Menjaga jalannya roda pemerintahan daerah menjadi salah satu alasan penunjukan penjabat kepala daerah. Tak jarang keberadaan penjabat kepala daerah melahirkan polemik tersendiri.
Oleh
YOHAN WAHYU
·5 menit baca
Masa jabatan penjabat kepala daerah yang mengisi kekosongan kepemimpinan daerah akibat habisnya masa jabatan dan menunggu hasil pilkada untuk melahirkan kepala daerah definitif umumnya relatif singkat. Namun, tak jarang singkatnya masa jabatan tersebut ternyata juga melahirkan sejumlah polemik.
Penjabat kepala daerah diangkat demi menjaga jalannya roda pemerintahan, terutama terkait dengan menjaga ritme pelayanan kepada publik. Dengan kewenangan yang terbatas dan tidak seluas kepala daerah definitif, tak jarang durasi kepemimpinan penjabat kepala daerah memang singkat, setidaknya sampai kepala daerah definitif dilantik dari hasil pilkada yang demokratis.
Penjabat kepala daerah diangkat demi menjaga jalannya roda pemerintahan, terutama terkait dengan menjaga ritme pelayanan kepada publik.
Namun, seiring dengan singkatnya masa jabatan penjabat kepala daerah, tak jarang juga melahirkan polemik, bahkan di sejumlah kasus memicu reaksi masyarakatnya. Lihat saja apa yang terjadi di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku. Tahun 2020, pejabat bupatinya, Hadi Sulaiman, didemo kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Front Pembela Peduli Demokrasi (FPPD).
Kelompok masyarakat ini menilai sang penjabat kepala daerah cenderung bermain politis karena membatalkan Surat Keputusan (SK) Bupati Abdul Mukti Keliobas tentang pengangkatan sejumlah caretaker kepala desa.
Menurut mereka, penjabat sementara bupati tidak berwenang membatalkan SK. Demonstrasi penolakan terhadap penjabat kepala daerah ini berlangsung dalam beberapa kesempatan dan sempat menaikkan suhu politik di daerah tersebut.
Catatan soal polemik penjabat kepala daerah kemudian juga terjadi di sejumlah daerah. Salah satunya adalah polemik yang muncul di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Saat itu Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama harus nonaktif karena wajib cuti selama masa kampanye pilkada.
Saat nonaktif, ada agenda pembahasan APBD yang harus segera ditetapkan. Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Sumarsono yang ditunjuk Mendagri pun melaksanakan tugasnya, yang salah satunya menetapkan APBD DKI tersebut.
Polemik pun kemudian muncul karena jika merujuk Pasal 34 PP No 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, penyusunan APBD dilakukan kepala daerah dan PP tidak mengatur kewenangan penjabat kepala daerah.
Menurut staf hukum Basuki, Rian Ernest, saat itu, berdasarkan perundangan, pelaksana tugas gubernur memperoleh kewenangan melalui mandat. Ia tidak berwenang mengambil keputusan dan atau tindakan yang strategis dan berdampak terhadap perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran (Kompas, 28/12/2016).
Namun, keterangan berbeda dinyatakan oleh Soemarsono yang ketika menjabat Plt Gubernur DKI, ia juga Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri. Menurut dia, ia mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 74/2016 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Pasal 9 dalam peraturan tersebut menyebutkan, pelaksana tugas gubernur mempunyai tugas dan wewenang, antara lain, menandatangani perda tentang APBD dan OPD setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri. Selain itu, pelaksana tugas juga berwenang mengisi dan mengganti pejabat.
Selain polemik yang bersumber dari kebijakan penjabat kepala daerah, polemik juga lahir dari proses pemilihan penjabat kepala daerah. Isu yang paling menyedot perhatian publik adalah soal ditunjuknya sejumlah perwira aktif kepolisian sebagai penjabat kepala daerah.
Jelang Pemilihan Gubernur 2018, misalnya, Mendagri Tjahjo Kumolo mengangkat perwira tinggi aktif Polri menjadi penjabat sementara kepala daerah di Jawa Barat, Sulawesi Barat, dan Sumatera Utara.
Ketiga pati Polri yang ditunjuk sebagai pejabat sementara itu adalah Jenderal M Iriawan, Inspektur Jenderal Carlo Tewu, dan Inspektur Jenderal Martuani Sormin.
Langkah Mendagri ini memicu polemik karena jika merujuk Pasal 28 Ayat 3 UU No 2/2002 tentang Kepolisian, disebutkan bahwa polisi hanya bisa bertugas di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon saat itu menyatakan, selain melanggar Pasal 28 Ayat 1 dan 3 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang mengatur Polri bersikap netral dan tak terlibat kegiatan politik praktis, langkah Mendagri juga melanggar UU No 16/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, serta UU 5/2014 tentang ASN. Pasal 157 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS juga dilanggar (Kompas, 20/6/2018).
Namun, Mendagri tentu memiliki dasar dalam penunjukan tersebut. Ia berpegang pada UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal 201 UU Pilkada menyebutkan, untuk mengisi kekosongan, diangkat pjs gubernur dari jabatan pimpinan tinggi madya.
Merujuk penjelasan Pasal 19 Ayat (1) huruf b UU No 5/2014 bahwa yang dimaksud pimpinan tinggi madya di antaranya sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan, sekjen lembaga nonstruktural, inspektur jenderal, kepala sekretariat presiden, kepala sekretariat wakil presiden, sekretaris militer presiden, dan sekretaris daerah provinsi.
Dalam kasus Jenderal Iriawan, sebelum dilantik jadi Plt Gubernur Jawa Barat, ia terlebih dulu sudah menjadi Sekretaris Utama Lemhannas, yang artinya sudah memenuhi syarat sebagai pimpinan tinggi madya tersebut.
Namun, proses cepatnya promosi ”Iriawan”, dari pejabat struktural Polri lalu ke Lemhannas, dan kini Pjs Gubernur, saat itu melahirkan kecurigaan tersendiri.
Sejumlah contoh polemik yang lahir seiring dengan penunjukan dan kepemimpinan penjabat kepala daerah terjadi di tengah durasi pemerintahan yang relatif singkat.
Soemarsono sendiri total durasi kepemimpinannya menjadi Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta selama 5 bulan karena Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat harus cuti kampanye karena maju sebagai pasangan calon pada Pilkada DKI 2017.
Lima bulan kepemimpinan Soemarsono pun terpotong alias tidak langsung di putaran pertama, Soemarsono menjadi Plt Gubernur selama 3,5 bulan. Kemudian di putaran kedua, karena Ahok-Djarot harus cuti kembali di masa kampanye putaran kedua, Soemarsono kembali menjadi Plt Gubernur selama 1,5 bulan.
Dengan durasi yang relatif pendek saja bisa memicu polemik publik, tentu penunjukan 272 penjabat kepala daerah akibat penerapan pilkada serentak di 2024 menjadi tantangan tersendiri bagi demokrasi kita.
Apalagi dengan durasi kepemimpinan di daerah yang dipimpin penjabat kepala daerah akan terjadi lebih dari 2,5 tahun. Hal ini dikarenakan Pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan dan akan digelar secara serentak pada 2024.
Inilah tantangan pengelolaan pemerintahan di daerah sepanjang 2002 hingga terpilihnya kepala daerah definitif hasil Pilkada Serentak 2024.
Penjabat kepala daerah yang ditunjuk memimpin daerah-daerah tersebut akan menjadi ujung tombak pelayanan di daerah, termasuk di antaranya mendukung kesuksesan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
Tak ayal, pengalaman polemik yang terjadi seputar penunjukan penjabat kepala daerah dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan selama memimpin sementara di daerah semestinya menjadi pelajaran penting demi menjaga kondusifitas politik di ajang kontestasi 2024 nanti. (LITBANG KOMPAS)