Mayoritas Penjabat Kepala Daerah dari Pemerintah Daerah
Mayoritas penjabat kepala daerah yang ditunjuk pemerintah pusat berasal dari pemerintah daerah. Hal ini dinilai positif karena mereka memahami karakteristik daerah yang dipimpinnya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Mayoritas penjabat kepala daerah yang ditunjuk pemerintah pusat menggantikan kepala-wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada Mei 2022 berasal dari pejabat di pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan latar belakang itu, mereka diharapkan memahami situasi sosial, ekonomi, politik, dan budaya setempat sehingga tak butuh waktu lama beradaptasi.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dari total 48 penjabat gubernur, wali kota, dan bupati, sebanyak 29 penjabat di antaranya diisi oleh pejabat dari pemerintah provinsi. Kemudian 11 penjabat berasal dari pejabat di pemerintah kabupaten/kota dan seorang penjabat diisi pejabat di Badan Intelijen Negara (BIN) daerah. Sisanya, sebanyak tujuh penjabat, berasal dari pejabat di kementerian/lembaga di pusat.
Kepala Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mardyanto Wahyu Tryatmoko, mengatakan, dengan mayoritas penjabat berasal dari pemerintah daerah (pemda), mereka bakal lebih memahami isu-isu lokal, serta karakteristik sosial, ekonomi, politik, dan budaya setempat.
Meski demikian, bukan berarti penjabat dari kementerian atau lembaga di pusat tidak memahami karakteristik lokal. Ia meyakini, tim panitia seleksi penjabat yang dibentuk Presiden tentu melihat seberapa jauh pemahaman calon pejabat yang akan ditunjuk terhadap daerah yang akan dipimpinnya. Misal, jika pejabat di pusat itu lahir di Bengkulu, sangat mungkin pejabat tersebut ditempatkan di Bengkulu.
”Jadi, enggak hanya asal pasang. Kalau bicara pengisian dari daerah, ya, ini pertanda, ada akomodasi lokal juga. Itu suatu hal yang baik,” ujar Mardyanto, saat dihubungi, Senin (30/5/2022).
Dengan dipimpin oleh penjabat yang memahami karakteristik lokal, hal itu juga akan menjadi modal bagi mereka selama menjabat. Mereka akan lebih mudah bekerja secara sinergis dengan berbagai pihak, mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tokoh masyarakat, tokoh adat, hingga masyarakat. Apalagi di daerah-daerah yang rawan konflik, penjabat itu diharapkan juga mampu dengan cepat memahami kondisi daerah, termasuk siapa saja yang berpotensi menimbulkan konflik.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem, Aminurokhman, mengingatkan, penjabat yang ditunjuk haruslah memiliki kedekatan dengan daerah yang akan dipimpin. Selain itu, mereka harus bisa membangun komunikasi dengan lembaga politik dan tokoh masyarakat di daerah setempat. Hal ini penting karena sebagai penjabat mereka harus mempunyai legitimasi yang kuat.
”Jika penjabat tidak bisa membangun komunikasi, penjabat tersebut juga akan kesulitan dalam mengambil keputusan dan kebijakan strategis yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
Ia pun mengingatkan kepada pemerintah, khususnya Kemendagri, untuk melakukan evaluasi secara berkala terhadap penjabat kepala daerah. ”Jika kerjanya dianggap tidak bisa memberikan kontribusi positif bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah, artinya penjabat itu harus ditarik dan diganti dengan orang yang mempunyai kapasitas yang lebih mumpuni. Kalau tidak diganti, akan berdampak buruk pada stabilitas daerah,” ujar Aminurokhman.
Rencana pembangunan
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kemendagri Teguh Setyabudi mengingatkan salah satu pekerjaan rumah dari penjabat adalah melaksanakan program-program yang telah dituangkan oleh kepala-wakil kepala daerah sebelumnya dalam Rencana Pembangunan Daerah (RPD) 2023-2026.
RPD ini diminta Mendagri Tito Karnavian sebagai acuan pembangunan bagi penjabat hingga kepala-wakil kepala daerah hasil Pilkada Serentak Nasional 2024 dilantik.
Kemendagri, kata Teguh, akan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan RPD tersebut oleh penjabat gubernur. Adapun pelaksanaan RPD di tingkat kabupaten/kota yang dilakukan oleh penjabat bupati/wali kota akan dibina dan diawasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) provinsi masing-masing.
”Meski pengawasan penjabat bupati/wali kota dilakukan oleh provinsi, kami juga bikin formula agar laporannya sampai ke Mendagri, paling tidak, ada pemberitahuan,” ujarnya.
Teguh menjelaskan, berbagai indikator telah disusun terkait capaian kinerja para penjabat tersebut, mulai dari sisi pelayanan publik, tata kelola pemerintahan, hingga perencanaan pembangunan. Capaian itu akan dilihat perkembangannya dari waktu ke waktu secara rutin, seperti pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, hingga pengelolaan anggaran daerahnya.
Libatkan instansi lain
Dalam evaluasi capaian tersebut, Kemendagri juga akan menggandeng sejumlah lembaga teknis lain, seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan Kementerian Kesehatan. Dari sisi pengawasan, dilibatkan pula Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta aparatur pengawas internal pemerintah.
”Mereka juga akan ikut mengawasi, apa yang dikerjakan penjabat harus berkesesuaian dengan perencanaan. Jadi, semua akan berkolaborasi untuk melihat secara komprehensif. Jangan hanya dilihat dari satu sisi, mungkin dia (penjabat) itu populer di masyarakat, tidak seperti itu. Karena, kan, kami harus melihat, kenyataannya, daerah itu dia pimpin menjadi baik atau tidak? Jangan sekadar, daerah itu tenang, landai, tak ada masalah, ternyata penjabatnya tidak bekerja,” kata Teguh.
Ia pun kembali mengingatkan, dalam membuat program-program, penjabat harus mengacu pada program prioritas nasional serta RPD 2023-2026. Meski demikian, penjabat tetap boleh membuat terobosan tetapi jangan melenceng dari yang telah ditetapkan pusat dan RPD tersebut.
”Penjabat boleh membuat terobosan program, tetapi secara garis besar harus mengarah pada rencana yang telah ada,” ujarnya.