Menyeleksi Sosok Penjabat Kepala Daerah
Pengisian penjabat kepala daerah semestinya memperhatikan kepentingan publik, bukan semata-mata sekadar bagi-bagi jabatan. Masa transisi yang lebih dari dua tahun menjadi krusial bagi jalannya pemerintahan di daerah.
Penjabat kepala daerah yang ditunjuk untuk mengisi kekosongan jabatan selayaknya memiliki kualitas kepemimpinan mumpuni. Para kepala daerah pengganti tersebut tak hanya dituntut berkapabilitas dalam tata kelola pemerintahan, tetapi juga harus mampu menjadi sosok yang memahami karakter daerah dan mendapat pengakuan masyarakat untuk menjamin stabilitas jelang digelarnya Pemilu 2024.
”Kita juga harus menyiapkan penjabat gubernur, penjabat bupati, penjabat wali kota yang berakhir masa jabatannya di 2022 ini. Ada 101 daerah, harus disiapkan. Saya minta seleksi figur-figur penjabat daerah ini betul-betul dilakukan dengan baik.”
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Penjabat kepala daerah yang ditunjuk untuk mengisi kekosongan jabatan selayaknya memiliki kualitas kepemimpinan mumpuni.
Di atas adalah pernyataan Presiden Joko Widodo saat memberikan pengantar pada rapat persiapan pemilu dan pilkada serentak, Minggu (10/4/2022), dalam siaran daring melalui akun Youtube Sekretariat Presiden. Presiden juga merincikan dari 101 kepala daerah itu, terdiri dari 7 gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota periode jabatannya berakhir dan harus diisi oleh penjabat pada 2022 ini.
Lebih lanjut, Presiden Jokowi menjelaskan, penjabat kepala daerah harus memiliki kapabilias, leadership yang kuat. Dengan begitu, mampu menjalankan tugas di tengah situasi perekonomian dan global yang sedang tidak mudah.
Pernyataan presiden tersebut secara gamblang menekankan penting penyiapan pengisian penjabat kepala daerah yang memenuhi kualifikasi pemimpin yang diharapkan. Hal ini agar proses penyaringan kepala daerah betul-betul harus memperhatikan berbagai aspek secara komprehensif, bahkan dituntut mendetail sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah.
Urgensi penempatan penjabat kepala daerah tidak hanya untuk menggenapi kekosongan kepemimpinan sebagai konsekuensi dari keputusan untuk meniadakan pilkada tahun 2022 dan 2023. Lebih dari sekadar menghadirkan sosok, para penjabat justru dituntut mampu mengurus daerah dan menjaga stabilitas daerah hingga masa pemilu mendatang.
Baca juga: Penjabat Kepala Daerah Jangan Titipan
Tantangan penjabat
Penempatan sosok yang berkapasitas untuk memimpin satu daerah dengan karakter dan persoalan yang tidak sama satu dengan lainnya tentu menjadi tantangan yang tidak mudah. Proses seleksi yang dilakukan dengan kriteria posisi jabatan tinggi struktural pemerintahan agaknya perlu juga diimbangi dengan berbagai pertimbangan yang lebih mendetail sesuai dengan kebutuhan dan karakter tiap daerah.
Undang-Undang Nomo 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengamanatkan, untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Sementara kekosongan jabatan bupati/wali kota akan diisi oleh penjabat bupati/wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama.
Adanya persyaratan yang mengharuskan penjabat kepala daerah berasal dari aparatur pemerintahan dengan jabatan pimpinan tinggi membuat filter kualitas sisi profesionalitas penjabat menjalankan tata kelola pemerintahan tak diragukan lagi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, aparatur negara dapat menduduki posisi jabatan pimpinan tinggi (JPT) dengan sejumlah kriteria yang didasarkan pada jam terbang mereka sebagai birokrat. Termasuk pula kematangan pengalaman dalam mengemban jabatan fungsional dan strategis.
Meski demikian, profesionalitas dan pengalaman itu tak dapat menjamin seseorang mampu menguasai panggung kepemimpinan daerah yang terus dihadapkan pada kompleksitas persoalan dan bahkan penerimaan rakyat terhadap pemimpinnya.
Profesionalitas dan pengalaman itu tak dapat menjamin seseorang mampu menguasai panggung kepemimpinan daerah,
Proses penunjukan penjabat kepala daerah dengan tidak melalui pemilihan langsung oleh suara rakyat berpotensi besar kurang mendapatkan pengakuan dan dukungan dari masyarakat yang dipimpin, bahkan dari para elite legislatif daerah sekalipun.
Hal lain yang juga tak boleh luput dari perhatian, sosok pemimpin daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota, tidak hanya mengemban jabatan politik, tetapi juga padanya sering kali melekat ketokohan adat, budaya, dan agama.
Sokongan dukungan dari berbagai elemen di daerah tersebut menjadi begitu penting bagi penjabat kepala daerah, terlebih dengan kewenangan yang sangat terbatas dibandingkan dengan kepala daerah definitif.
Dalam menjalankan tugasnya, penjabat kepala daerah tidak diperkenankan untuk mengambil sejumlah keputusan fundamental, seperti pembuatan peraturan yang strategis, memutasi aparatur sipil negara, hingga mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan sebelumnya.
Dalam menjalankan tugasnya, penjabat kepala daerah tidak diperkenankan untuk mengambil sejumlah keputusan fundamental.
Kondisi ini secara langsung akan memengaruhi berjalannya roda pemerintahan dan kondisi berbagai aspek penting di daerah.
Merespon persoalan itu, lewat Permendagri Nomor 74 Nomor 2016, kewenangan penjabat kepala daerah dibuat lebih leluasa untuk dapat menandatangani RAPBD, APBD, dan mengangkat pejabat daerah secara terbatas. Meskipun demikian, hal tersebut tampaknya tak menjadi jawaban untuk banyaknya urusan pemerintah daerah lainnya yang harus tertahan dan berlarut cukup lama.
Adanya keterbatasan wewenang pengelolaan pemerintahan daerah tersebut dalam waktu yang cukup panjang justru dikhawatirkan dapat menimbulkan persoalan baru lainnya akibat terhambatnya urusan regulasi ataupun operasional pemerintahan daerah.
Di sejumlah daerah, bahkan jika dihitung, terdapat masa jabatan penjabat kepala daerah yang lebih dari separuh periode kepemimpinan daerah. Dalam situasi yang lebih memprihatinkan, masa kepemimpinan penjabat kepala daerah yang cukup panjang justru juga berpotensi disalahgunakan yang bermuara pada praktik suap atau korupsi.
Baca juga: MK Diminta Beri Rambu-rambu dalam Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Pertimbangan penunjukan
Melihat tantangan berlapis itu memang membuat kualitas sosok yang mengembannya mutlak perlu terseleksi dengan apik selayaknya yang dikatakan presiden. Jika begitu, kriteria penunjukan memang tak bisa hanya dilakukan di atas kertas yang didasarkan pada posisi dalam struktur jabatan lembaga, baik tingkat madya maupun pratama.
Namun, juga perlu dilakukan penjajakan dan pendalaman kriteria sesuai dengan kebutuhan, misalnya terkait dengan kesesuaian sosok penjabat terhadap kondisi sosial mayarakat hingga pemahaman atas persoalan dan kekhususan di daerah.
Belakangan sempat muncul pula wacana untuk adanya pelibatan legislatif daerah dalam mekanisme penunjukan penjabat kepala daerah. Ide itu hadir sebagai bagian dari proses untuk mendekatkan dan upaya menggalang dukungan masyarakat daerah atas kepemimpinan penjabat kepala daerah.
Pertimbangan kriteria dan proses pelaksanaan yang lebih mengedepankan dinamika kepemimpinan penjabat tersebut sedapat mungkin terakomodasi pada peraturan teknis penunjukan penjabat kepala daerah. Namun, sampai kini yang notabene lebih kurang sebulan dari jadwal mulai dilakukannya penunjukan penjabat untuk sejumlah daerah, regulasi teknis masih belum selesai disusun.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, pengisian penjabat kepala daerah memang selalu menyisakan setumpuk persoalan.
Lambannya penyusunan regulasi hingga persoalan teknis yang semestinya dapat terjelaskan dengan baik kepada publik hanya terus menguatkan indikasi perihal sisi negatif pengangkatan penjabat kepala daerah. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, pengisian penjabat kepala daerah memang selalu menyisakan setumpuk persoalan.
Adanya jaminan bahwa proses penunjukan penjabat kepala daerah dilakukan secara transparan dan memperhatikan aspirasi publik, bebas muatan politik, hingga tidak melibatkan sosok dari aparat TNI atau Polri pun masih terus menjadi isu liar yang tak pernah terjawab tuntas.
Terkait dengan kepastian penunjukan penjabat kepala daerah yang berasal dari TNI ataupun Polri aktif, misalnya, hingga kini masih terus diperdebatkan sekalipun aturan secara jelas mengamatkan penjabat berasal dari kalangan aparatur sipil negara yang memiliki kriteria jabatan pimpinan tinggi.
Terkait dengan itu, untuk meluruskan polemik bergulir, Kementerian Dalam Negeri sebetulnya telah menjelaskan bahwa kuota pejabat pemerintahan saat ini yang memenuhi kriteria untuk dapat mengisi pos kebutuhan 272 penjabat kepala daerah masih sangat memadai.
Baca juga: Pemilihan Penjabat Kepala Daerah Perlu Transparan
Dalam catatan Kementerian Dalam Negeri, saat ini total ada 4.626 Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama dan 622 JPT Madya yang tersebar di pemerintahan pusat dan daerah.
Lain dari itu, polemik penunjukan penjabat kepala daerah juga berkembang pada isu penolakan. Pada Maret lalu, bahkan ada enam warga sempat mengajukan permohonan uji materiil di Mahkamah Konstitusi terkait dengan pasal pengangkatan penjabat kepala daerah di undang-undang pilkada.
Para pemohon berpadangan, Pasal 201 Ayat (9), Ayat (10), dan Ayat (11) dalam UU No 10/2016 yang mengatur pengisian penjabat kepala daerah bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin UUD 1945.
Tentunya, dengan berpatokan pada kriteria dan pertimbangan kekhususan dinamika di tiap daerah, diharapkan proses seleksi untuk memutuskan pengisian penjabat kepala daerah benar-benar menjadi penyaring untuk menemukan pemimpin pengganti yang mumpuni. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Dilema Penjabat Kepala Daerah