Menyoal Polemik Penjabat Kepala Daerah
Pengangkatan penjabat kepala daerah masih menyisakan polemik. Isu Polri/TNI aktif masih mewarnai polemik. Bisa menjadi pelajaran menuju penunjukan penjabat kepala daerah gelombang berikutnya.
Penunjukan penjabat kepala daerah Mei lalu masih menyisakan polemik. Mulai dari tokoh berlatar militer hingga fenomena ditolaknya usulan calon penjabat kepala daerah, baik oleh Kementerian Dalam Negeri maupun oleh warga masyarakat. Persoalan ini menjadi catatan penting untuk membenahi pengangkatan penjabat kepala daerah di waktu mendatang.
Sepanjang Mei 2022 ini, ada 48 penjabat kepala daerah yang dilantik. Mereka terdiri dari lima penjabat gubernur dan 43 penjabat bupati dan wali kota. Lima penjabat (pj) gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada Kamis 12 Mei 2022 lalu di Kantor Kemendagri Jakarta.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kelima penjabat gubernur yang dilantik itu akan mengisi jabatan untuk Provinsi Banten, Gorontalo, Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Proses itu menandai pula dimulainya beberapa tahap ke depan pengisian kekosongan jabatan kepala daerah oleh para penjabat.
Penunjukan penjabat kepala daerah Mei lalu masih menyisakan polemik.
Merujuk data Kemendagri, pelantikan penjabat kepala daerah periode Mei 2022 memang menjadi tahap awal dan paling besar jumlahnya untuk periode tahun ini. Setelahnya, nanti di Bulan Juli, akan dilantik sepuluh penjabat bupati di wilayah Provinsi Aceh, termasuk pula penjabat gubernur Bumi Serambi Mekah itu.
Lalu memasuki Agustus akan ada 12 kepala daerah tingkat dua yang akan habis masa jabatannya dan disusul sebulan kemudian tiga daerah lagi yang akan mencari penjabat karena kekosongan kepemimpinan.
Selanjutnya di Bulan Oktober, kembali ada sepuluh bupati dan wali kota serta satu gubernur akan berakhir masa baktinya dan mencari sosok penjabat kepala daerah.
Dalam periode ini nanti, giliran Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang akan menggenapkan lima tahun masa baktinya. Menariknya, jauh hari mulai saat ini, kabar mengenai siapa sosok penjabat pemimpin ibu kota itu sudah mulai santer diperbincangkan.
Setelahnya, penunjukan penjabat kepala daerah akan terus berlanjut hingga di penghujung tahun 2022. Di Bulan November 2022 ada tiga bupati dan 13 kepala daerah tingkat daerah lainnya di Desember yang menunggu giliran untuk diisi oleh penjabat kepala daerah.
Seperti yang diamanatkan oleh undang-undang, rangkaian pengisian penjabat itu bukan hanya untuk mencari sosok pengganti namun juga berupaya menjaga agar roda pemerintahan daerah dapat terus bergulir.
Hal lain yang juga tak kalah penting adalah kehadiran penjabat kepala daerah juga harus mampu menciptakan kondusifitas masyarakat hingga masa pemilu serentak selesai.
Baca juga : Menyeleksi Sosok Penjabat Kepala Daerah
Penjabat non sipil
Namun demikian, seperti yang pernah terjadi dalam periode pilkada serentak sebelumnya, penunjukan penjabat kepala daerah justru memiliki potensi mengundang terjadi polemik dan bahkan berujung pada kondisi daerah yang instabilitas. Persoalan mengenai adanya pengangkatan penjabat kepala daerah berlatar belakang militer masih terus menjadi perdebatan tak berujung.
Bak terus berputar dalam pusaran perdebatan yang masih sama, penunjukan salah seorang perwira tinggi militer kembali terulang di masa pengangkatan penjabat periode Mei 2022. Kali ini Kemendagri menunjuk Kepala Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Sulawesi Tengah, Brigjen TNI Andi Chandra As’adudin untuk mengisi penjabat Bupati Seram Barat.
Pemerintah dalam konfirmasinya menyatakan, memang pengangkatan perwira aktif yang menjabat sebagai Kabinda tersebut tak menyalahi aturan, bahkan hal tersebut juga dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Melalui juru bicara MK, Fajar Laksono, dijelaskan bahwa pelantikan Kabinda Sulawesi Tengah sebagai penjabat bupati telah sesuai dengan aturan berlaku.
Seperti yang diketahui, merujuk pada UU No.10/2016 tentang Pilkada, penjabat kepala daerah diangkat dari kalangan ASN yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) tingkat madya untuk penjabat gubernur dan JPT pratama untuk mengisi kepemimpinan bupati atau wali kota.
Jabatan Kabinda merupakan JPT Madya yang berada di institusi Badan Inteligen Negara (BIN). Terkait dengan kedudukan anggota TNI aktif di institusi non militer itu pun dibenarkan.
TNI atau Polri diperbolehkan untuk masuk ke birokrasi sipil dengan syarat diberi jabatan setara dengan tugasnya.
Sebagaimana yang diatur dalam UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam pasal 20 UU tersebut menyebutkan bahwa anggota TNI atau Polri diperbolehkan untuk masuk ke birokrasi sipil dengan syarat diberi jabatan setara dengan tugasnya.
Ketentuan itu juga diperkuat dengan penerbitan Peraturan Pemerintah No.11/2017 yang menyatakan anggota TNI atau Polri boleh menduduki jabatan sipil tertentu dan diberi jabatan struktural yang setara.
Selain itu, terdapat regulasi yang juga menguatkan posisi pelantikan Kabinda tersebut, yaitu mengacu pada UU No.34/2004 tentang TNI.
Aturan itu pun menyebutkan bahwa anggota TNI aktif diperkenankan menduduki jabatan sipil di sepuluh lembaga, yaitu kantor yang membidangi politik, hukum, dan HAM (Polhukam), Badan SAR, Sekretaris Militer Presiden, Pertahanan Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Badan Narkotika Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, dan Mahkamah Agung. Termasuk pula Badan Inteligen Negara dan Sandi Negara.
Meskipun demikian, tetap keputusan mendapuk penjabat berlatar aparat militer itu mengundang penolakan dan berbagai kritik berkepanjangan.
Penunjukan penjabat yang masih anggota aktif perwira TNI bertentangan dengan tupoksi sesuai yang diamanatkan UU No.34 / 2004 Tentang TNI.
Salah satunya datang dari Koalisi Masyarakat Sipil yang beranggotakan YLBHI, LBH Jakarta, Imparsial, KontraS, SETARA Institute, Amnesty International Indonesia dan sejumlah organisasi lainnya mendesak Kemendagri untuk membatalkan penunjukan Brigjen TNI Andi Chandra sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat.
Forum gabungan aktivis itu menilai penunjukan penjabat yang masih merupakan anggota aktif perwira TNI itu bertentangan dengan tupoksi sesuai yang diamanatkan pula oleh UU No.34 / 2004 Tentang TNI.
Apalagi jabatan kepala daerah bukan merupakan jabatan sipil biasa namun merupakan jabatan politis. UU tentang TNI itu juga menegaskan bahwa anggota TNI baru dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri dari dinas keprajuritannya.
Baca juga : Mayoritas Penjabat Kepala Daerah dari Pemerintah Daerah
Pembenahan
Ditunjuknya perwira aktif TNI menjadi penjabat itu secara langsung juga menggugurkan komitmen Kemendagri untuk menempatkan ASN potensial sebagai penjabat.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik, dalam diskusi di Forum XYZ yang diselenggarakan Harian Kompas pada 10 Mei 2022 lalu, mengungkap bahwa saat ini setidaknya ada 588 ASN JPT madya di berbagai kementerian/lembaga, serta total 34 ASN JPT madya dari tiap provinsi yang menduduki jabatan Sekretaris Daerah.
Sementara untuk ASN JPT pratama, secara total jumlah mencapai 4.626 ASN yang berada di tingkat pusat maupun pemerintah daerah.
Artinya dengan jumlah ASN JPT madya maupun pratama yang sangat melimpah itu, tak sulit bagi Kemendagri untuk memplotingnya dalam kebutuhan pengisian kekosongan kepala daerah.
Jika dihitung, total kebutuhan untuk mengisi pos jabatan kepala daerah yaitu hanya 24 ASN JPT madya untuk mengisi penjabat gubernur dan 248 ASN JPT pratama untuk menjadi penjabat bupati atau wali kota.
Sejatinya, jika kembali merujuk pada UU No.10/2016 tentang Pilkada, para ASN pemegang jabatan tinggi ini yang memang memiliki kualifikasi untuk mendapatkan posisi penjabat kepala daerah.
Baca juga : Menjaga Legitimasi Penjabat Kepala Daerah
Pengalaman sebagai seorang birokrat yang profesional hingga posisi ASN yang notabene terbebas dari afiliasi politik apapun seharusnya memang menjadi jalan tengah yang sangat tepat untuk mengisi pos kekosongan pimpinan daerah.
Harus diakui, persoalan pengangkatan penjabat dari kalangan militer untuk Bupati Seram Barat tadi misalnya, merupakan hal minoritas namun cukup menjadi sandungan untuk menempatkan kepercayaan publik pada pemerintah dalam mengelola urusan penunjukan penjabat kepala daerah ini.
Berdasarkan data yang diolah dari Kemendagri, sejauh ini tergambarkan memang sosok penjabat kepala daerah yang dipilih pada di periode awal ini mayoritas dari kalangan profesional ASN.
Pengisian 48 penjabat kepala daerah tingkat dua misalnya, sebagian besar atau sekitar 21 pos penjabat bupati atau wali kota oleh ASN yang berkarir sebagai Kepala Dinas atau Kepala Badan di tingkat Provinsi.
Hal ini sesuai dengan pemenuhan persyaratan ASN JPT tingkat pratama. Selain kepala dinas, kekosongan kepala daerah juga banyak diisi oleh Sekretaris Daerah (Sekda) kabupaten atau kota setempat. Dari data terbaca ada sekitar 12 Sekda yang kini telah dilantik sebagai penjabat bupati atau wali kota.
Selain persoalan latar belakang militer, hal lain yang juga turut menjadi persoalan dan perlu menjadi catatan penting adanya perselisihan calon penjabat yang direkomendasi oleh Kemendagri dengan usulan daerah. Hal itu terjadi di Sulawesi Tenggara, dimana dua nama yang penjabat bupati dari Kemendagri berbeda dari yang diusulkan sebelumnya.
Baca juga : Menyoal Polemik Penjabat Kepala Daerah
Akibatnya, Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi, sempat menunda proses pelantikan untuk penjabat Bupati Buton Selatan, atas nama La Ode Budiman dan penjabat Bupati Muna Barat oleh Bahri.
Gubenur perlu melakukan komunikasi kepada Kemendagri terlebih dahulu mengingat dua nama muncul sebagai calon penjabat itu sebelumnya tidak masuk dalam daftar yang diusulkan daerah ke Kemendagri.
Termasuk pula penundaan dilakukan untuk menyikapi adanya penolakan dari masyarakat di Buton Selatan untuk sosok penjabat yang diusulkan Kemendagri.
Masyarakat menilai, penunjukan sosok La Ode Budiman sebagai penjabat, yang notabene merupakan masih saudara ipar bupati sebelumnya, La Ode Aarusani, perlu dipertimbangkan lagi.
Bukan hanya menguatkan kesan adanya politik kepentingan dan kekuasaan dinasti keluarga, sejauh memimpin sosok Sekda tersebut dinilai masyarakat juga memiliki kinerja yang tak apik. Aksi protes penolakan penjabat di Buton Selatan dilakukan kelompok masyarakat di depan gedung DPRD Provinsi setempat dan bahkan sempat diwarnai kericuhan.
Meskipun demikian, beberapa hari berselang, pada 27 Mei 2022 Gubernur Sulawesi Tenggara pada akhirnya melantik dua penjabat bupati rekomendasi Kemendagri itu. Pelantikan di rumah jabatan Gubernur Sulawesi Tenggara itu berlangsung tertutup dan dijaga ketat oleh personil Satpol PP setempat.
Bagaimanapun, beragam dinamika yang tercermin pada tahap awal pengangkatan penjabat ini akan membentuk preseden atas pelaksanaan proses serupa selanjutnya.
Hal itu sudah semestinya menjadi catatan pembenahan oleh para pemangku kepentingan yang mengatur dan mengantisipasi segala keputusan agar berjalannya proses penunjukan penjabat dapat lebih kondusif dan di terima publik.
Para pemegang wewenang juga semestinya dapat meletakan semua dasar kepentingan dari penunjukan penjabat kepala daerah sebagai bagian dari amanat menjaga demokrasi dan kepentingan rakyat secara luas. Segala persoalan yang membelit di masa awal pengangkatan penjabat ini diharapkan tak lagi terulang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Legitimasi Penjabat Kepala Daerah