MK Diminta Beri Rambu-rambu dalam Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
MK mulai memeriksa perkara uji materi UU Pilkada yang terkait penjabat kepala daerah. Pemohon meminta MK mengabulkan delapan syarat dalam penunjukan penjabat kepala daerah.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Enam warga Jakarta dan Papua meminta Mahkamah Konstitusi memberi rambu-rambu atau pagar dalam pemilihan penjabat kepala daerah di wilayah-wilayah yang kepala daerahnya berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023 dan menunggu pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak nasional 2024. Pengisian penjabat kepala daerah itu dikhawatirkan bakal disalahgunakan, seperti dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan, sehingga mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum.
Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk menafsirkan Pasal 201 Ayat (9) beserta penjelasannya, Pasal 201 Ayat (10) dan (11) Undang-Undang Pilkada dengan memberikan syarat tertentu dalam penunjukan penjabat kepala daerah. Delapan syarat yang diminta pemohon untuk dikabulkan MK, yaitu pengisian penjabat kepala daerah dilakukan secara demokratis, calon memiliki legitimasi dan penerimaan tinggi di dalam masyarakat, khusus untuk wilayah Papua dan Papua Barat penjabat kepala daerah harus diisi oleh warga asli dan proses penunjukannya melalui penilaian Majelis Rakyat Papua.
Selain itu, MK diminta untuk mengatur bahwa kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023 dapat diperpanjang. Penjabat kepala daerah juga diharapkan tidak berasal dari kalangan TNI dan Kepolisian Negara RI.
”Penjabat kepala daerah sebaiknya independan dan bukan merupakan representasi kepentingan politik tertentu dari presiden atau pemerintah pusat,” ujar Nurkholis Hidayat saat membacakan petitum permohonannya dalam sidang perdana pemeriksaan perkara nomor 37/PUU-XX/2022, Kamis (7/4/2022).
Sidang dipimpin oleh Ketua Panel Hakim Konstitusi Aswanto didampingi anggota panel hakim konstitusi, Arief Hidayat dan Saldi Isra. Enam pemohon tersebut di antaranya A Komarudin, Eny Rochayati, Hana Lena Mabel, dan kawan-kawan yang didampingi kuasa hukum dari Lokataru, Law and Human Right Office.
Adapun ketentuan yang dipersoalkan konstitusionalitasnya adalah Pasal 209 Ayat (9) UU Pilkada khususnya pada frasa ”diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali Kota sampai terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024”. Masa jabatan Penjabat Kepala Daerah diatur di dalam penjelasan Pasal 209 Ayat (9) yang menyebutkan masa jabatan penjabat adalah satu tahun dan dapat diperpanjang untuk satu tahun berikutnya.
Mengenai siapa yang dapat diangkat sebagai penjabat, Pasal 201 Ayat (10) dan (11) mengaturnya, yakni jabatan pimpinan tinggi madya sebagai penjabat gubernur dan jabatan pimpinan tinggi pratama sebagai penjabat Bupati/Walikota.
Menurut Nurkholis, pengujian ini merupakan ikhtiar dari para pemohon untuk mengawal kemajuan demokrasi dan negara hukum di Indonesia. Secara khusus, permohonan tersebut dilandasi oleh perhatian yang besar terhadap kekhawatiran penyalahgunakan kekuasaan oleh eksekutif dalam menentukan pejabat sementara.
Khusus mengenai masa jabatan Penjabat Kepala Daerah, untuk konteks DKI Jakarta, misalnya, Gubernur DKI Jakarta akan mengakhiri masa jabatan pada Oktober 2022. Jika mengacu pada UU Pilkada, masa jabatan Penjabat Gubernur DKI Jakarta adalah hingga Oktober 2024. Padahal, pilkada serentak 2024 baru akan dilaksanakan pada November 2024. Apabila pilkada dilakukan dalam dua putaran dan terjadi sengketa pilkada, gubernur definitif baru ada pada sekitar Mei atau Juni 2024. Ada potensi terjadinya kekosongan kepemimpinan di DKI Jakarta dari November 2024 hingga Mei 2025 atau sekitar enam bulan. Kekosongan ini belum diatur oleh UU karena masa penjabat hanyalah 1 x 2 tahun.
Pemohon juga merasa dirugikan jika nantinya penjabat kepala daerah itu diangkat dari pejabat ASN dan dipilih tidak secara demokratis. Hal tersebut dikhawatirkan akan mengakibatkan rendahnya legitimasi politik sehingga berdampak pada efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Namun, permohonan tersebut mendapatkan penilaian tajam dari tiga anggota panel hakim konstitusi. Ketiga hakim konstitusi meminta agar pemohon untuk menguraikan dengan lebih jelas dan tajam kerugian konstitusional yang dialami oleh enam pemohon.
”Saya sudah bolak-balik membaca permohonan ini, tetapi sampai sekarang saya belum yakin betul apa kerugian konstitusional yang dialami oleh para pemohon. Oleh karena itu, perlu saudara elaborasi,” ujar Aswanto.
Ia menekankan agar pemohon memperhatikan hal ini sebab kalau tidak MK dapat menyatakan para pemohon tak memiliki legal standing sehingga permohonan akan di-NO (niet ontvankelijke verklaard) atau tidak diterima.
Sementara Arief Hidayat mempertanyakan petitum para pemohon yang meminta MK untuk memberi syarat-syarat dalam penunjukan penjabat kepala daerah. ”Kalau baca petitum semacam ini, saya punya pemahaman mosok membuat aturan, kita (MK) itu menjadi semacam positif legislator. MK memang kadang-kadang dalam keadaan menghindari kekosongan hukum, maka bisa jadi positif legislator. Tapi tidak harus MK menjadi positif legislator,” ujar Arief.
Di luar hal tersebut, Arief menilai permohonan yang diajukan perumusannya tidak jelas khususnya dalam perumusan konstitusional bersyarat. Selain itu, pemohon juga gagal membuat koneksitas antara alasan permohonan dengan petitum yang diminta.
”Enggak konek. Tidak menunjukkan konsistensi atau korespondensinya antara posita dan petitum. Tolong dipikirkan,” ujar Arief.
Hampir senada dengan Arief, Saldi Isra juga secara tajam menguliti permohonan yang diajukan. Saldi tidak menemukan alasan konstitusionalitas baik secara teoretis, praktis, ataupun perbandingan dan segala macamnya bagaimana norma yang dipersoalkan bertentangan dengan UUD 1945.
”Pemohon ini terlalu banyak menguraikan legal standing, tetapi lupa menguraikan agak lebih baik dan komprehensif mengapa norma yang diuji tersebut bertentangan dengan UUD,” kata Saldi.
Ia pun menilai tidak adanya korelasi antara uraian alasan mengajukan uji materi dan tafsir norma yang harus MK putuskan. ”Jadi, mengapa Anda minta begini begini, tidak ada uraiannya. Kalau ada uraiannya, cuma poin tertentu,” tutur Saldi.