Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah tiga lembaga negara yang lahir sebagai buah dari semangat perubahan yang dibawa oleh gerakan reformasi 1998. Kini, setelah dua dekade lebih ketiganya hadir, pamornya malah cenderung meredup.
Meredupnya pamor ketiga lembaga tersebut terekam dari hasil survei nasional berkala yang dilakukan Litbang Kompas sepanjang delapan tahun terakhir ini. Hasilnya, tren citra ketiga lembaga, baik Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menunjukkan penurunan apresiasi dari publik.
Tren penurunan ini tampak dari hasil survei periode Januari 2015 sampai Januari 2023. Jika dibandingkan antara kedua periode survei tersebut, ketiga lembaga mengalami penurunan citra. Angka ini dihasilkan dari sebuah pertanyaan mendasar, apakah citra lembaga-lembaga tersebut baik atau buruk di mata publik.
Kita lihat citra DPD yang pada Januari 2015 tercatat di angka 62,1 persen responden yang menjawab baik. Pada survei Januari 2023 angkanya berada di posisi 52,0 persen. Artinya, ada penurunan 10,1 poin jumlah responden yang menilai citra baik DPD.
Hal yang sama juga dialami oleh MK. Pada survei Januari 2015 citra baik lembaga yang kerap diidentikkan sebagai penjaga konstitusi ini mencapai angka 75,1 persen.
Citra ini kemudian mengalami penurunan di survei Januari 2023 di mana apresiasi publik yang menilai lembaga ini citranya baik hanya berada di angka 52,1 persen. Ada penurunan citra MK sekitar 23 persen dari perbandingan dua periode survei di atas.
Serupa dengan DPD dan MK, KPK menjadi lembaga yang lahir di era reformasi dan tercatat paling fenomenal. Sebagai lembaga pemberantasan korupsi, MK mencapai puncak apresiasinya di survei Januari 2015 di mana ada 88,5 persen responden survei yang menilai citra baik KPK.
Namun, kondisinya melemah di survei Januari 2023 dengan angka citra yang berada pada posisi 52,1 persen. Kondisi ini menegaskan ada penurunan apresiasi yang begitu tajam dari publik terhadap KPK.
Citra baiknya tergerus sampai 31 persen dibandingkan survei Januari 2015. Jika dibandingkan DPD dan MK, citra baik KPK memang masih relatif tinggi, tetapi penurunannya paling tajam dibandingkan dua lembaga negara tersebut.
Baca juga : Citra Tiga Lembaga Pilar Reformasi
Jerat hukum
Penurunan ketiga lembaga yang merupakan anak kandung reformasi ini juga tidak lepas dari sejumlah kasus hukum dan polemik kelembagaan yang melilitnya. Kasus hukum tersebut terutama yang menjerat sosok ketua yang menjadi personifikasi dari ketiga lembaga itu.
Sebut saja kasus yang paling menghantam kelembagaan DPD adalah saat ketuanya saat itu, Irman Gusman, ditangkap tangan KPK pada 17 September 2016. KPK menetapkan Irman sebagai tersangka dugaan suap terkait pengurusan kuota gula impor.
Saat itu, Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad mengatakan, kasus yang menimpa Irman adalah pukulan berat bagi DPD di tengah perjuangan DPD memperkuat kewenangan kelembagaan (Kompas,18/9/2016).
Tak heran jika kemudian kasus ini memengaruhi persepsi publik terhadap DPD. Hasil survei Kompas pada April 2016 atau sebulan setelah kasus penangkapan Iman, citra DPR anjlok di angka 48,8 persen.
Padahal, sebelumnya, pada April 2016 angkanya mencapai 53,7 persen. Citranya kembali menurun di survei April 2017 yang berada di angka 41 persen, sebuah angka yang tercatat paling rendah yang dialami DPD sepanjang delapan tahun terakhir ini.
Seperti halnya DPD, MK pun sebelumnya juga dilanda kasus serupa, bahkan jauh sebelum yang dialami DPD. Pada 2013, Ketua MK Akil Mochtar ditangkap di rumah dinasnya seusai menerima uang suap pengurusan perkara sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Sebelum kasus Akil, MK juga sempat digegerkan dengan kasus hakim konstitusi Arysad Sanusi karena terbukti melanggar kode etik dan kemudian mengundurkan diri. Ketua MK yang disorot publik tidak berhenti di kasus Akil. Pada Januari 2018 Ketua MK Arief Hidayat dinilai melanggar kode etik dari perilaku hakim karena menemui sejumlah pimpinan Komisi III DPR tanpa undangan resmi.
Ditambah lagi dengan kasus hakim konstitusi lainnya, seperti Patrialis Akbar yang terjerat kasus dugaan korupsi. Di luar kasus yang terkait korupsi dan pelanggaran kode etik, publik juga dikagetkan dengan kasus hakim konstitusi Aswanto yang diberhentikan karena dinilai kurang sejalan dengan DPR dan kerap menganulir sejumlah undang-undang.
Rentetan kasus ini menjadikan MK yang di awal kelahirannya begitu berwibawa pada akhirnya juga tidak bisa lepas dari godaan dan intervensi. Tak heran jika kemudian survei menangkap ada tren penurunan citra MK di mata publik.
Survei Kompas Januari 2023, yang mencatat citra MK berada di angka 52,1 persen, tercatat paling rendah sejak lembaga ini diukur citranya sepanjang delapan tahun terakhir ini.
Baca juga : Jajak Pendapat "Kompas": 48,2 Persen Publik Tak Puas dengan Kinerja KPK
Pelemahan
Kondisi serupa juga dialami KPK. Lembaga yang dibentuk sejak ada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini juga mengalami dinamika. Di awal pendiriannya, KPK bagaikan macan yang siap menerkam siapa pun pelaku korupsi.
Namun, dalam perjalanannya, upaya pelemahan KPK terus dilakukan. Mulai dari kasus cicak-buaya tahun 2009, kasus korupsi simulator SIM tahun 2012, penetapan tersangka calon Kapolri Budi Gunawan 2015, sampai pada revisi undang-undang KPK yang disahkan pada September 2019. Sebagai imbas atas revisi UU KPK tersebut, muncul polemik tes wawasan kebangsaan pegawai KPK yang menyeruak ke publik.
Hasil survei Kompas merekam, sepanjang delapan tahun terakhir, citra KPK paling rendah tercatat pada periode Oktober 2022 yang mencapai 55,9 persen.
Polemik peralihan pegawai KPK dan munculnya kasus-kasus pelanggaran etika yang menjerat komisioner KPK sedikit banyak membuat apresiasi publik pada lembaga ini mulai goyah. KPK pun tak lagi mudah mendapatkan simpati publik seperti era sebelumnya ketika pelemahan marak terjadi, kritik keras pun hadir untuk KPK.
Pada titik tertentu, hadirnya DPD, MK, dan KPK yang merupakan anak kandung reformasi tentu menjadi harapan tersendiri bagi upaya perbaikan bangsa ini ke depan.
Namun, di titik yang lain, terjadinya tren penurunan apresiasi publik pada ketiganya semestinya menjadi alarm untuk segera berbenah. Jangan sampai ketiganya layu sebelum berkembang. Turunnya pamor ketiga lembaga ini harus menjadi pelecut semangat untuk kembali bergeliat seperti saat ketika ketiganya dilahirkan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Malaadministrasi dalam Tes Wawasan Kebangsaan