawah.
”Instansi teknis ini tidak bekerja serius. Tetapi selalu memberi laporan ke atasan bahwa program itu sukses. Program ini tidak akan sukses jika cara kerja Pemda tetap mempertahankan gaya lama,” tuturnya.
Sekretaris Dinas Pertanian dan Perkebunan Sumba Tengah Yantje Landukara mengatakan, program Lumbung Panganyang dirancang pusat belum sepenuhnya sukses diterapkan di Sumba Tengah. Sejumlah kendala di lapangan tidak dipikirkan sebelumnya seperti bencana banjir bandang, kekeringan karena curah hujan terbatas, serangan hama belalang, angin kencang, dan sumber daya petani yang rendah.
Baca juga : 17 Kabupaten/Kota di NTT Mengalami Kekringan Ekstrem
”Mengharapkan sumber daya petani mengikuti program Food Estate ini, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Mereka butuh proses, tidak bisa diajarkan sekali langsung jadi. Jumlah kelompok tani yang tersebar di lima kecamatan ada 85 beranggotakan ribuan petani peserta program Food Estate, sementara jumlah tenaga penyuluh terbatas,” katanya.
Mengenai keterlambatan distribusi bibit bersumber dari pusat. ”Di Birokrasi itu, alokasi anggaran, dan program pemberdayaan petani butuh proses. Harus ada pembahasan bersama pihak terkait menyangkut distribusi bibit dan pupuk. Ini juga butuh waktu,” katanya.
Ia mengatakan, musim tanam 2021/2022 pemerintah menata kembali lahan petani seluas 10.000 hektar (ha). Luasan ini merupakan bagian dari perluasan lahan yang diusulkan Presiden Joko Widodo saat peresmian 5.000 ha lahan Lumbung Pangan di Sumba Tengah, 23 Februari 2021.
”Perluasan lahan 10.000 hektar, terdiri dari sawah 5.400 ha dan jagung seluas 4.600 ha. Lahan 10.000 ha itu merupakan lahan yang selama ini dikelola petani, melalui program Food Estate pemerintah ingin meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan sumber daya petani,” kata Landukara.
Baca juga : Belalang Kembara Kuasai Ladang dan Sawah di Pulau Sumba
Tetapi lahan 10.000 ha ini pun terancam gagal panen karena serangan hama belalang, banjir bandang, dan angin kencang. Hama belalang saat ini sedang menyerang tanaman petani di Kecamatan Mamboro, Umbu Ratunggay, dan Umbu Ratunggay Barat. Kondisi jagung petani sebagian berusia 3-5 hari, 20 hari, dan sebagian sudah usia 30 hari. Masa panen jagung biasanya pada usia 50-60 hari.
Selain itu, masih terjadi banjir bandang akibat siklon tropis, dan angin kencang menyebabkan tanaman jagung tiarap, sulit tegak kembali. Ini pun terancam gagal panen. Produksi jagung bakal tidak sesuai target, yakni 5-6 ton per hektar.
”Jagung seluas 5.000 hektar pada musim tanam Maret-Mei 2021 di Kecamatan Katikutana dan Katikutana Selatan juga sebagian besar gagal panen karena Badai Seroja dan kekeringan. Saat itu panen jagung berkisar 1-1,5 ton per hektar,” kata Handulaka.
Prediksi pemerintah bahwa produksi jagung 5-6 ton per hektar dan bisa dikirim ke luar NTT meleset jauh. ”Meski demikian, dengan stok yang ada dapat dimanfaatkan sebagai stok pangan menghadapi puncak kemarau, Agustus-November 2021,” katanya.
Baca juga : Petani Kupang Sewakan Lahan Pertanian kepada Pengusaha
Karena program Lumbung Pangan ini merupakan pengolahan lahan milik petani sebelumnya, tidak ditemukan hamparan padi atau jagung sampai puluhan atau ratusan hektar. Lahan seluas 10.000 itu pun tersebar di 25 desa atau enam kecamatan. ”Ada lahan yang hanya 30 are, ada yang 100 are, dan ada pula 300 are. Semua itu milik petani,” katanya.
Prioritas utama dari program ini adalah mendukung ketahanan pangan petani, setelah itu untuk kepentingan ekspor. ”Tetapi saat ini ketahanan pangan warga saja belum terbangun, apalagi bisnis antarprovinsi atau kabupaten/kota di NTT,” katanya.
Total lahan Lumbung Pangan yang sudah dikelola saat ini 25.000 ha terdiri dari 5.000 ha dikelola pada awal program Lumbung Pangan diluncurkan, yakni Oktober 2020-Februari 2021. Lahan 5.000 ha diolah saat pengembangan musim tanam Maret-Mei 2021, dan 10.000 ha pada musim tanam November 2021-Januari 2022.
Baca juga : Jokowi Kunjungi Food Estate di Sumba Tengah