Ombudsman Republik Indonesia menyimpulkan ada malaadministrasi pada pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Peran Presiden Joko Widodo diperlukan untuk memperjelas status 75 pegawai KPK.
Oleh
Yohan Wahyu
·6 menit baca
Hasil pemeriksaan Ombudsman Republik Indonesia menyimpulkan adanya malaadministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai syarat alih status menjadi aparatur sipil negara. Temuan ini menjadi babak baru polemik nasib pegawai lembaga antirasuah ini setelah mereka gagal melalui tes yang penuh dengan polemik tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, malaadministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, atau menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut.
Malaadministrasi juga termasuk di dalamnya soal kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau imateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Dugaan malaadministrasi inilah yang ditemukan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dalam proses tes wawasan kebangsaan (TWK). Dalam paparannya, Ombudsman mengemukakan temuan berdasarkan tiga tahapan atas dugaan penyimpangan prosedur dalam proses peralihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut. Tiga tahap itu meliputi tahapan pembentukan kebijakan (dasar hukum), tahapan pelaksanaan asesmen TWK, dan tahapan penetapan hasil.
Dalam tahapan pembentukan kebijakan, ORI melihat bahwa proses penyusunan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai KPK Menjadi ASN yang menjadi landasan digelarnya TWK terdapat penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang.
Dalam hal penyimpangan prosedur, ORI menemukan fakta bahwa pelaksanaan rapat harmonisasi peraturan dihadiri pimpinan kementerian/lembaga yang seharusnya dikoordinasikan dan dipimpin oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan.
Dalam catatan ORI, KPK juga tidak menyebarluaskan informasi rancangan peraturan KPK pada sistem informasi internal setelah dilakukan proses perubahan dalam enam kali rapat harmonisasi terhadap rancangan Peraturan KPK tersebut.
Dalam hal penyalahgunaan wewenang, Ombudsman juga menemukan bahwa penandatanganan berita acara pengharmonisasian justru dilakukan oleh pihak yang tidak hadir pada rapat harmonisasi.
Dalam tahapan pelaksanaan asesmen TWK, Ombudsman berkesimpulan bahwa Badan Kepegawaian Negara (BKN) tidak memiliki komponen (alat ukur, instrumen, dan asesor) untuk melakukan asesmen. BKN kemudian menyampaikan permohonan fasilitasi asesmen TWK kepada lembaga lain.
Pada tahapan ini, Ombudsman juga memberikan catatannya bahwa KPK dan BKN telah melakukan penyimpangan prosedur, yakni membuat kontrak swakelola dengan tanggal mundur. Kedua lembaga ini melaksanakan kegiatan asesmen TWK yang dimulai pada 9 Maret 2021 sebelum adanya penandatanganan nota kesepahaman dan kontrak swakelola.
Sementara itu, pada tahapan penetapan hasil, ORI juga memberikan catatan bahwa Ketua KPK tidak patut menerbitkan Surat Keputusan Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen TWK. Pasal 2 dalam surat tersebut memerintahkan pegawai yang tidak lolos TWK menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsungnya.
KPK juga dinilai mengabaikan pernyataan Presiden Joko Widodo pada 17 Mei 2021 yang meminta hasil TWK tidak digunakan sebagai dasar pemberhentian pegawai KPK.
Tidak hanya itu, Ombudsman juga menyebutkan adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Hukum dan HAM, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Ketua Lembaga Administrasi Negara. Hal ini terkait kepastian status pegawai KPK dan hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja.
Atas temuan ini, Ombudsman meminta kepada KPK untuk melakukan tindakan korektif. Salah satunya, menjadikan hasil TWK bahan masukan untuk langkah-langkah perbaikan dan tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai yang tidak lolos TWK.
Ombudsman juga menyimpulkan bahwa status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara harus disesuaikan dengan hakikat aturan peralihan dalam UU No 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk itu, Ombudsman meminta kepada KPK dan BKN agar 75 KPK tersebut dialihkan statusnya menjadi ASN sebelum 30 Oktober 2021.
Dalam sebuah webinar bertajuk ”Ombudsman RI dan TWK KPK”, Minggu (25/7/2021) malam, Ketua Ombudsman Mokhammad Najih menyebutkan bahwa semestinya, jika mengacu UU KPK, pegawai KPK langsung ditetapkan sebagai ASN. ”Semestinya itu sistemnya konversi (pegawai KPK langsung menjadi ASN), tidak perlu ada seleksi,” ujarnya.
Sejauh ini, KPK dan BKN menyampaikan akan mempelajari terlebih dulu hasil pemeriksaan Ombudsman sebelum bersikap. Namun, jika mengacu pada Pasal 38 UU No 37/2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, disebutkan bahwa rekomendasi Ombudsman wajib dilaksanakan.
Dalam sebuah webinar yang sama, Minggu (25/7/2021) malam, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti menyebutkan, masalah alih status pegawai KPK ini tidak lepas dari polemik revisi Undang-Undang KPK yang dinilai banyak pihak sebagai upaya memperlemah lembaga pemberantas korupsi tersebut.
Terkait status kepegawaian KPK, Susi menyoroti adanya frasa ”dapat diangkat”, terutama dalam Pasal 69B (1) UU No 19/2019 terkait status pegawai KPK untuk menjadi ASN sebagai ketentuan peralihan antara undang-undang sebelumnya dan undang-undang yang baru.
Menurut dia, ketentuan peralihan tersebut semestinya memenuhi dua prinsip, yakni kepastian hukum dan tidak boleh menimbulkan kerugian bagi yang terkena ketentuan peralihan tersebut. ”Frasa ”dapat diangkat” itu mengandung ketidakpastian hukum karena bermakna choice atau pilihan,” ungkapnya.
Guru besar hukum tata negara ini juga melihat semestinya peralihan status pegawai KPK tidak dimaknai sebagai upaya merekrut pegawai baru karena seharusnya secara otomatis bisa langsung ditetapkan sebagai ASN. Hal ini pernah terjadi pada kasus peralihan status pegawai Perum Pos menjadi PT Pos Indonesia (Persero).
Dalam catatan Kompas, pada 1995 setelah perubahan status, PT Pos Indonesia melakukan restrukturisasi perusahaan sebagai tindak lanjut perubahan status dari perum menjadi persero.
Dalam restrukturisasi tersebut, PT Pos Indonesia tidak melakukan pengurangan pegawai yang saat itu berjumlah 28.677 orang. Pegawai saat berstatus perum otomatis tetap menjadi pegawai ketika Perum Pos sudah berubah sebagai PT Pos Indonesia (Kompas, 23/10/1995).
Pada akhirnya, temuan Ombudsman ini harus diakui menjadi babak baru bagi polemik TWK yang menyita perhatian publik. Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono, salah seorang pegawai yang tidak lolos TWK, mengapresiasi langkah Ombudsman ini.
”ORI sangat progresif, di antara keputusasaan kami, ORI menumbuhkan harapan,” ujar Giri saat menjadi narasumber dalam webinar terkait temuan ORI soal polemik TWK ini, Minggu (25/7/2021).
Kini, publik menanti bagaimana KPK dan BKN menindaklanjuti temuan Ombudsman ini. Namun, harapan tentu juga ditumpukan kepada Presiden. Seperti yang sudah disarankan oleh Ombudsman, Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN perlu mengambil alih kewenangan yang didelegasikan kepada pejabat pembina kepegawaian (PPK) KPK terkait pengalihan status 75 pegawai KPK untuk menjadi pegawai ASN.
Namun, terlepas pentingnya menyelesaikan kasus malaadministrasi dalam pengalihan status pegawai KPK ini, agenda pemberantasan korupsi harus tetap menjadi perhatian bersama.
Pekerjaan rumah bersama bangsa ini adalah bagaimana menjadikan KPK tetap sebagai lembaga yang dipercaya publik untuk memberantas tindak pidana korupsi di tengah sorotan publik pada lembaga ini akibat polemik tes wawasan kebangsaan.
Belum lagi dihadapkan pada pekerjaan rumah untuk mengembalikan kualitas pemberantasan korupsi yang cenderung merosot dengan menurunnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sejak terjadinya revisi terhadap UU KPK. (LITBANG KOMPAS)